Tiga hari berikutnya, tepat di hari Sabtu yang cerah ini, ada sedikit keberuntungan yang menyapa Adit. Bersama Aryo, dia menghabiskan waktu pergi ke pusat perbelanjaan. Seharusnya para perempuan juga ikut. Namun karena Sara sedang banyak pesanan, Ishana dan Adin pun lebih memilih menikmati akhir pekan dengan membantu membuat brownies. Dapur bukan keahlian Aryo dan Adit, karena itu mereka keluar mencari suasana baru bersama.
Berharap akan meminta sesuatu saat pergi ke pusat perbelanjaan, Adit hanya menginginkan pengganjal perut. Alhasil kini keduanya ada di food court dan membeli makanan.
Satu hal yang membuat Adit merasa hari ini keberuntungan adalah hadirnya Aryo bersamanya. Mungkin sosok yang diharapkan belum ada, tapi rasa yang kurang itu perlahan membaik. Kehangatan sedikit demi sedikit datang menyelimuti ruang hati yang telah lama sunyi.
Jujur, dengan seperti ini saja Adit sudah cukup bisa menepis perasaan negatif yang sempat hinggap di benaknya. Biar bagaimanapun dia menginginkan masa-masa semacam ini sejak masih kecil. Dia tak ingin membohongi diri sendiri.
"Kalau udah lulus nanti, mau kuliah apa?"
Pembahasannya terlalu jauh untuk Adit. Tapi tak masalah, namanya juga orang tua.
"Terus terang, saya belum ada niat kuliah, Om."
Hidup tanpa ambisi memang terasa hambar, tapi Adit cukup menikmatinya. Cita-cita ingin menjadi apa sama sekali belum pernah terbayangkan. Dia terlalu sibuk melakoni takdir demi mempertahankan rasa syukur.
"Beda sama abang yang pengen jadi dokter, saya bisa melalui hari ini dengan tenang saja sudah seneng banget. Saya gak ada cita-cita hebat."
Tidak ada keinginan besar yang terpendam, sungguh. Tekanan dari lingkungan sekitar mengekangnya. Keresahan terus bersemayam, membuatnya tidak memiliki ruang untuk merencanakan masa depan.
Adit juga terkadang berpikir bahwa dirinya seorang penakut. Perlawanannya akan ujian dunia tidak benar-benar kuat dan memilih pasrah. Selain itu tidak ada yang bisa dia jadikan panutan untuk memilih jalan. Sehingga tidak ada hal hebat yang dia pikirkan.
"Mungkin saja belum, tapi tetap aja saya gak yakin sama diri sendiri."
Percaya diri? Bagaimana bisa? Dari dulu saja selalu jatuh dengan berbagai hujatan, bagaimana dia bisa mempercayai dirinya sendiri?
"Kenapa gak yakin?"
"Gak yakin karena gak ada yang bisa dibanggakan."
Di depannya sekarang ada sebotol minuman soda dingin. Pandangan lurus memperhatikan buliran air yang mengalir di dinding botol, menyibukkan sorot saat angan menjelajahi isi benak yang tersembunyi.
Iya, memang tidak ada yang dibanggakan dari dirinya. Tidak kaya dan tidak pintar, mau usaha pun nyali terlanjur ciut sebab adanya caci maki dan yang paling penting tidak ada pelindung. Adit berpikir dia harus menjalani apa adanya kehidupan.
"Nak, kamu gak perlu membanggakan sesuatu untuk bisa yakin. Pada dasarnya manusia gak punya apa-apa kecuali hati."
Buliran air itu akhirnya menyentuh meja, membuat sorot berpindah pada manik legam di hadapannya.
"Menjadi berani memang sulit, tapi lebih sulit lagi hidup sebagai pengecut."
Relungnya sedikit tersentuh dengan kalimat itu. Namun di sisi lain dia juga tidak terima dengan pernyataan Aryo. Sangat mudah berucap bagi orang yang belum pernah mengalami bagaimana sulitnya meraih kedamaian.
"Om sudah hidup dengan banyak harta, mau jadi berani atau jadi pengecut gak akan mempersulit hidup. Om punya kehormatan dan uang, pasti bisa melakukan apa pun tanpa ragu. Sedangkan saya? Pakai sepatu baru aja, dikatain norak. Pakai baju lusuh, dikatain berandal. Bertingkah sedikit, langsung dikatain gak punya moral. Ujung-ujungnya ibu yang dihina."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
قصص عامةMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...