Siang menuju sore, Oza sudah berada di perjalanan menuju pulang. Pekerjaan tidak ada habisnya, tapi untuk hari ini dia memilih untuk sedikit menunda demi bisa pulang cepat. Di sampingnya sekarang sudah ada paper bag besar berisi laptop baru untuk Afan. Sesuai rencana, dia membelikan benda itu hari ini meski belum dibutuhkan dalam waktu dekat.
Memasuki halaman rumah, mobilnya tidak langsung masuk ke dalam garasi. Ada sebuah mobil yang menghalanginya. Oza pun keluar dan menghampiri mobil tersebut.
"Ngapain ke sini segala," gumamnya bersama raut wajah yang berubah kesal.
Oza sudah cukup dengan rumah tangganya yang kembali utuh. Dia tidak berharap menjalin kedekatan lagi dengan orang yang sudah mengecewakannya sekali pun kesalahan telah diakui. Setelah semua memori berharga telah pulih, kini dia tidak mampu lupa dengan apa pun terutama hal yang menyakitkan. Dia bahkan tidak akan melupakan perbuatan papanya.
Bergegas, Oza menghampiri pintu dan hendak membukanya. Namun, baru saja memegang handle, suara percakapan di dalam rumah membuatnya terdiam sejenak.
"Kalau kalimat penyesalan saya gak buat kamu maafin saya, tolong biarkan saya bersujud di dekat kaki kamu, Sara."
"Saya sampe bosan dengar orang minta maaf. Papa, mama dan Mas Oza itu sama aja. Kalian itu sukanya maksa saya maafin, padahal kalian sadar bahwa perbuatan yang merugikan ujung-ujungnya hanya penyesalan." Itu suara Sara yang terdengar tegas.
"Saya itu gak bisa dipaksa, Pa. Luka perlu waktu buat sembuh. Saya nerima semuanya bukan karena saya sudah maafin."
Pegangan pada handle pintu mengerat. Ingin segera membuka, tapi telinga masih tidak mau melewatkan pembicaraan di dalamnya.
"Papa sama mama punya kasih sayang ke anak-anak saya. Saya cuma gak mau menyia-nyiakan hal itu. Sekarang pun kalau Papa masih benci saya tapi tetap mau perhatian sama Afan, saya tetap merasa senang, kok."
"Sekarang saya sadar, Nak. Saya terlalu ambisius memperlakukan Oza. Dia itu anak yang menurut saya sempurna dan lebih bisa diandalkan dari Aryo. Tapi sayangnya dia bukan anak penurut, makanya saya selalu bersikap keras."
Sudah cukup. Oza akhirnya membuka pintu dan masuk, menyela situasi tiga orang itu dan membuat atmosfer kian menegang. Pak Santo beralih pada Oza semakin menyorotkan sirat penyesalan.
Sementara Oza sendiri tidak peduli. Sakit hatinya masih menjamur sampai saat ini sampai tidak ada sedikit saja celah untuk menerima sorot penyesalan tersebut. Dia seolah tidak memiliki ruang untuk menerima kata maaf dari papanya.
"Mau nuntut apa lagi ke sini?" tanya Oza, sarkas.
"Papa datang cuma mau damai. Papa mau minta maaf."
Oza berdecih. "Oza udah gak punya hubungan lagi sama Papa. Sejak malam itu, Oza udah bukan anak Papa. Jadi lupain aja. Anggap kita orang asing."
Pak Santo mendekati Oza seraya menggeleng, menyangkal pernyataan sang anak. "Jangan, Nak. Papa udah mengakui sikap Papa selama ini. Gak perlu dijabarkan, yang jelas Papa sudah salah memperlakukan kamu."
Hati Oza tidak pernah mau lapang sehingga ucapan Pak Santo terdengar cukup membosankan di telinganya. Sama sekali tidak menyentuh.
"Papa memohon maaf."
Alih-alih redam, kata maaf yang terlontar itu justru membuat emosi meningkat. Tangannya bahkan sampai mengepal kuat seolah ingin kembali memukul laki-laki tua ini.
"Papa—"
"Pergi."
Pak Santo terhenyak. Hati seketika mencelos setelah mendapatkan penolakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...