Setelah tujuh hari menjalani perawatan, akhirnya Adit sudah diperbolehkan pulang. Rencana awal Oza akan mengajak keluarganya untuk pulang ke rumah yang ada di Jakarta. Akan tetapi mengingat rumah itu telah menjadi tempat kejadian bunuh diri, ada rasa khawatir berlebihan jika harus pulang ke sana. Bisa dibilang Oza juga takut dan berniat menjual rumah tersebut.
"Sementara tinggal di sini dulu, Mas. Gak usah dijual rumahnya, dibersihin aja," tutur Sara setelah selesai membereskan barang-barang milik Adit.
Oza menyandarkan punggung sembari mengembuskan napas panjang. "Saya mau kalian nyaman."
"Kami nyaman, kok. Ya rumah ini memang gak gede buat Mas, tapi selama ini kami bahagia di sini," ungkap Sara sambil memberikan senyuman terbaik.
"Bohong." Oza menoleh, membenturkan tatapan intens yang seolah ingin mencari kejujuran di dalam atensi Sara. "Saya gak yakin kamu sudah bahagia."
Mendengarnya, senyum Sara seketika pudar. Maksud Sara, dirinya sudah nyaman dan tidak begitu mengharapkan rumah besar. Mungkin dia salah dalam memilih kata sampai mendapatkan respon sensitif dari Oza.
"Kalau sudah bahagia, gak mungkin nerima saya lagi," sambung laki-laki masih dengan sorotan tajam.
Ah, iya ... Sara salah berucap. Dia pun kembali mengukir senyum teduh lantas merengkuh wajah sang suami. "Maksud saya rumah ini sudah cukup. Kalau belum sempat pindah, gak papa. Yang penting sudah ada Mas."
Alih-alih tenang, laki-laki itu malah menampakkan kesan cemas dan rasa bersalah. Dia memegang tangan Sara yang ada di wajahnya lalu memberikan genggaman erat. "Kalau kamu merasa kurang nyaman, bilang saja. Biar saya bisa perbaiki."
"Perbaiki apa? Kayaknya gak usah. Mas udah ingat saya saja itu sudah cukup. Semua sudah baik sendiri."
Tak diduga, Oza tiba-tiba membawanya ke dalam dekapan erat. Sempat membuatnya terkejut, tapi setelah itu rasa nyaman menyelimuti sampai dia membalas pelukan sang suami.
"Kamu terlalu baik. Terima kasih sudah menunggu," ucap Oza yang seketika menggetarkan isi hati Sara hingga pelukan mengerat.
Tanpa disadari, Afan menyaksikan momen dua orang tuanya itu. Tidak ada yang mengetahui senyumnya terukir apik melihat kenyamanan yang ditimbulkan oleh mereka berdua. Kini dia mulai mengakui bahwa dia juga ikut merasa bahagia, meski selama ini dia belum benar-benar akrab dengan sang ayah.
*****
Pukul 10 malam. Rasanya belum tertarik untuk tidur meski mata sudah cukup berat. Afan pun memutuskan untuk membuat minuman di dapur untuk temannya bermain game.Saat melangkah menuju dapur, Afan sempat melewati ruang tamu yang masih terang dengan lampu putih. Dia menghentikan langkah sebentar ketika melihat ayahnya tengah sibuk di depan laptop. Agaknya sedang banyak pekerjaan.
Afan akui selama Adit di rumah sakit, ayahnya itu tidak pergi ke mana pun kecuali pulang dan membeli makanan. Pekerjaan pun nampaknya tidak pernah dipegang demi bisa membantu sang ibu merawat luka Adit. Dia sampai berpikir, apa menjadi bos bisa seenak itu mengambil libur lama? Meski sesekali dia mendapati Oza sedang bertelepon dengan seseorang dan membicarakan bisnis, tetap saja mengundang keheranan.
Terus terang, Afan masih memiliki pikiran buruk. Tidak jarang, dia memikirkan tentang simpanan Oza juga. Namun hal itu perlahan terkikis setiap kali melihat kemesraan ayah ibunya yang tidak mereka sadari. Tak sengaja mendengar berbagai ucapan manis Oza pada ibunya yang meyakinkan, Afan mulai bersimpati dan percaya bahwa Oza laki-laki baik.
Napas halus berembus. Ada dorongan untuk menghampiri, tapi sejujurnya Afan tak tahu harus membicarakan apa. Ingin tak peduli, rasanya sayang sekali. Adit dan Adin sudah begitu akrab tanpa ada sekat yang membatasi sampai terlihat tidak pernah terjadi apa pun. Dia juga menginginkan itu. Sisi anak kecilnya menginginkan pelukan ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
Ficción GeneralMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...