Kedua keluarga itu hanyut dalam suasana haru biru. Abah Yai Muzaki menghapus air mata yang mengalir di kelopak mata sang putri, sebelum akhirnya menatap kepada Gus Ikmal, orang yang akan menjadi pelengkap hidup putrinya nanti.
"Saya dan Zidan selaku orang yang mencintai Ashilla dari sejak bayi, akan memberikan restu." Abah Yai Muzaki kembali mengecup pucuk kepala yang berbalut hijab maroon dengan cadar berwarna cream.
Gus Ikmal dan Yai Muslih saling melempar senyum. "Alhamdulillah. Terima kasih, Yai, Gus."
Gus Zidan mengangguk. Meski setiap hari sering mengganggu sang adik, ia memiliki cinta yang besar kepada adik satu-satunya ini. "Gus, ngapunten. Boleh kami titip satu hal kepada sampeyan Gus?"
Gus Ikmal mengangguk. "Monggo Gus."
"Tolong sayangi, dan Ashilla selayaknya kami mencintainya sedari kecil. Gus, jika kelak sampeyan sudah tidak lagi mencintai Ashilla, tolong pulangkan kepada kami secara baik-baik pula." paparnya. Ashilla kembali menangis, kakaknya yang setiap hari selalu usil ternyata sangat mencintai dirinya.
"Inggih Gus. Saya akan mengingat semua itu dengan baik."
Alhamdulillah ....
Semua orang kembali mengucap syukur.
"Jadi, bagaimana Gus? Kapan waktu di tentukannya tanggal pernikahan?" tanya Gus Zidan.
Gus Ikmal terkekeh pelan. "Kenapa rasanya jadi Gus Zidan yang ndak sabar?"
Ucapannya barusan mengundang gelak tawa, tak lama suara tangis Aila terdengar. Anak berusia lima tahun itu menangis seraya di gandeng tangannya oleh Ning Ayana menuju sang Baba.
"Baba!!" Aila langsung meminta di peluk oleh Gus Ikmal setelah jarak mereka berdekatan.
Gus Ikmal memeluk Aila dan mendudukkan Aila di atas pangkuannya. "Kenapa sayang? Aila mengantuk?"
"Engga Baba!!"
Gus Ikmal menatap keluarga Gus Zidan dengan tidak enak hati. "Ndak apa-apa Gus. Ya wajar namanya anak-anak, coba sini Abah mau tanya, Ning Aila kenapa? Bosan ya?"
Aila menggeleng. "Aila ajak Gus kecil main dino-dinoan, tapi Gus kecilnya malah main boneka tayoooo!!"
Semua orang lagi-lagi tertawa. Mereka mengerti apa maksud ucapan Aila barusan, Aila merasa Irham si Gus kecil mengabaikannya, padahal Irham hanya tidak mengerti apa yang Aila katakan padanya, sehingga Aila menangis karena salah paham.
Ning Ayana meringis, ia sendiri sudah menjelaskan alasan Irham tidak mau bermain dino, tapi Aila malah semakin menangis.
"Aduuh, aduuuh. Aila ndak boleh begitu Nduk. Gus kecil belum mengerti apa ucapan Aila, masa sudah besar menangis sih?" ucap Kyai Muslih.
Aila masih terisak, Kyai Muslih mengusap air mata sang cucu. "Wes toh, malu. Itu ada ibu Cilla lho, malu dong anak sekolah kok masih menangis."
Aila menghentikan tangisnya. Benar, ia menemukan sosok Ashilla di sana seraya melambaikan tangan, meminta gadis kecil itu menghampirinya. "Baba mau turun." pintanya.
Gus Ikmal menurunkan Aila dari pangkuannya, dan gadis kecil itu langsung berlari ke arah Ashilla yang langsung menggendong dan mendudukkan Aila di atas pangkuannya. "Ibu Cilla, jangan beritahu teman-teman Aila di sekolah ya, kalau Aila menangis malam ini?"
Ashilla mengangguk. "Iya, Ibu Cilla ndak akan kasih tahu. Tapi Aila harus janji, ndak boleh menangis lagi ya? Nanti air matanya habis,"
"Habis?"
"Iya habis. Untuk malam ini, tangisnya sampai sini saja ya. Aila ndak mau kan, kalau nanti air matanya habis?"
Aila menggeleng, ia segera menghapus air mata yang membasahi wajahnya, kemudian tersenyum lebar. "Sudah ibu Cilla. Aila sudah tidak menangis lagi hehe."
Masya Allah ....
Betapa menggemaskannya Aila yang masih sangat kecil itu. Interaksi Aila dan Ashilla juga tidak luput dari pandangan kedua keluarga yang tengah berkumpul itu. Interaksi yang sungguh manis dan mengharukan, Ashilla sangat menyayangi Aila, dan itu membuat para orang tua senang bukan main, terlebih Yai Muslih. Ia sama sekali tidak berhenti tersenyum, bersyukur karena Ikmal dan Aila di pertemukan dengan sosok Ashilla, wanita yang sangat tepat untuk mendampingi hidup mereka.
"Ik, apa ndak sebaiknya pernikahan kalian di percepat saja?" usul Yai Muslih.
Gus Ikmal, dan Ashila sama-sama terkejut. "Di--percepat Abi?" tanya Gus Ikmal.
Ia berdeham, jauh di dalam lubuk hatinya ia sama sekali belum siap menjalani kehidupan pernikahan dengan wanita yang sama sekali tidak pernah di cintainya, luka masa lalunya membuat ia berpikir bahwa semua wanita itu sama saja. Sama-sama penuh drama, dan makhluk paling manipulatif.
"Iya, Aila saja sudah dekat begitu dengan Ning Ashilla. Ndak apa-apa kan Yai, jika di percepat?"
Abah Yai Muzaki terkekeh. "Boleh. Tapi keputusan tetap saja ada pada kedua calon Yai. Bagaimana Gus?"
Gus Ikmal berdeham, sedangkan Ashilla mengalihkan kegugupannya dengan berbincang pendek-pendek dengan Aila.
"Baik Yai. Minggu depan bagaimana?"
Kedua mata Ashilla membola. Minggu depan? Yang benar saja? Itu terlalu cepat.
Abah Yai Muzaki dan Yai Muslih tertawa. "Apa ndak terlalu singkat Ik? Minggu depan itu sebentar lho? Bulan depan saja bagaimana?"
Gus Ikmal menghela napas, memijat pangkal hidungnya. Bukankah barusan para orang tua menyerahkan keputusan kepadanya? Ya Allah, ini benar-benar merepotkan!
"Piye Ik?" Abah Yai Muslih tetap menyerahkan semuanya kepada Gus Ikmal, putranya.
"Iya Abah. Bulan depan saja. Ndak apa-apa kan Ning?"
Ashilla berdeham, kenapa Gus Ikmal malah kembali melepar pertanyaan kepadanya?
"Umh, inggih Gus. Ndak apa-apa."
"Jadi bulan depan ya. Sudah setuju semuanya." timpal Abah Yai Muzaki.
Kedua calon mempelai, dan orang tua sudah setuju jika pernikahan Gus Ikmal dan Ashilla akan di langsungkan bulan depan, terhitung hanya sisa tiga minggu lagi.
"Baba ... Mau pulang .... " terdengar suara rengekan Aila, yang menatap sang ayah dengan mata yang terlihat sudah lima watt, alias mengantuk berat.
Gus Ikmal menghampiri sang putri yang berada di pangkuan Ashilla, lantas menggendongnya seraya menepuk-nepuk punggung Aila, sementara kepala putrinya itu bersandar pada bahunya.
"Mau pulaaang .... " Aila terus merengek.
"Yai, Gus. Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai, Aila juga sudah merengek minta pulang." ucap Yai Muslih.
Gus Zidan, Abah Yai Muzaki, dan Ashilla berdiri. "Inggih, Yai. Ndak apa-apa semuanya sudah beres kok. Yo wes, kasian Ning Aila sudah minta pulang."
"Mari Gus, Yai. Pamit dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam, warahmatullah..."
Abah Yai Muzaki, dan Gus Zidan mengantar tamunya sampai ke halaman rumah, sementara Ayana menyenggol bahu Ashilla untuk menggodanya. "Ciee. Bulan depan ada yang nikah nih Ummah!" seru Ayana sedikit nyaring.
Plak!!
Dengan wajah yang merona di balik cadar, Ashilla memukul bahu Ayana. "Mbak iih!!" Rengeknya, Ayana semakin tertawa.
"Sini anak Amih." Ayana mengambil alih Irham dari gendongan Ummah Ainu, bocah berumur sepuluh bulan itu masih tampak segar, belum menunjukkan tanda-tanda akan tidur. "Nanti kita tunggu baby-nya aunty Shilla launching ya. Nanti kita pakein kostum hulk sama Abi juga ya."
Ashilla mencebik kesal. "Mbak apaan sih! Tau ah, males ngomong sama Mbak! Heuumph!!"
Seraya menghentakkan kaki, Ashilla berlari cepat menuju kamarnya, membuat Ayana dan Ummah Aini tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
General Fiction"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...