DUA PULUH DELAPAN

20.3K 846 44
                                    

Setelah sampai di rumah, Gus Ikmal menangis bayang-bayang Ashilla di rumah ini menari-nari di pandangannya. Aila yang selalu ceria kini tampak murung, bahkan sempat menangis tidak mau pulang ke rumah karena tidak ada Ashilla.

Rumah ini seolah kehilangan auranya, biasanya saat pulang ia dan Aila akan di sambut oleh Ashilla, dan Aila akan mengoceh panjang menceritakan kesehariannya di sekolah.

Tapi setelah kepergian Ashilla, semuanya terasa sangat sepi dan berbeda.

"Astagfirullah Ik! Bibir sampeyan kenapa?"

Gus Ikmal meraba sudut bibirnya yang memang terasa perih, efek pukulan yang di berikan Gus Zidan padanya. "Ndak apa-apa Abi."

"Mana mungkin ndak apa-apa. Aila mana?"

Gus Ikmal menghela napas, putrinya itu langsung lari dan masuk ke dalam kamarnya begitu sampai di rumah. "Ke kamar." balasnya.

Abi Muslih mengangguk pelan. "Sampeyan sudah tahu dimana Shilla?"

Gus Ikmal menggeleng. "Ikmal masuk kamar dulu ya."

Abi Muslih hanya memandang punggung putranya yang berlalu dengan tatapan nanar. Semuanya sudah tidak lagi sama, mereka semua benar-benar sangat kehilangan sosok ceria Ashilla di rumah ini.

Cklek

Gus Ikmal merasakan sesak di dadanya begitu ia masuk ke dalam kamar yang begitu sangat sepi. Biasanya ia akan menemukan Ashilla dan Aila yang mengaji bersama, atau bermain boneka dan petak umpet.

Ia meneteskan air mata, menatap foto pernikahannya dan Ashilla. Ia meraih foto yang tertempel di dinding, dan duduk di atas ranjang. Jemarinya mengusap gambar wajah Ashilla yang menyipit, menandakan jika di balik wajah yang tertutup cadar putih itu ada senyum yang mengembang.

"Rasanya berat sekali bagi saya Shilla. Tapi saya tetap harus kuat, kan untuk Aila?"

Bulir air matanya turun membasahi bingkai foto di hadapannya. Demi apa pun ia sangat takut, jika saar Shilla kembali nanti Shilla akan meminta untuk berpisah darinya.

"Saya dan Aila tidak baik-baik saja selama kamu tinggalkan dua minggu ini. Bisakah saya bersikap egois dengan meminta kamu untuk segera pulang ke pelukan kami lagi?"

Setelahnya, tidak ada lagi kata yang terucap hanya air mata yang terus mengalir membasahi bingkai foto di hadapannya. Satu hal yang pasti, ia akan mencoba kuat, seperti apa kata Abah Yai Muzaki hidup harus tetap berjalan, apalahi ia memiliki Aila ia harus tetap berdiri kokoh.

Ia akan terus berdoa, semoga Ashilla tetap sehat dan cepat sembuh dan pulang memeluk ia dan Aila.

Ya Allah, tiada doa lain yang ingin hamba panjatkan, selain agar Ashilla di berikan kesehatan, kedamaian hati dan kebahagiaan yang melimpah.

Hamba tidak akan meminta doa yang sama untuk hamba sendiri. Tidak apa-apa, hamba hanya ingin Ashilla baik-baik saja saat jauh dari hamba.

Amiin ....

****

Di lain tempat, tampak seorang wanita berhijab abu-abu, dan mengenakan cadar hitam tengah memperhatikan anak-anak kecil seusia Aila yang sedang mengaji dan menghafal untuk di setorkan kepada Ustadzah Almira.

Melihat mereka setiap hari, membuat rasa rindunya kepada Aila selalu muncul. Ia merindukan putri sambungnya itu, hingga setiap malam menangis menatap foto Aila yang terpajang sebagai wallpaper ponselnya.

"Ning?" Ashilla tersenyum di balik cadar, menatap Almira yang entah sejak kapan duduk di sampingnya.

"Sampeyan kangen sama Aila ya?"

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang