Ada sedikit aktivitas 19+ tapi gak eksplisit. Dikit banget, kok🙏
*****
Kota Jakarta masih siaga meski malam sudah pekat. Sebuah mobil baru saja masuk ke dalam halaman sebuah rumah setelah berkelana dari hiruk-pikuk kota. Seorang laki-laki kemudian keluar dari dalamnya.
Dia lantas masuk ke rumah sudah cukup gelap dan mendudukkan diri sejenak di ruang tamu. Lelah mendominasi di sebagian wajah datarnya, mata kalut melihat jam dinding yang berdetak mengisi kesunyian rumah.
Pukul 11, angka yang sebenarnya masih cukup awal untuk pulang ke rumah. Laki-laki itu lalu mengeluarkan ponsel dari dalam saku setelah bunyi dering memecah heningnya.
"Halo?"
"Udah nyampe rumah, Mas?"
"Udah."
"Ya sudah, cepet istirahat."
"Tapi nanti kalau saya mau balik lagi ke tempat kamu, gak papa, kan?"
"Gak papa, dong. Kamu boleh datang kapan pun."
"Oke. Makasih, ya?"
"Sama-sama, Sayangku."
Setelah sambungan terputus, sebentar dia mengecek beberapa pesan notifikasi penting untuk dibalas. Sampai beberapa saat kemudian suara perempuan menginterupsinya dari arah belakang diikuti ruangan yang tiba-tiba terang.
"Mas Oza?"
"Hm," jawab si laki-laki tanpa terkejut dengan perubahan suasana dan fokus pada layar ponselnya.
"Kok, udah pulang? Katanya 3 hari."
"Sudah selesai."
Perempuan itu mendekat lalu meraih satu tangan si laki-laki yang merupakan suaminya untuk dicium. "Kenapa gak bilang dulu kalau mau pulang? Aku, kan, jadi gak masak apa-apa."
"Saya sudah makan tadi."
"Bentar, aku buatin minum dulu kalau gitu."
Aryonanda Oza adalah orang sibuk. Hampir 10 tahun dia memegang penuh semua perusahaan besar milik ayahnya. Dia juga sudah menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini karena pendapatan yang tidak bisa dibayangkan jumlahnya.
Orang-orang selalu melihatnya sudah memiliki hidup yang makmur. Rumah besar, mobil mewah, uang tidak ada habisnya, semua bisa dibeli tanpa pikir panjang. Namun, ketahuilah bahwa pada kenyataannya kata makmur masih menjadi bayang-bayang belaka di benak Oza.
Apa itu makmur? Bagaimanakah rasanya? Seingatnya, selama menikah dia tak pernah tertawa lepas. Dia selalu berkata cinta tapi tak tahu apa itu cinta. Isi kepala tak ubahnya seperti aliran sungai deras yang keruh. Kacau sekali.
Cantika pun kembali dengan membawa secangkir teh hangat. Dia lantas menyodorkannya pada Oza sebelum mendudukkan diri di sofa singel yang berhadapan dengan si laki-laki.
Cantika Rahayu adalah istrinya. Semua kolega sudah kenal. Senyum yang diukir wanita itu hanya sebuah pencitraan bagi Oza sehingga orang menganggap tidak ada masalah di dalam keluarganya. Ya mungkin bagi Cantika juga baik-baik saja, namun bagi Oza keluarganya sudah tidak ada. Dia menumpuk banyak sekali tekanan.
Dalam hening, laki-laki itu menyesap tehnya sedikit. Begitu rasa teh buatan sang istri menyentuh lidah, dia sedikit terhenyak beberapa saat sebelum menelannya dengan terpaksa. Wajah pun perlahan berubah mengeras.
"Kenapa, Mas?"
Manik diarahkannya dengan tajam pada sang istri. Lelah membuatnya sangat sensitif apalagi yang memancing amarah adalah perempuan ini. "Saya sudah gak bisa toleransi lagi atas sedikit saja kesalahan kamu. Kesabaran saya sudah habis sejak 6 tahun lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...