Apa gunanya meratapi tragedi? Hidup tetap akan berlanjut selama waktu masih terus berputar.
Di rumah yang sederhana, sekarang Sara hidup. Mengukir senyum, menepis nestapa dan terus memeluk keyakinan. Sudah satu minggu sejak dia pindah, selama itu harap masih tersimpan akan pintu diketuk oleh laki-laki bernama Oza. Penantian terus dilakukan di tengah rindu yang mengekang.
"Tadi gimana nyanyinya? Ibu mau denger lagi."
"Gak bisa."
"Bisa. Tadi Afan nyanyi-nyanyi sendiri."
"Enggak."
Bersama si buah hati yang manis, Sara berusaha membangun lagi apa yang runtuh. Bersama si kecil pula, dia mengukir tawa demi mendistraksi jiwa dari lara.
"Afan anaknya siapa, sih? Ganteng banget tahu."
"Anaknya Ibu, lah."
"Ibu siapa?"
"Saraaa."
"Terus ayahnya siapa?"
"Ojah."
"Oza yang bener."
Sugesti liar kadang terlintas untuk mendorongnya agar melepas ikatan seperti yang selalu diinginkannya di awal pernikahan. Benak tak ingin terlihat bodoh hanya karena mempertahankan hal yang sangat menyakiti hatinya. Akan tetapi hal itu kalah dengan sanubari yang begitu membesarkan nama si lelaki hingga memenuhi setiap sudut ruang yang kosong, tidak peduli akan rasa sakitnya.
Sara mungkin terlihat lemah karena bertahan pada keyakinan hati, namun yang sebenarnya adalah kekuatannya ada pada hal itu.
"Assalamualaikum?"
Canda tawa pun terjeda ketika terdengar suara ketokan pintu dan salam dari seseorang di luar sana. Sara menurunkan Afan dari pangkuan lantas membuka pintu rumahnya.
"Waalaikumsalam."
Begitu pintu terbuka, seketika Sara berhadapan dengan seorang wanita berhijab yang sudah cukup lama tak lagi dia lihat. Wanita itu Bu Ayun--mama mertuanya.
"Mama? Mama sama siapa?"
Belum menjawab, air mata mengalir dari balik kacamata. Bu Ayun beringsut memeluk Sara seraya terisak pelan. Tangan membelai pelan rambut si menantu bersama kecupan singkat di kepala.
"Maafin Mama, Nak. Mama gak bisa belain hak kamu."
Beberapa detik Sara terdiam, membiarkan keterkejutan memperlambat waktunya untuk merasakan dekapan yang cukup memberi sedikit perlindungan. Meski sempat kecewa, dia tetap menyimpan rindu pada sosok Bu Ayun. Tangan pun membalas pelukan sama eratnya.
"Sara gak bisa kalau dengerin Mama minta maaf. Mama gak salah."
"Mama udah beberapa kali nasehatin papanya Oza, tapi dia gak mau dengar. Dia ... tetap akan menikahkan Oza dengan Cantika."
Kalimat Pak Santo minggu lalu masih terus terngiang tidak mau hilang, sehingga mendengarnya lagi dari Bu Ayun tidak membuat Sara terkejut. Dia tetap mempertahankan pelukan untuk sekadar mempertebal dinding pertahanan.
"Semua itu kepalsuan. Yang sebenarnya Mas Oza tetap sama Sara." Sara melepas pelukan lantas memaksa senyumnya untuk terbit. "Kami gak bakal pisah."
Meski tersenyum, sesaknya tak bisa hilang. Suara menjadi terdengar bergetar dan air mata sudah bersiap ingin mengalir.
"Mending, ayo masuk dulu."
Mereka lalu masuk dan langsung disambut oleh Afan yang antusias mendapati sang nenek tiba-tiba datang. Bocah itu meninggalkan mainannya lantas berlari ke arah Bu Ayun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
Ficção GeralMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...