04. Berlayar tanpa nakhoda

1K 97 36
                                    

Malam berjalan dan Sara masih sibuk mengemasi barang-barangnya. Bersama air mata yang tidak berhenti mengalir, satu-persatu pakaian, beberapa foto dan dokumen penting seperti kartu keluarga dan buku nikah, dia masukkan ke dalam koper.

Meski kelihatannya seperti pihak yang tersingkir, ketahuilah bahwa hanya dengan cara inilah Sara bisa bertahan di atas bahteranya. Jarak memang menjadi masalah, tapi tanda tangan di atas kertas perceraian, jauh lebih menjadi masalah. Logika tak lagi bisa melihat kemungkinan Oza kembali untuk saat ini, namun hati masih erat menggenggam keyakinan bahwa suatu saat lelakinya itu pasti akan pulang.

Oza sedang disesatkan dan Sara sedang disingkirkan. Dia tidak memiliki tenaga lagi untuk berusaha agar bisa bersitatap dengan sang kekasih, sehingga kini dia hanya mampu berpasrah juga bertahan. Tidak ada yang bisa mempertemukan mereka lagi kecuali angin yang dihembuskan oleh semesta sendiri di atas bentangan ruang dan waktu.

Setelah menutup rapat koper terakhir, Sara berpindah mendudukkan diri di pinggir ranjang. Dia meraih buku tipis yang di dalamnya sudah ada selembar surat serta kartu ATM pemberian Pak Santo tadi dari meja nakas. Membukanya dan membaca deretan angka yang sangat fantastis.

Perasaan bercampur-aduk hingga tak tahu harus bereaksi apa. Secara realistis, selagi ada uang maka hidup Sara dan anak-anaknya otomatis akan sangat terbantu. Kekhawatiran masalah ekonomi bisa berkurang. Namun secara batin, uang saja tidak cukup.

Tidak akan cukup.

Di atas bahtera, Sara sedang mengemudi. Tapi dia tidak bisa disebut nakhoda. Lautan yang tenang, bisa menjadi begitu kejam dan dia tidak mengerti baca radar sehingga tidak tahu apa yang terjadi di depan sana. Dia hanya tahu kemudi, bukan navigasi. Bekalnya hanya menghindar sebisa mungkin jika ada ombak datang, itu pun belum tentu dia selamat.

Air mata disekanya, lalu memasukkan buku itu dalam tas kecil sebelum akhirnya terdengar pintu diketok dari luar.

"Masuk aja, Mbak."

Si pelaku pun masuk. Sambil menampakkan raut cemas, Ais mendekat dan duduk di sebelah Sara.

"Saya ikut sama Mbak Sara besok. Saya mau temani Mbak Sara."

"Kok, tiba-tiba?"

"Gak ada siapa-siapa lagi di rumah Mbak Sara yang dulu. Sekarang lagi hamil, terus ngurus Dek Afan juga. Mana tega saya, Mbak?"

Sebuah fakta yang hanya bisa diberi senyuman hambar oleh Sara. Kali ini dia benar-benar merasakan seperti apa rasanya dikasihani. Ingin mengiyakan, namun tak mau menjadi beban orang lain. Sungkan rasanya.

"Mbak Ais bagian dari rumah ini. Jangan ikut saya. Lagian saya gak benar-benar sendiri, kok. Ada tetangga yang saya titipi rumah itu. Beliau sudah saya anggap seperti ibu."

"Tetangga Mbak Sara punya kesibukan sendiri, gak setiap saat ada sama Mbak Sara. Kalau terjadi apa-apa, gimana?"

Inilah Sara yang selalu menganggap waktu mendatang akan baik-baik saja, padahal dia tidak tahu apa yang menunggu di depan sehingga membuatnya tak siap dengan bencana yang akan terjadi.

"Pokoknya saya tinggal sama Mbak Sara aja. Saya sudah bilang ibu saya dan beliau mengizinkan. Tadi saya juga udah beres-beres abis nidurin si adek."

Meski berat untuk mengiyakan sebab tak ingin menjadi beban orang lain, Sara berpikir bahwa dirinya memang butuh dibantu. Mengurus anak tidaklah gampang, apalagi dia merasakan bagaimana repotnya jika bayi menangis tengah malam. Belum lagi, Afan juga masih suka tantrum. Sangat tidak terbayangkan jika terdengar suara tangisan secara bersamaan.

Air mata kembali menggenang karena haru. Sara beringsut memeluk Ais yang tubuhnya lebih kecil darinya.

"Makasih banyak, Mbak Ais. Tapi Mbak Ais tetap kerja di rumah ini, kan?"

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang