06. Rekam jejak yang lenyap

841 87 58
                                    

Di lain tempat, lain juga kisah. Tidak ada senang, tidak sedih, tidak ada apa pun, terasa kosong saja. Oza masih lebih banyak diam dan berusaha mengenali bayang-bayang buram yang melintas di benak, meski pada akhirnya itu akan membuat kepala hampir pecah.

"Oza, mama, papa, Cantika, Aryo. Oza, mama, papa, Cantika, Aryo," gumamnya, mengabsen setiap orang yang harus dia simpan di dalam ingatan baru. Terasa ada banyak hal yang kurang, namun Oza belum mampu menemukan apa saja yang kurang itu.

"Mas Oza?"

Di teras belakang rumah, Oza menyendiri sejak satu jam yang lalu setelah pulang dari kontrol. Menjelajahi isi kepala sambil menikmati hari yang kian berlalu, hingga akhirnya seorang wanita datang sambil membawa sebuah kotak makan.

"Iya?"

Wanita itu lantas mengambil tempat di kursi kosong yang ada di sebelah Oza dan meletakkan kotak makan tersebut di atas meja yang ada di tengah-tengah mereka.

"Aku bawa makanan kesukaan Mas Oza."

Nampak bingung dengan bawaan si wanita, Oza pun langsung membuka kotak makan itu.

"Makanan kesukaan saya?"

"Iya. Kata tante, Mas Oza suka banget sama brownies coklat."

Beberapa potong brownies coklat yang terlihat enak, menghentikan manik Oza. Telinga sangat tidak asing setelah mendengar brownies coklat. Nama-nama yang dia absen tadi, kian terasa ada yang kurang. Dia pun mengambil salah satu dari potongan itu lalu menggigitnya.

"Aku buat sendiri, loh. Awalnya emang gak bisa, tapi aku terus nyoba sampai berhasil. Enak, gak?"

Mengunyah dengan pelan, menikmati rasa yang menyentuh lidah lalu menelannya. Oza mengangkat kedua alis seraya mengangguk pelan. "Enak. Tapi ... terlalu manis."

"Kalau begitu besok-besok aku kurangi takaran gulanya, deh."

Karena memang terlalu manis, Oza memilih untuk mengembalikan sisa brownies-nya ke kotak. "Maaf, gak bisa ngabisin."

"Iya, gak papa, kok."

Laki-laki itu kembali diam, sibuk dengan isi kepala yang buram. Manik mengarah pada lokasi sekitar di mana banyak pot-pot tanaman kesayangan mamanya. Entah mencari apa, yang jelas saat ini dia sedang berusaha untuk menjalankan kembali logikanya.

"Saya, kok, bisa kecelakaan, ya?"

Tak sekali dua kali Oza mempertanyakan tentang kecelakaannya. Sering sekali sampai yang mendengarnya merasa bosan untuk menjawab.

"Kan, kemarin udah dikasih tahu."

"Lupa."

"Mending gak usah ditanyakan lagi. Kecelakaan udah berlalu. Sekarang ingat aja apa yang ada di sekitar Mas Oza. Gak perlu ingat yang lain."

Oza sontak menoleh, membenturkan manik ke arah sang wanita. Tatapan yang biasa tajam, sekarang hanya ada sorotan tanda tanya, bingung lalu kosong.

"Kamu ... Cantika."

"Iya."

"Pacar saya."

"Bener."

"Kita mau nikah."

"Yap."

"Kapan?"

"Secepatnya."

Meski lambat, Oza sudah mulai mengingat hal-hal baru ke dalam memorinya. Semua masih bersumber dari informasi yang diberikan oleh orang tuanya, belum murni aliran dari isi kepala.

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang