Tak pernah bertemu bukan berarti tak lagi sayang. Diam saja bukan berarti sudah tak lagi peduli. Terkadang demi menghindari dampak buruk untuk diri sendiri, lebih baik menepi daripada harus berlarut dalam konflik. Tak peduli apa pun anggapannya, yang jelas tidak ada niat lain selain untuk mengingatkan pada jalan yang benar.
Aryo mungkin sudah dianggap sebagai anak durhaka. Padahal dia selalu menghormati orang tuanya. Akan tetapi meski begitu, dia tetap tak pernah mau membenci dan berusaha menyambung hubungan lagi.
Hari ini setelah pulang dari mengajar, tepatnya pukul 4 sore dia berkunjung ke rumah orang tuanya. Awal niat hanya untuk mencari keberadaan Oza, sebab saudaranya itu tidak ada di rumah. Tapi karena berhubung ada rasa rindu rumah juga, tak masalah jika ternyata tidak ada Oza.
Satu kali memencet bel, tak perlu waktu lama sudah terdengar ada seseorang yang hendak membukakan pintu dari dalam.
"Iya?"
"Assalamualaikum, Bi."
"Waalaikumsalam, Pak Aryo."
"Papa sama mama ada?"
"Ada semua. Kebetulan lagi nyantai di teras belakang. Silakan masuk."
"Makasih."
Pak Santo sudah lama pensiun dari perusahaan yang kini digantikan oleh Oza, tentunya pasti ada di rumah menikmati masa-masa tua. Aryo segera menuju ke teras belakang. Sedikit ragu karena sudah jelas tidak akan mendapatkan sambutan hangat dari sang papa.
"Assalamualaikum."
Baik Pak Santo dan juga Bu Ayun, keduanya sontak memindahkan perhatian pada Aryo yang baru datang. Dan benar saja, hanya Bu Ayun yang berdiri lalu mendekap Aryo dengan pelukan kasih sayang.
"Mau apa ke sini?" Nada dingin langsung menusuk pendengaran. Aryo memilih mendekat dan mencium punggung tangan laki-laki tua tersebut.
"Aryo, kan, masih anak Papa."
"Halah, kamu itu pasti ada aja maksudnya. Mau nyari Oza, kan?"
Terlihat tidak ada tanda-tanda batang hidung Oza sejak memasuki pintu gerbang tadi. Tapi tidak masalah, Aryo masih punya maksud lain untuk datang ke sini.
"Enggak, Pa. Aryo datang cuma mau ngasih tahu sesuatu ke Papa sama Mama. Penting banget."
"Kasih tahu apa?" Agaknya Pak Santo tidak begitu tertarik dan hanya Bu Ayun yang bereaksi penasaran.
Aryo mendudukkan diri di kursi kosong yang ada di dekat Bu Ayun. Berbicara dengan orang tuanya sangat sulit untuk berbasa-basi santai. Pak Santo seolah terus mengintimidasinya sehingga sangat sungkan untuk berbicara santai.
"Kemarin Aryo ketemu Sara."
Mendengar nama Sara yang notabene sudah lama pergi sejak lama, membuat dua orang tua itu terhenyak. Mereka sama-sama mengalihkan perhatian intens pada Aryo sebelum memberi reaksi masing-masing.
"Tempat mengajar Aryo yang baru adalah sekolah anak-anaknya Sara."
"Kamu ketemu di mana?" Ini Bu Ayun. Dia nampak memberi reaksi haru dengan mata berkaca-kaca. Perempuan itu yang sepertinya masih menyimpan rindu dan kasih sayang pada Sara.
"Di rumah sakit. Aryo lagi nganterin Adit yang terluka."
Ingin mengungkapkan kebahagiaan dan segala reaksi antusias, namun malah air mata yang menetes. Bu Ayun terlihat lemas dengan pandangan tertunduk penuh rasa bersalah. Berbeda dengan Pak Santo yang terlihat tidak peduli sama sekali.
"Terus kalau kamu ketemu Sara, mau apa? Mau apa ke sini?" Tidak perlu menebak, Pak Santo pasti memberikan reaksi tidak suka.
"Apa Papa gak ada rasa kasihan sedikit aja? Selama ini Sara gak nikah lagi, loh, demi Oza. Dia ngurus anaknya Oza sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...