08. Sendiri

746 82 46
                                    

Banyak orang bilang, waktu berjalan sangat cepat dan seolah tidak terasa kendati melalui banyak ujian. Namun sebenarnya orang yang mengatakan hal itu adalah orang yang sudah sampai di garis finis dan bisa mengasumsikan waktu berjalan sangat cepat karena mereka hanya memutar rekam jejak di dalam ingatan.

Bagi Sara yang masih ada di tengah perjalanan, waktu terasa sangat lambat. Air matanya mengalir dalam diam setiap malam, sakitnya berkali-kali datang tak terduga dan muatannya makin hari makin bertambah.

Optimisnya yang bermula kuat, semakin lama entah kenapa mulai kendur. Asa hampir terputus saking jauhnya jarak dan lamanya waktu berputar. Hari-hari yang dia habiskan untuk menunggu, ternyata terbuang percuma. Oza masih belum kembali. Bahkan sampai pada momen yang seharusnya didampingi oleh sang suami, Sara masih tetap sendiri.

Di depannya sekarang, sepasang bayi kembar--laki-laki dan perempuan tengah tertidur lelap di atas ranjangnya setelah kenyang meminum asi. Ada bahagia, ada sedih, ada marah juga. Semua emosi itu ingin terluap, namun Sara tak tahu harus meluapkan yang mana sehingga hanya kekosongan yang dia pancarkan melalui mata.

Hari ini sudah dua hari pasca dia melahirkan. Wajah masih datar-datar saja, tidak menampakkan haru bahagia yang berarti seperti kebanyakan ibu setelah melahirkan. Bukan karena dia tak senang buah hatinya lahir, dia justru sangat bahagia. Tapi kenapa dia harus sendiri? Semua emosi tadi dia rasakan seorang diri.

Lelah sekali rasanya.

"Mbak?"

"Iya?"

"Makan dulu. Mumpung dedenya lagi bobok."

Sara membuang napas halus kemudian menerima mangkok berisi bubur dari Ais. Napsu makan sebenarnya sudah lama hilang untuk dirinya sendiri. Semua yang dia lakukan sekarang seolah hanya untuk kedamaian sang buah hati.

"Makasih, Mbak."

"Oh, ya. Kan, udah dua hari, nih. Bu Ayun gak dikasih tahu?"

Urung menjawab, Sara memilih untuk memakan hidangannya dulu sembari menata pikiran yang berantakan. Rahang bergerak, menyibukkan diri dengan mengunyah makanan yang sebenarnya bisa ditelan langsung.

"Terserah," ucapannya, lirih. "Dikasih tahu juga, gak bakal sampai ke telinga Mas Oza. Gak bakal juga menyentuh hati nurani papa."

"Tapi seenggaknya masih ada perhatian. Selama ini, kan, Mbak Sara selalu apa-apa sendirian."

Satu kali lagi, Sara menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, memaksa lambung untuk menerima asupan gizi kendati sama sekali tidak selera untuk diisi.

"Ya udah, terserah Mbak Ais aja."

Karena demi perhatian sebab Sara sudah  melewati masa sulit sendirian, Ais pun memilih untuk memberi tahu kabar yang seharusnya menjadi kabar yang begitu bahagia. Di luar ruangan, wanita itu menghubungi seseorang melalui ponselnya.

"Halo, Ibu?"

"Iya, Is? Kenapa?"

Ais hanya seorang ART, baginya sangat kurang sopan jika langsung menghubungi majikan besar. Dia pun menelpon ibunya saja yang memang kerja di sana.

"Itu, Bu. Mbak Sara udah lahiran."

"Loh, kapan? Kok, kamu baru kasih tahu Ibu?"

"Udah dua hari yang lalu. Sebenarnya mau kasih tahu Ibu, tapi Mbak Sara-nya belum mau."

"Terus gimana keadaannya sekarang?"

"Alhamdulillah sehat semua. Tolong, Bu, kabari Bu Ayun sama Pak Santo. Siapa tahu mereka mau nengokin cucunya."

Di seberang sana, hening menjeda jawaban. Ais pikir sinyalnya terganggu, ternyata ibunya yang diam.

"Ibu?"

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang