Beberapa tahun lalu ....
"Duh, Mas Zidan kemana ya? Dari tadi di teleponin kok ndak di jawab? Mana langitnya udah mendung."
Ashilla yang mengenakan seragam putih abu-abu, dan jilbab putih panjang terus menggerutu, seraya berkali-kali menelepon sang kakak namun tetap saja tidak ada jawaban.
"Shill belum di jemput?"
Ashilla menoleh kepada Almira, teman sebangkunya yang juga sudah menggendong ransel di punggungnya, sudah bersiap pulang.
"Iya Mir. Mas Zidan juga susah di telepon."
"Mungkin sudah di jalan kali Shill. Mas Zidan pasti buru-buru juga kan kesini, apalagi cuaca semakin mendung."
Ashilla ingin percaya dengan ucapan Almira, tapi mengapa hatinya merasakan sesuatu yang tidak enak ya?
"Apa mau pulang sama aku aja Shill?"
Ashilla langsung menggeleng, bukannya tidak mau naik motor dengan Almira, masalahnya rumah Almira dan pondok pesantren abahnya berlawanan arah, dan juga sangat jauh. Ia tidak ingin merepotkan Almira, apalagi langit mulai mendung, bagaimana jika Almira nanti kehujanan di jalan dan bahkan sakit setelahnya?
"Mungkin kamu benar deh Mir. Mas Zidan sudah di jalan mau jemput."
"Ndak apa-apa ayo ikut saja, nanti kalau di jalan ketemu Mas Zidan kamu turun saja."
Ashilla kembali menggeleng. "Aku mau tunggu Mas Zidan saja. Kamu pulang saja, ndak apa-apa kok. Takutnya kehujanan di jalan, rumah kamu kan jauh." Ashilla mencoba untuk menenangkan Almira yang sangat khawatir kepadanya itu.
"Beneran?"
"Iya Mir. Ndak apa-apa."
Melihat kerumunan para siswa dan siswi sekolahnya yang mulai meninggalkan sekolah satu persatu. Membuat kecemasan Ashilla semakin bertambah, namun ia tidak menunjukkannya kepada Almira. "Aku tunggu kamu aja ya, sampai kamu di jemput?"
"Ndak usah. Kamu pulang aja Mir. Serius deh, kayaknya Mas Zidan udah dekat."
Almira tampak bimbang, Ashilla merangkup bahu Almira dan berjalan bersama ke parkiran. "Kamu pulang aja Mir. Aku marah lho kalau kamu masih ngeyel."
Almira menghela napas. "Hhh! Oke. Oke. Aku pulang sekarang, puas Ning Shilla?"
Ashilla terkekeh. Almira naik ke motornya, dan mulai menyalakan mesin. "Kabari aku ya, kalau kamu udah sampai rumah. Aku juga bisa marah, kalau sampai kamu ndak kabarin aku." Almira menatap Ashilla dengan tajam, berlagak mengancam Ashilla.
Ashilla mengangkat tangan dan memasang pose hormat. "Siap nyonya!"
Almira mendengkus. "Aku serius lho Shill."
"Iya, iya Almira sayaaaang. Udah sana pulang iih!"
"Ya sudah, aku pulang ya. Assalamualaikum!" ucapnya, seraya memasang helm ke kepalanya.
"Iya, waalaikumsallam."
Ashilla melambaikan tangannya, saat Almira mulai meninggalkan halaman sekolah.
Ia menghela napas, perasaannya kembali cemas. Apalagi sekolahnya sudah mulai sepi, ia memilih memesan transportasi online, namun sayang tak kunjung mendapatkan driver.
"Ya Allah, Mas Zidan kemana ya? Apa aku jalan kaki aja ya, siapa tahu Mas Zidan beneran sudah di jalan."
Ashilla yang saat itu baru menginjak kelas XI SMA memilih untuk berjalan kaki saja, cuaca semakin gelap terdengar suara kilat menyambar menambah ketakutannya, berharap ia segera bertemu dengan sang kakak yang menjemputnya.
Sudah setengah perjalanan, langkahnya terhenti dengan kening yang mengerut. "Hah, apa aku tersesat?" Benar. Daerah yang ia lewati begitu asing, namun ia tetap berjalan, ia berbelok ke gang sempit yang tampak sepi.
Tiba-tiba langkahnya di hadang oleh tiga orang pemuda yang tampak mabuk, terlihat dari botol minuman kaca yang berada di tangan mereka.
"Hallo cantik. Mau kemana? Mau pulang ya? Ayo abang antar."
Ashilla memegangi tali ransel yang tersampir di bahunya. Tubuhnya bergetar, ia melangkah mundur dan berbalik, namun kembali di hadang karena pergerakan mereka yang cepat.
Ashilla terjebak, berdiri di tengah-tengah tiga pemuda yang mabuk. "Mau kemana cantik? Udah mau hujan lho, ayo ikut abang dulu. Janji deh, nanti kita antar pulang."
"Nggak mau!! Pergi!! Pergi!!!"
Plak!
Seorang pemuda menampar pipinya dengan keras. "Bac*t! Berisik banget nih perempuan!"
Suara kilat kembali terdengar, rintik hujan mulai turun dari yang semula gerimis menjadi deras, Ashilla tengah di tarik paksa oleh ketiga pemuda itu.
"Tolong!! Tolong!!"
"Percuma teriak pun, nggak akan ada orang yang lewat di cuaca hujan begini."
"TOLOOONGG!!"
Mereka mendong Ashilla hingga tubuhnya terjatuh ke aspal yang basah dan mengotori seragam yang di kenakannya. "Kulitnya putih banget broo!! Dapet perawan premium nih kita hahahha!!"
Mereka tertawa, kemudian seorang pemuda berjongkok di hadapannya, kembali menampar pipi Ashilla sebelum akhirnya kerudung yang di kenakannya di tarik paksa.
Ashilla tentu saja menangis histeris dengan tubuh yang bergetar karena takut, dan malu karena pertama kali menampakkan auratnya pada orang yang jelas bukan mahramnya.
"DIAM!!"
Ashilla hanya bisa menangis tak berdaya, "Toloong, saya mohon jangan lakukan--Akkhh.!!"
Tangan dan kakinya di cengkeram erat oleh dua pemuda lain, mereka tertawa melihat ketidak berdayaannya. Seorang pemuda yang tadi membuka kerudung Ashilla kini bergerak membelai wajah serta bibirnya.
Lalu turun menuju seragam Ashilla, membuka satu persatu kancingnya, pria itu terlihat menggeram saat menemukan Ashilla menggunakan kaos lengan pendek di dalam seragam putih yang di kenakannya.
Ashilla sendiri terus berteriak dan memberontak, namun sayang semua itu sia-sia. Mereka menyentuh apa yang seharusnya tidak boleh mereka sentuh, Ashilla benar-benar hancur bersama dengan derasnya hujan yang turun membasahi tubuhnya.
"Mantap bro. Dadanya masih ranum, yakin nih doi masih perawan ting-ting!"
"Buka aja bro semua bajunya gila. Udah nggak sabar nih!!"
Lagi, mereka tertawa di bawah penderitaan Ashilla.
Diiin .... Diiinn ....
"Si*l*n! Apa yang kalian lakukan?" sosok pria turun dari motornya, mengambil balok kayu yang berada di atas Aspal, di susul perempuan di belakangnya.
"Yang, kamu cari bantuan pada warga sekitar sini!"
Wanita di belakangnya mengangguk, lalu berlari mencari bantuan. Terjadilah perkelahian, antara seorang pria melawan tiga pemuda.
Ashilla merangkak, menyenderkan tubuhnya di dinding jalan, seraya menangis memeluk kedua lututnya. Meski pakaiannya masih utuh, tapi kerudung, dan kemeja panjang putihnya sudah terlepas, tubuhnya sudah di jamah oleh tangan-tangan baj*ngan itu.
Tak lama para warga datang, mereka langsung mengeroyok ketiga pemuda itu dan menggiringnya ke kantor polisi.
Sedangkan Ashilla berhasil di selamatkan oleh pasangan bernama Ira, dan Darwin. Mereka segera melepon ambulans karena ada beberapa luka pada lutut, kedua tangan, dan pipinya yang lebam karena mendapatkan dua tamparan keras, sudut bibirnya juga tampak berdarah.
Ashilla tak sadarkan diri saat ambulance datang, Ira yang berprofesi sebagai dokter menatap Ashilla seraya menangis. Ashilla mendapatkan pelecehan, yang tentu akan meninggalkan trauma yang sangat mendalam bagi sang korban.
.
Guys maafkan segala typo yang bertebaran ya hehe 🤣
Terima kasih sudah membaca
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
General Fiction"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...