Samudera tidak pernah sepi dari ombak, hanya saja kali ini ombaknya terlihat lebih tenang. Kapal itu sudah tidak lagi terombang-ambing. Kemudinya sudah kembali dikendalikan oleh si nakhoda yang telah lama hilang. Para penumpang masih bertahan dan akhirnya mereka bisa tenang menunggu tujuan tanpa khawatir berlebihan badai datang.
Oza sudah kembali ke dalam bahtera yang selama ini Sara rawat. Dia kembali dan membuat arah pandang jauh lebih terang untuk melihat tujuan selanjutnya akan ke mana. Ibaratkan saja seperti itu, tak perlu membayangkan seperti kapal sungguhan. Yang jelas mereka sudah kembali berkumpul.
"Mau tetap di sini atau pindah ke rumah Ayah?" tanya Oza saat sedang berkumpul dengan tiga anaknya di ruang tamu.
"Tanya ibu aja. Kita nurut ibu," jawab Adit.
Sudah hampir dua minggu pasca Adit kembali dari rumah sakit, Oza masih tinggal di rumah Sara dan belum membawa keluarga kecilnya itu ke rumah besarnya.
"Ibu mau, tinggal nunggu kalian mau apa enggak."
"Kalau pindah, berarti sekolahnya pindah juga?" kini Adin berbicara.
"Kalau Ayah maunya kalian pindah sekolah juga. Ke sekolah yang lebih aman dan gak ada murid iseng."
Hening menjeda. Meninggalkan tempat di mana mereka dibesarkan dan harus beradaptasi lagi di suasana yang baru agaknya cukup berat bagi mereka bertiga, apalagi di lingkungan yang status sosialnya lebih tinggi. Mereka yang terbiasa dengan hidup apa adanya, pasti akan terlihat norak.
Akan tetapi biar bagaimanapun mereka memang berasal dari keluarga yang kaya. Rumah mereka sebenarnya sangat besar dan uang bukanlah menjadi masalah jika ingin membeli kebutuhan serta kemauan. Munafik jika tidak mau menjadi orang kaya. Hal itu adalah satu kelebihan untuk menunjang terkabulnya masa depan yang cerah.
"Gak perlu ragu. Semua kepunyaan Ayah adalah hak kalian," ujar Oza memecah hening.
"Iya, deh. Abang nurut. Lagian Abang juga udah capek hidup kaya gini," celetuk Afan yang sontak membuat kedua adiknya terperangah.
"Bukannya gak bersyukur. Tapi Abang memang udah capek kalau ngeliat ibu capek. Seharusnya dari dulu ibu gak perlu banting tulang, kan?"
Si kembar pikir Afan akan sama lugunya melihat dari tadi pemuda itu hanya diam saja sehingga mereka cukup dibuat terkejut akan celetukan Afan. Namun, jika dipikirkan memang benar. Tubuh dan pikiran sebenarnya sudah lelah. Mereka punya hak dan sudah seharusnya mempergunakan hak tersebut.
"Ya udah, nurut juga," pungkas Adit.
Oza hanya mengulas senyum. Kemudian pembicaraan mereka terjeda oleh suara ketukan pintu. Laki-laki itu lalu menghampiri dan membukanya.
"Assalamualaikum," ucap si tamu yang ternyata adalah Aryo.
"Waalaikumsalam."
Awalnya Oza tersenyum samar menyambut kedatangan sang adik. Akan tetapi saat memindahkan perhatian pada seorang wanita yang menemani Aryo malam ini, senyum yang samar tadi seketika menghilang. Kening pun berkerut, mengekspresikan rasa tidak suka bersama sorotan yang menajam. Terlihat sekali jika kedatangan wanita di samping Aryo itu mengganggu ketenangan Oza di rumah ini.
"Ngapain Mama ke sini?" tanyanya ketus.
Ya, Bu Ayun. Wanita tua itu mendekat sambil menyorotkan sirat penyesalan sekaligus kesedihan pada Oza atas diamnya pada masalah yang terjadi.
"Mama mau ketemu kamu sama Sara."
"Buat apa ketemu? Dari dulu kenapa cuma diam saja?"
Kekecewaan sudah tidak mampu diredam. Rasanya Oza tidak ingin melihat mama apalagi papanya. Persetan dikatakan anak durhaka, dia juga manusia biasanya yang tidak mau diperlakukan seperti boneka oleh orang lain kendati orang itu adalah orang tuanya sendiri. Dia rasa, dia berhak untuk melampiaskan kekecewaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...