Lembaran yang memuat perjalanan mereka akhirnya dilanjutkan kembali setelah terjeda selama 16 tahun. Bersama tiga anggota baru yang kini turut hadir di dalam rumah yang sudah lama hanya diisi dengan ketegangan.
Satu minggu kemudian akhirnya Sara pulang ke rumah bersama Oza. Rumah yang sama di mana kerumitan dalam hidupnya dimulai. Banyak yang sudah berbeda, tapi tidak menghilangkan bekas memori yang masih melekat di ingatannya begitu menginjakkan kaki lagi.
"Selamat datang kembali," ucap Oza saat Sara menghentikan langkah untuk melihat setiap sudut ruangan rumah.
Laki-laki itu berdiri di sampingnya lalu mengulas senyum tulus saat dia menoleh dan bersitatap. "Kayaknya udah banyak dirubah, ya?" tanya Sara kemudian.
"Keliatan banyak, tapi sebenarnya cuma sofa sama beberapa lemari yang diganti. Yang lain masih sama, kok ... kayanya," jawab Oza agak ragu di akhir kalimat.
Sebenarnya tidak masalah juga bagi Sara. Yang penting rumah ini tetap terlihat rapi dan bersih. Dia lalu menggeret kopernya bersama Oza menuju ke salah satu kamar. Belum berniat untuk merapikan barang, perempuan itu merebahkan diri dulu ke atas kasur disusul Oza. Keduanya lantas mengundang hening sambil memandang ukiran plafon di langit-langit kamar yang agaknya masih sama seingat Sara.
Lagi-lagi mengenang rekam jejak. Rasanya masih tidak percaya jika masa-masa susah itu sudah berakhir saat ini. Rasa kecewa yang sudah menumpuk seolah-olah pudar perlahan begitu mengirup aroma atmosfer di rumah ini. Sungguh berat, tapi Sara bersyukur bisa terus kuat hingga tamat.
"Adit dan Adin sudah saya daftarkan sekolah. Satu tempat sama anaknya Aryo." Oza akhirnya memecah keheningan hingga membuat Sara refleks menoleh. "Sekolahnya bagus. Gak perlu khawatir kalau ada pembully lagi."
Sara tak merespon. Dia hanya tersenyum senang lantas memindahkan kembali atensinya.
"Abang sudah saya suruh nyari kampus yang dia mau. Nanti kalau sudah masa penerimaan mahasiswa, dia bisa langsung daftar. Besok, niatnya mau saya ajak beli laptop sama hp. Saya lihat hp-nya sudah jelek," sambung Oza.
Jelek? Bagi Sara ponsel pemakaian 3 tahun agaknya masih belum begitu mengkhawatirkan. Afan itu anak yang sangat berhati-hati dalam menggunakan barang-barang.
"Kalau selagi masih bisa, saya rasa gak usah beli dulu. Saya gak mau jadi orang boros. Hp-nya memang jelek. Dulu saya memang beli yang paling murah dari penghasilan pertama waktu awal-awal buka usaha."
"Loh, saya ini gak ngajarin anak boros. Saya mau kasih yang lebih layak. Itu juga bukan berarti saya mau ngeremehin barang yang kamu beli," timpal Oza yang mulai mengajak Sara berdebat.
"Ya tapi sayang aja gitu. Kalau hp yang ini masih bagus terus Mas beliin hp baru, yang lama mau diapain?"
"Tetep dipake. Kan, gak ada larangan orang pake dua hp."
Keduanya lalu sama-sama menoleh.
"Itu terlalu berlebihan. Jujur, saya gak suka," ucap Sara dengan ketegasan.
"Ya sudah, dijual saja biar gak sayang."
"Kok, dijual, sih? Malah lebih sayang. Saya bisa beliin abang hp itu pencapaian buat saya, loh, Mas," protes Sara sambil mendudukkan diri.
Oza tidak perlu heran jika masalah sepele pun bisa menjadi perdebatan dengan Sara. Dari dulu hingga sekarang dia akui pemikirannya dan Sara sama-sama kaku dan sulit untuk mengalah. Dia lalu ikut duduk.
"Kalau gitu gak usah protes. Kamu ini kebiasaan apa-apa pasti dibikin ribet. Beli hp baru itu juga karena kebutuhan. Jaman makin canggih, susah kalo teknologi kurang mengikuti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...