29. Perlahan damai

1K 117 40
                                    

Pertikaian masih belum usai meski rekam jejak sudah kembali berputar dengan jelas di dalam benak. Tepat seminggu kemudian setelah bertemu Sara, Oza mengurus berbagai berkas untuk mengajukan perceraian dengan Cantika. Tentu hal tersebut mengundang banyak amarah dari beberapa anggota keluarga, membuat langkahnya tidak begitu mulus untuk kembali lagi pada sang kekasih.

"Kita harus pisah." Oza menyodorkan sebuah map pada Cantika.

"Aku gak mau."

Susah payah Oza menata kesabaran, dengan mudah jawaban Cantika memporak-porandakan emosi. Laki-laki itu pun refleks membanting map yang dia pegang ke atas meja.

"Ternyata meladeni kamu jauh lebih susah daripada keluarga kamu."

Jika disebut tidak berperasaan, memang benar. Sekarang ini tidak ada kelembutan yang menyentuh Oza. Meski di depannya adalah seorang perempuan, tatapan tajamnya tetap terhunus seperti ingin menghajar.

"Kalau gak mau cerai, kamu mau apa, hm? Jangan berpikir saya akan bersikap adil kalau kamu tetap ingin jadi istri saya. Saya gak bisa."

Cantika memindahkan perhatian pada Oza, memperlihatkan mata yang sudah memerah dan berair. "Kalau gak sama kamu, aku gak ada harganya," ucapnya, lirih.

Kalimat yang sungguh memuakkan. Oza mendengus malas sembari melipat kedua lengan di depan dada. "Di depan saya saja kamu sudah gak berharga. Apa untungnya buat saya?"

Oza tidak lagi memiliki rasa kasihan untuk orang-orang yang sudah menyengsarakan jalan hidupnya. Dia yang awalnya sangat hati-hati dalam melangkah agar tidak dikendalikan siapa pun, malah jatuh begitu saja dan menjadi orang terbodoh karena orang-orang egois. Baginya, itu sangat tidak bisa dimaafkan.

"Lebih baik kamu pulang dan bermanja-manja lagi sama keluarga kamu. Daripada terinjak-injak di bawah kaki saya."

Peduli setan akan setiap kata yang begitu tajam, melihat air mata yang menetes dari pelupuk perempuan itu sama sekali tidak melunakkan hatinya. Dia lalu memilih berbalik dan meninggalkan Cantika seorang diri. Saat ini baginya sudah tidak ada lagi ikatan dengan perempuan tersebut. Dia bisa bebas untuk mengajak Sara kembali pulang kapan pun.

Oza memasuki mobil lantas memacunya menuju ke hati yang seharusnya dia peluk dari dulu. Ada banyak kewajiban yang dia tinggalkan, baik sebagai suami dan seorang ayah. Kini, hal-hal tidak berfaedah perlahan tidak memiliki tempat lagi di benaknya. Semua itu tergantikan dengan banyak hal yang harus dia lakukan demi mempertanggungjawabkan waktu-waktu yang sudah terlewati.

"Afan pengen kuliah, Mas."

Satu dari sekian banyak impian yang terpendam, Oza sama sekali tidak meragukan apa pun pada dirinya untuk mewujudkan hal itu. Demi keluarganya, yang ada hanya tekad untuk memberi kebahagiaan.

*****


Tidak ada pekerjaan lain yang bisa Sara lakukan selain membuat kue brownies. Dia tetap menjalankan rutinitasnya meski masa depan cerah sudah menunggu tanpa harus susah payah mengeluarkan keringat. Bersama Afan yang sudah benar-benar keluar dari pekerjaan, dia menyiapkan pesanan para customer yang hari ini terbilang cukup banyak.

"Bu, tadi Abang dikasih jengkol ini sama Bu Tri," ujar Afan setelah sampai di rumah sambil membawa satu kresek jengkol. Pemuda itu baru saja kembali dari mengantar pesanan milik beberapa pelanggan ibunya.

"Loh, kok?"

"Katanya bawa banyak dari Bandung."

"Ya sudah, istirahat dulu, Abang. Nanti kalau mau, Ibu masakin."

Sementara Afan sendiri, karena kuliah sudah tidak lagi menggunggah ambisinya, dia turut sibuk memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang yang banyak. Memiliki seorang ayah yang kaya, tidak membuat hatinya membesarkan harapan masa depan sehingga leha-leha di masa sekarang.

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang