SATU

33.4K 960 13
                                    

“Waahh, Assalamualaikum Gus kecil!!" Ashilla berucap senang saat Gus Zidan sang kakak masuk ke dalam kamarnya yang  terbuka sembari membawa Gus kecil, Irham Zaid Al-Fattah.

“Waalaikumsallam Aunty,” jawab Gus Zidan.

Ashilla berdiri dan menghampiri bayi gembil yang tampan dan menggemaskan itu. “Hmm harum sekali keponakan Aunty yang tampan ini,” ucapnya seraya mencium pipi gembil Irham dengan gemas.

"Masya Allah, gemas sekali Gus kecil ini .... " Ashilla semakin hemas ketika Irham tertawa khas bayi karena ucapannya.

"Dek, kamu mau berangkat ke TK tah?"

"Inggih Mas." Jawabnya seraya mengajak Gus kecil kesayangannya mengoceh.

"Apa ndak capek bolak-balik setiap hari? Sampai rumah kamu langsung mengajar di kelas Tsanawiyah dek."

Gus Zidan pasrah memberikan Irham untuk di gendong oleh Ashilla. "Ndak capek Maas. Shilla malah senang bertemu dengan banyak anak kecil. Tunggu. Mas kenapa sih tiba-tiba perhatian begini?" tatapannya memicing curiga ke arah sang kakak.

Lalu tatapannya beralih kepada Gus kecil di gendongannya yang tampak asyik menghisap jari tangannya. "Cah Bagus, Abimu aneh deh," Gus kecil hanya membalas ocehannya dengan tertawa.

"Ya siapa tahu kamu capek. Tiba-tiba ingin ada yang menafkahi gitu."

Mendengar itu Ashilla tertawa. "Menikah maksudnya?"

Gus Zidan mengangguk.

"Ya Allah Mas. Shilla bahkan belum punya pikiran kesana. Shillla masih mau belajar, main sama Gus cilik, masih mau tinggal sama Ummah dan Abah juga," paparnya. Jujur dia memang sama sekali tidak ada rencana menikah dalam waktu cepat.

"Lagi pula ya Mas. Shilla ini masih kecil,"

Gus Zidan merotasi bola matanya. Ashilla selalu menggunakan kata keramat itu setiap kali membahas soal pernikahan. "Kamu dua puluh empat tahun lho, tahun ini. Masih kecil apanya? Tahun depan sudah dua puluh lima tahun malah,"

“Ya iya kan masih kecil. Iya kan cah bagus?”

Gus Zidan menggelengkan kepalanya, adiknya ini benar-benar keras kepala dari dulu. Jujur, ia merasa senang karena sang adik sudah mulai membuka diri dan berani keluar dari zona nyamannya, dengan mengajar ke tempat yang cukup jauh dari pondok. Namun, ia tetap khawatir, apalagi Ashilla ini seorang perempuan, kejahatan terhadap perempuan begitu marak akhir-akhir ini.

Ashilla Nadiatul Shafa, si bungsu keluarga Abah Yai Muzaki berusia dua puluh empat tahun, memiliki paras yang cantik. Kulit seputih susu, senyum yang manis. Memiliki tinggi 160 cm, rambut panjang yang hitam lebat. Namun semua kecantikan itu ia tutup dengan rapat, dengan pakaian lebar menutup aurat, dan tertutup cadar.

Setelah lulus kuliah ia berprofesi sebagai pengajar di pondok pesantren milik Abahnya, dan baru-baru ini mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak yang jaraknya lumayan jauh dari pondok pesantren.

Ini yang membuat Gus Zidan setiap hari cemas. Selain karena jarak yang lumayan, terlebih Ashilla adalah seorang perempuan. Rentan sekali terkena kejahatan seksual, atau perampokan karena ketidak berdayaan mereka.

"Dek. Mas takut kamu kenapa-napa lho. Nanti Mas antar saja ya? Sekalian Mas juga mau ke restoran, Mas sama Gus Malik mau bikin menu baru di sana."

Ashilla menghela napas. Pembahasan ini lagi. Batinnya.

"Ndak bisa dong Mas. Arah restoran Mas sama sekolah tempat Shilla mengajar itu beda arah."

"Iya, Mas ndak apa-apa--"

Ashilla menggeleng tegas. "Ndak. Pokoknya Shilla ndak mau di antar sama Mas. Titik!"

Ashilla tahu kakaknya ini sangat menyayanginya. Tapi rasa sayangnya terlalu berlebihan menurutnya. Memangnya salah jika ia ingin mencari pengalaman baru dengan mengajar di luar pondok?

"Lho, cah bagus Amih ternyata mampir ke kamarnya aunty ya?"

Seakan mengerti suara sang ibu, Gus kecil yang tengah di gendong Ashilla itu merengek. "Uuhh. Giliran ada Amihnya nangis. Dikira kamu di cubit sama aunty lho,"

Ayana terkekeh, mengambil Irham yang menangis ke gendongannya. "Kenapa nak? Kamu di cubit aunty, iya?"

Irham mengeluarkan ocehan khas bayi. Seolah mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh ibunya.

"Oh iya, anak ganteng Amih di cubit aunty? Oowwh kasian,"

Ashilla tergelak. Keponakannya itu benar-benar menggemaskan, rasanya ia ingin menggigit pipi gembilnya yang lucu.

"Sudah mau berangkat dek?" tanya Ayana sembari menimang Gus Irham agar tangisnya mereda.

"Inggih Mbak. Tapi masih gemas sama Gus cilik ini, mau Shilla bawa deh rasanya,"

Ayana terkekeh seraya menggelengkan kepala, mendengar ucapan random sang adik ipar. Berbeda dengan mereka yang tengah tertawa, Gus Zidan terlihat murung.

"Mas mu kenapa?" bisik Ayana.

Ashilla mengangkat bahunya. "Biasalah. Overprotective nya lagi kambuh,"

Ayana menghela napas, menepuk bahu sang suami yang duduk di sisi ranjang Ashilla, sedangkan Irham sudah kembali dalam gendongan Ashilla. “Mas ... “

Gus Zidan mengusap wajahnya, tersenyum kepada sosok cantik Ayana, ia lalu memeluk perut Ayana. “Percaya sama Ashilla nggih. Ashilla sudah dewasa Mas, Insya Allah bisa menjaga diri,”

“Aduuh, lihat Amih dan Abi kamu malah pamer kemesraan sama Aunty.”

Ayana terkekeh, sedang Gus Zidan mendelik kesal.

"Sini sayang, sama Amih lagi. Aunty mau berangkat dulu," Ayana kembali mengambil Irham dari Ashilla, karena tidak ingin Ashilla terlambat untuk sampai ke sekolah.

"Mas, sudah nggih. Shilla janji kalau ada apa-apa langsung telepon Mas,"

Gus Zidan menghela napas. "Janji?"

"Inggih Abinya Irham."

"Kalau bohong, mas nikahkan kamu lho!"

Ashilla mencebik kesal. "Iissh Mas." Ashilla beralih menatap Gus kecil yang menghisap jari mungilnya. "Cah bagus, kalau sudah kalau sudah besar jangan seperti Abi ya. Cah bagus harus seperti aunty yang ramah nan bersahaja ini."

"Halaah lagamu!"

Ashilla terbahak. "Shilla pamit dulu nggih. Dadah Gus cilik kesayangan aunty!" Ashilla tidak lupa untuk mencium pipi gembil Irham.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumussallam."

Ashilla pergi setelah menyalami tangan kedua kakaknya. Langkah kakinya begitu semangat, dan benar-benar tidak sabar untuk memulai hari bersama anak-anak TK yang sangat menggemaskan.

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang