TIGA PULUH ENAM

19.2K 801 12
                                    

Sementara itu di kamar Ayana ....

Ashilla sudah menceritakan apa yang di rasakannya kepada Ayana, tentang ia yang terlanjur baper dengan perkataan Aila saat di Bali.

“Iya mbak mengerti dek. Tapi kamu ndak baik lho bersikap seperti tadi, berpura-pura tidak mendengar Aila yang memanggil nama kamu,” nasihat Ayana yang tengah sibuk mengganti popok Irham.

“Mbak. Irham ganti minyak telon ya?” tanyanya seraya menutup hidungnya, padahal niatnya ke kamar Ayana untuk memeluk dan mencium Irham yang sangat di rindukannya.

Ayana mengerutkan keningnya, mencoba mencium pipi Irham. "Ndak kok Shill. Irham masih pakai minyak telon merk My B*by kaya biasanya."

Ashilla menjauh dari Irham yang tengah tengkurap seraya mengoceh. "Kok aneh sih Mbak? Aku malah mual lho nyiumnya."

Ayana merasa aneh, menurutnya aroma tubuu Irham tidak bau kok. Tidak seperti apa yang Ashilla katakan barusan, justru dirinya yang aneh. "Apasih dek. Kamu masih jet lag kali, makanya pusing begitu."

"Beneran Mbak. Baunya Irham tuh--huweek!!" Ashilla langsung berlari ke kamar mandi yang berada di kamar Ayana, ia menumpahkan semua cairannya ke dalam kloset sampai tubuhnya lemas.

Ayana sendiri langsung memindahkan Irham ke dalam box tempat tidur Irham dan menyusul Ashilla ke dalam kamar mandi.

"Dek, serius kamu aneh banget deh." ucapnya seraya memapah tubuh Ashilla untuk duduk di atas ranjang, dan memberikan air minum kepadanya.

Ashilla meminum air yang di berikan Ayana. "Minyak telonnya Irham tuh yang aneh Mbak!" ia masih saja menyalahkan aroma minyak telon Irham.

Lalu kedua mata Ayana melotot lebar. “Dek, apa jangan-jangan kamu hamil?”

Ashilla mengerutkan dahi. “Ndak mungkinlah mbak,”

“Kok ndak mungkin? Ya mungkin dong, kamu sudah menikah dek.”

Ashilla menggelengkan kepalanya. “Ndak kok mbak. Orang pagi ini Shilla datang bulan kok,”

Tak lama terdengar suara tangis Aila yang nyaring Ashilla gegas keluar dari kamar Ayana, karena kebetulan perutnya semakin bergejolak berlama-lama menghirup aroma minyak telon Irham. Baru saja ia sampai di depan pintu kamar, Aila yang menangis di gendong Gus Ikmal menghampirinya.

Ashilla mengambil alih Aila dari Gus Ikmal dan menggendongnya. Aila sendiri langsung memeluk leher Ashilla. “Kenapa anak Umi kenapa menangis hm?”

"Baba ngisengin kamu ya Nak?"

"Lho, Mas ndak ngapa-ngapain lho sayang." Ia berbicara jujur, namun malah mendapatkan tatapan tajam dari sang istri.

Gus Ikmal berdeham. "Mas serius lho sayang." namun lagi-lagi, ia di abaikan.

"Umii Aila minta maaf. Aila--Aila waktu itu bicara keras pada Umi dan Baba. Aila--Aila mau punya adik bayi umi." Ashilla mengusap air mata yang membasahi wajah sang anak.

"Tapi--tapi umi harus janji, kalau umi--umi akan selalu sayang sama--Aila, dan bacakan dongeng terus hiks, hiks .... "

"Iya sayang sudah Umi maafkan. Sudah ya, jangan menangis lagi. Malu lho sama Gus kecil."

"Sayang coba dengar Umi dulu." Aila mencoba untuk tidak menangis, ia menatap sang Ibu dengan air mata yang masih berderai.

"Kamu ndak akan kehilangan rasa sayang umi. Kamu dan adik bayi sama-sama anak umi, sama-sama umi sayang. Justru, kalau nanti punya adik Aila bisa mendengarkan dongeng yang Umi bacakan, bersama dengan adik bayi. Mengerti nak?"

Aila mengangguk, "Iya Umi. Aila mau punya adik bayi. Nanti Gus kecil juga bisa ikut main ya Umi?"

Ashilla mengangguk, "Iya sayang. Sudah nggih jangan nangis lagi. Mau main sama Gus kecil?"

Aila menggeleng. "Ndak mau. Mau pulang aja. Mau tidur sambil di bacain dongeng sama umiii."

"Iya. Iya. Ayo Baba, kita pulang. Tapi pamit pulang dulu ya, sama Abi dan Amih?"

Aila mengangguk, dengan bibir yang masih mengelurkan isakan pelan.

*****

Satu minggu kemudian ....

Ugh!

Ashilla mengerang pelan, ketika lagi-lagi ia muntah karena mencium aroma masakan yang tengah di masak oleh Mbak santri di dapur.

Ia kini berbaring lemas di atas tempat tidur, setelah menumpahkan semua cairan yang mendesak ingin keluar.

Satu minggu ini Ashilla merasakan ada banyak sekali keanehan pada tubuhnya. Mulai dari sering pusing, dan cepat lelah. Ia yang sensitif dengan aroma-aroma, dan terus muntah-muntah sampai sore hari.

Ashilla benar-benar lemas setiap hari seperti ini. Lalu kedua matanya tertuju kepada laci lemari riasnya, dengan langkah pelan ia membuka laci tersebut dan meraih benda pemberian Ayana.

Ia menimang benda itu di tangannya. Apakah sudah saatnya ia mencoba alat ini?

Bagaimana jika nanti hasilnya ia tidak hamil?

Ya, alat itu adalah testpack Ayana sendiri sudah sangat curiga jika Ashilla hamil, ia sengaja membeli benda itu dan memberikan kepadanya saat Ayana sedang bermain ke rumahnya.

Ashilla menggelengkan kepalanya, ia memasukkan kembali benda itu ke dalam laci.

"Pasti bukan hamil. Asam lambung aku lagi naik deh kayaknya. Lebih baik ke donkter aja deh." ucapnya, setelah itu ia segera berganti pakaian, ia juga sudah mengirim pesan kepada suaminya untuk pergi ke klinik yang dekat dengan area pondok pesantren, dan juga sudah meminta izin kepada Abi Muslih.

Tiba di klinik, ia menunggu nomor antriannya di panggil. Lalu ia masuk.ke dalam ruangan dokter, ia menceritakan semua keluhannya selama satu minggu ini.

"Saya rasa, asam lambung saya kambuh deh dok."

Dokter berjenis kelamin perempuan itu hanya terkekeh, lalu memberikan sebuah testpack kepadanya. "Di coba dulu ya bu?"

"Dok, saya tidak hamil. Saya cuma--"

"Iya, maka dari itu ibu harus mencoba dulu."

Ashilla akhirnya mengangguk, dokter memintanya untuk masuk ke kamar mandi dan mencoba alat itu. Setelah selesai, pecahlah tangisnya. Dua garis merah, yang berarti dirinya tengah mengandung.

Buah hati yang ia nantikan akhirnya datang, dan berada di rahimnya.

Dokter klinik itu melakukan pemeriksaan USG, air matanya tidak berhenti mengalir saat melihat sebuah titik yang Dokter bilang adalah janinnya yang baru berusia dua minggu. "Jika di lihat dari hasil pemeriksaannya, semuanya normal dan sehat."

Ashilla yang selesai melakukan pemerimsaan itu turun dari atas ranjang.

"Saya akan meresepkan obat mual, dan vitaminnya ya bu. Ibu bisa menebusnya di kasir nanti."

Ashilla mengangguk, berkali-kali mengucapkan syukur di dalam hati.

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang