Gus Ikmal berdecih. "Dasar cengeng!" serunya.
Kamu berhasil menusukkan ribuan pedang di hati saya Gus. Selamat! Kamu adalah cinta, dan luka pertama untuk saya.
"Jangan pernah sedikit pun berharap saya menyentuh kamu layaknya suami dan istri sungguhan. Kita hanya tinggal di kamar yang sama, saya akan tidur di atas ranjang. Kamu silahkan tidur di bawah menggunakan kasur lantai yang saya simpan di dalam lemari!"
Gus Ikmal menunjuk wajah Ashilla dengan jari telunjuknya. "Jangan coba-coba untuk menyentuh barang apa pun di ruangan ini, selain barang-barang milikmu. Satu lagi, jangan pernah menyentuh saya sedikit pun, karena saya tidak sudi!!"
Ashilla hanya bisa menangis. Pernikahan macam apa ini? Malam pernikahan yang seharusnya beralhir dengan penyatuan yang romantis justru ia malah harus menelan pil pahit, karena suaminya sama sekali tidak pernah menginkannya.
Suaminya menikahinya karena membutuhkan sosok ibu untuk putrinya, bukan sosok istri sebagai penyempurna ibadahnya.
Benar-benar miris sekali.
BRAK!!
Gus Ikmal masuk ke dalam kamar mandi, lalu menutup pintunya dengan keras. Bersamaan dengan itu, tubuh Ashilla meluruh ke lantai ia menangis seraya memukuli dadanya yang terasa sangat sesak.
Ia yang seharusnya bahagia di malam pengantinnya justru malah menderita, dan terluka karena ucapan suaminya yang berhasil menghancurkan hati, dan juga harapannya.
Rasanya benar-bebar sakit, Ashilla bahkan belum menyiapkan mentalnya untuk di sakiti seperti ini di malam pernikahannya.
"Jadi, ucapan njenengan terhadap Abah, itu semua bohong Gus?"
Gus Zidan yang baru saja keluar setelah membasuh wajahnya di kamar mandi itu langsung menyorot Ashilla yang baru saja berbicara kepadanya. "Ucapan yang mana?" sungguh ia sangat muak melihat keberadaan Ashilla di sekitarnya. "Saya tidak pernah mengatakan apa pun kepada keluargamu."
"Njenengan lupa? Soal njenengan yang akan menjaga saya?"
Mendengar itu, rahang Gus Ikmal mengeras. "Saya tidak pernah mengatakannya. Coba ingat-ingat lagi, apa saya pernah menjanjikan itu semua?"
Ashilla memejamkan matanya sesaat, benar. Jika di ingat lagi Gus Ikmal tidak pernah menjanjikan apa pun, ia hanya menjawab "Inggih Abah," atau "Inggih Gus."
Sadar akan respons Ashilla yang sepertinya baru ingat, membuatnya berdecih. "Keluargamu terlalu mengagungkan dirimu. Seolah kamu adalah barang mahal yang mudah pecah dan hancur."
Kedua mata Ashilla terbuka lebar, lagi-lagi suaminya berkata sangat kasar dan terkesan merendahkannya. Kenapa njengan begitu sangat jahat, dan tega Gus?
Tak lama terdengar suara ketukan pada pintu kamar, Gus Ikmal dan Ashilla yang tengah bersitegang itu sama-sama menatap pintu. Setelah masuk ke kamar, Ashilla masih enggan membuka cadarnya, ia tidak mau memperlihatkan wajahnya kepada kepada Gus Ikmal setelah semua yang Gus Ikmal utarakan.
"UMIII, BABA!!"
Keduanya saling berpandangan. Itu adalah suara Aila. "Umi, Baba!" anak itu kembali berseru.
Gus Ikmal menatap Ashilla dengan tatapan dingin. "Bersikaplah seolah kita baik-baik saja di hadapan Abi, Aila, dan semua orang,"
Ashilla menggigit bibirnya di balik cadar berwarna hitam yang di kenakannya. Menahan emosinya untuk tidak menangis di hadapan Gus Ikmal sekarang. Ia tidak ingin dirinya semakin di rendahkan oleh suaminya.
Gus Ikmal melangkah membuka pintu kamar, raut wajahnya langsung berubah ceria saat menemukan putri semata wayangnya yang berdiri di hadapannya. Ashilla terisak pelan seraya membalikkan tubuh membelakangi suami dan anak sambungnya itu, ia gegas menghapus bulir air mata yang mulai keluar dari kelopak matanya.
Ini bahkan belum sehari, tapi ia sudah sehancur ini. Lalu, bagaimana dengan keesokan harinya? Minggu depannya? Bulan depannya? Dan hari-hari berikutnya, apakah ia masih akan sanggup menghadapi semuanya sendirian?
"Babaaa!! Kenapa lama sekali membuka pintunya?" Anak lima tahun itu tampak merajuk kepada sang ayah.
Gus Ikmal terkekeh seraya mengacak rambut sebahu Aila yang tergerai. "Maafkan Baba nggih?"
Aila mengangguk pelan. "Umi mana?"
"UMII!!"
Aila mengabaikan sayang Ayah, ia langsung berlalu menerobos masuk ke dalam kamar. Ashilla membalikkan tubuhnya, berjongkok dan membalas pelukan Aila lalu menggendongnya.
"Umi, mata Umi kenapa merah? Umi menangis ya?"Gus Ikmal menatapnya tajam, mengingatkan agar dirinya harus terlihat senang dan baik-baik saja di hadapan Aila.
"Umi tidak menangis kok sayang. Mata umi kemasukan debu sayang."
Aila mengerutkan kening. "Benarkah Umi?"
Ashilla mengangguk, tersenyum di balik cadar hanya matanya yang terlihat sedikit menyipit. "Iya sayang. Tapi Baba sudah bantu Umi meniupnya kok,"
Gus Ikmal turut mengangguk. "Benar sayang. Kemu kenapa ke kamar Baba?"
"Oh?" seakan tersadar dengan tujuannya ke kamar kedua orang tuanya, Aila menepuk keningnya. "Baba dan Umi di panggil makan oleh Eyang." ucapnya.
"Aila sudah makan?" tanya Ashilla.
Aila menggeleng. "Belum Umi. Aila mau makan sama Umi, Baba, dan Eyang. Ayo Umii!!" Aila langsung menarik tangan Ashilla keluar dari kamar dengan Gus Ikmal yang segera mengekorinya dari belakang.
Di ruang makan, sudah ada Yai Muslih dan beberapa hidangan makanan yang sudah tersedia di atas meja makan.
"Aila mau duduk samping Umi!!" anak itu begitu sangat antusias sekali.
Ashilla menatap Aila sendu. Hanya Aila alasan satu-satunya untuk bertahan dalam pernikahan ini.
"Boleh sayang." Ashilla langsung menarik sebuah kursi untuk duduk Aila, kemudian menarik satu kursi lagi untuknya.
Gus Ikmal memilih duduk di samping sang ayah yang berseberangan dengan Aila dan Ashilla.
Setelah membaca doa, kini mereka mulai makan bersama.
"Ik, sampeyan apa sudah merencanakan akan pergi bulan madu kemana?" tanya Abah Yai Muslih.
Ashilla dan Gus Ikmal sama-sama terkejut. "Bu--bulan madu?"
"Lha iya, sampeyan lupa tadi pagi sudah mengucap ijab kabul?" Abah Yai Muslih tertawa, tanpa tahu bahwa putranya baru saja menyakiti hati menantunya di malam pernikahannya.
Gus Ikmal berdeham, meneguk air putih di dalam gelas yang berada di hadapannya. "Ndak dulu kayaknya Abi."
Mendengar itu Abah Yai Muslih mengerutkan keningnya. "Lho kenapa?"
Untuk apa bulan madu? Hanya membuang-buang waktu saja! Batin Gus Ikmal.
Ashilla tampak mengaduk-aduk makanannya. Bulan madu? Abi, bahkan pernikahan kamu sudah rusak di hari pertama. Apakah kami perlu bulan madu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
General Fiction"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...