Tiga minggu kemudian—tepat satu bulan setelah meninggalkan kehidupan penuh fasilitas. Sara mungkin menjalani hidup yang begitu berat, apalagi setelah tidak tinggal lagi dengan suami tercinta. Namun itu bukan berarti dia terus dilanda kesedihan setiap detiknya. Ada momen-momen yang bisa mengundang gelak tawa dan menyingkirkan gundah untuk sesaat. Jika disebutkan semua, itu akan membuat satu paragraf menjadi sangat panjang.
Ada banyak saat-saat yang menghangatkan sampai Sara hampir lupa bahwa dirinya ada di tengah lautan yang ganas. Kini salah satunya adalah mengenai kehamilannya yang sudah memasuki bulan ketiga.
Sara pikir ada yang aneh dengan bayi di dalam rahimnya, sebab dia merasa ukuran perutnya menjadi lebih cepat besar padahal belum trisemester kedua. Dia pun memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan dan hasilnya sungguh mengejutkan batin.
"Ini bukan karena bayinya gede, tapi karena ada dua."
"Ha? Yang bener, Dok?"
"Iya, Mbak. Lihat, kembar ini dedeknya."
Kelopak melebar seketika melihat layar monitor yang menampilkan suasana di dalam perutnya, di mana nampak ada dua penghuni. Bersamaan dengan itu, senyum mengembang lebar. Senang tidak terkira hingga bisa membangun angan kembali.
"Wah, iya."
"Mbaknya punya keturunan kembar, ya?"
"Bukan saya. Tapi suami yang punya. Dia ada kembaran."
"Oh, bisa-bisa."
Saat seperti inilah yang bisa menyelimuti Sara dari dinginnya kesenduan. Senyumannya betah untuk terpampang, mengiringi hati yang bahagia.
"Baik kalau begitu, nanti Mbak Sara bisa kembali dalam 3 atau 4 minggu lagi saat trisemester kedua untuk pemeriksaan yang lebih meyakinkan buat dedeknya. Kalau sekarang ini belum terlalu kelihatan."
"Iya, Dok."
"Dan biar lebih aman, Mbak Sara jangan pergi sendiri, ya? Ditemani saudara kalau suaminya gak bisa. Gak tega saya bayanginnya."
Senyum Sara menghambar, ingat akan realitanya saat ini. Laki-laki yang dia sebut suami, sekarang tidak tahu bagaimana keadaannya. Ikatan terjaga namun hidup berpisah tanpa saling mengetahui keadaan masing-masing. Bukan karena pertengkaran pribadi, tapi jauh karena campur tangan orang lain.
Sara masih akan menanti seperti orang bodoh, kapan Oza akan kembali padanya.
"Baik."
"Dijaga kesehatannya, nutrisinya dicukupi, jangan terlalu banyak melakukan aktivitas berat. Anak kembar itu butuh tenaga yang ekstra dan resikonya lebih tinggi."
"Iya, saya paham. Terima kasih banyak, Dok."
Jujur, kalimat terakhir si dokter memunculkan sedikit kekhawatiran di batin Sara di samping rasa gembira. Dia sedang berdiri seorang diri, menjadi pegangan untuk para buah hati. Tiga anak adalah anugerah yang begitu besar. Tanpa adanya pendamping, Sara takut tidak mampu bertahan.
Sejenak dia duduk di jajaran kursi yang yang ada bagian pendaftaran untuk melepas lelah. Dia mengibaskan dokumen hasil USG di dekat leher untuk meredam hawa panas. Ya, Sara sudah kelelahan setelah berjalan di koridor yang cukup panjang.
Hari masih belum terlalu siang, Ais tentu masih bekerja di rumah Oza dan Sara harus segera pulang sebab Afan sudah terlalu lama dia titipkan ke tetangga dekat. Sambil mengistirahatkan tubuh, ponsel dibukanya untuk memesan ojek online.
"Sara?"
Baru saja selesai memesan ojol, tiba-tiba ada yang menginterupsinya. Sara pun mengangkat wajah dan mendapati seorang laki-laki melangkah mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...