Hari baru yang digunakan untuk memutuskan hal baru. Sara harus memutar kemudi ke lain arah, menghindari terjangan badai yang sepertinya tidak kunjung berhenti di depan sana.
Antara perpisahan dan bertahan, dia sama sekali tidak memilih salah satunya. Ada ketakutan tersendiri di dalam batin yang mungkin akan datang suatu saat nanti sehingga dia memilih untuk membawa keduanya pergi jauh.
Ya, pergi.
"Kira-kira daerah mana yang jual rumah layak huni, tapi harganya masih bisa saya jangkau gitu. Kemarin ada yang nawarin, tapi masih kemahalan," ucap Sara seraya mengutak-atik ponselnya, menjelajahi internet.
"Kalau masih di daerah Jakarta, mah, pasti mahal-mahal, Mbak."
Sara mengembuskan napas panjang seraya menurunkan ponsel ke atas pangkuan. Pandangan menerawang ke depan bersama otak yang berpikir keras.
"Bingung saya."
"Kayanya nunggu rumah ini ketemu pembelinya dulu, deh. Biar ada uang lebih."
"Iya kayanya. Semoga aja secepatnya."
Sara benci dihadang pilihan, apalagi pilihan yang menyulitkan benaknya. Di sisi lain pilihan itu, ada juga tekanan yang kian membuat Sara tidak bisa menjalani hidup dengan tenang.
Berpisah, batin tak merestui. Menetap, benak kurang menyetujui. Daripada salah satunya memberontak, Sara akhirnya memilih untuk pergi. Toh, dia juga tetap membawa kedua pilihan itu. Berpisah tapi dengan jarak dan menetap tapi dengan jarak pula. Intinya, Sara hanya ingin pergi dari tekanan.
Selang beberapa waktu, seseorang datang memberi salam di depan rumah. Ais pun segera beranjak untuk membukakan pintu.
"Eh, Mas Dandre?"
"Gimana kabarnya, Ais?"
"Alhamdulillah baik. Masuk, Mas."
Laki-laki itu masuk dan langsung disambut oleh Sara. Lama tidak bertemu, suasana canggung pun agak membatasi.
"Maaf, ya? Saya baru sempat berkunjung."
"Gak papa. Mas Dandre seharusnya gak perlu ke sini, nanti malah ngerepotin."
Dandre menipiskan bibir. Selain canggung karena lawan jenis, pembawaan Sara kian membuat segan karena penuh dengan batasan.
"Jadi, gimana keadaan anak-anak kamu?"
"Baik. Semua sehat termasuk saya."
Obrolan tidak mengalir lancar. Beberapa kali Dandre harus mencari topik baru agar waktu yang dihabiskan sedikit lebih lama, sebelum akhirnya keberanian timbul untuk menyinggung pasal Oza.
"Kamu ... jadi cerai?"
Sontak, Sara memindahkan perhatian pada Dandre. Senyum tipis yang menghiasi wajah di sepanjang obrolan seketika pudar.
"Kenapa?"
"Tadi pagi orang tua saya baru aja dapat undangan Oza sama Cantika menikah. Kamu udah berubah pikiran?"
Sara begitu sensitif terhadap nama Oza sekarang. Emosionalnya semalam terus terang belum benar-benar meredam. Napas berat pun berembus, memberi jeda untuknya menata jiwa yang porak-poranda setelah digempur badai.
"Saya gak pernah bilang kalau saya pengen bercerai. Tapi kalau orang lain melihat saya udah jadi janda, saya gak bisa marah."
Mendengar jawaban Sara, kening Dandre berkerut samar. "Jadi? Kamu gak bercerai?"
"Enggak."
"Terus kamu membiarkan Oza poligami, gitu?"
"Enggak juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...