Keesokan harinya, Gus Ikmal dan Ashilla sudah berpakaian rapi, sama-sama mengenakan pakaian dengan warna moka. Gus Ikmal memeluk tubuh sang istri yang tengah merapikan jilbab di depan kaca full body. Pagi ini, mereka berencana akan mengantar Aila ke sekolah, dan Gus Ikmal juga semalam mengatakan akan mengajak sang istri ke suatu tempat.
"Apa kita ndak usah pergi saya ya sayang?"
Ashilla mencubit punggung tangan Gus Ikmal yang memeluknya dari belakang. "Mas, jangan mulai deh!!" protesnya.
Gus Ikmal merengut, menatap pantulan tubuh keduanya yang saling menempel erat. "Kamu itu terlalu cantik sayang. Serius deh, Mas mau kekepi kamu terus rasanya .... "
"Mas, aku pakai cadar lho kalau Mas lupa."
Gus Ikmal malah memeluknya semakin erat mendaratkan kecupan-kecupan pada pipi sang istri.
"Mas!!" serunya.
Gus Ikmal tertawa. "Beneran lho Yank!"
Semalam, mereka berdua sempat mengobrol dan sepakat untuk mengubah nama panggilan Gus Ikmal yang semula menggunakan 'saya' menjadi 'aku' begitu pun dengan Ashilla, dan sejak semalam juga Gus Ikmal memanggilnya dengan sebutan 'Yank' ayah satu anak itu benar-benar membuat hati Ashilla ketar-ketir. Apalagi sekarang suaminya itu selalu menempel padanya, dan kerap cemburu dengan Aila.
"Mas, udah deh. Itu Aila pasti sudah menunggu di ruang makan sama Abi, kalau Mas seperti ini terus, kapan mau berangkatnya hah?"
"Hehehe. Iya sayangku, iya. Tapi cium dulu."
Ashilla mendengkus. Melepaskan kedua tangan sang suami yang melingkar di pinggang rampingnya. "Mas!" serunya.
Gus Ikmal terkekeh, "Iya, iya. Mas aja deh yang cium kamu."
Hhh, terserah!
Ashilla mengabaikan suaminya dan gegas menggunakan cadarnya, melewati tubuh sang suami yang tengah tertawa dan mengejar langkahnya dari belakang.
Gus Ikmal benar-benar senang sekali membuatnya kesal seperti ini.
Setelah berkumpul, mereka semua segera melakukan sarapan pagi, dan berpamitan kepada Abi Muslih untuk mengantar Aila ke sekolah. Sepanjang perjalanan tentu saja di penuhi oleh ocehan Aila yang senang karena akhirnya bisa berangkat sekolah dengan orang tua yang lengkap.
"Dadah Baba, Umi. Nanti jemput Aila lagi ya?"
Anak itu mengangguk ketika Umi dan Babanya berpamitan. Ashilla mengecup pipi gembil Aila, "Iya sayang. Kamu belajar yang rajin ya? Nanti Umi sama Baba jemput kamu lagi."
"Uhm. Dadaaaahh!!"
"Dadaaahhh!!"
Perasaan Gus Ikmal begitu terasa menghangat, seandainya Ashilla tidak kembali pulang, akankah ia bisa melihat Aila berbahagia seperti ini lagi?
Aila sudah masuk ke dalam kelas, duduk dan mulai berdoa bersama teman lainnya sebelum memulai pelajaran.
Gus Ikmal menggenggam tangan Ashilla, membuat sang empunya menatap ke arahnya. "Kenapa Mas?"
Gus Ikmal tersenyum. "Ndak apa-apa. Ayo, Mas sudah janji mau mengajak kamu ke sebuah tempat."
"Ah iya. Kemana sih Mas?"
"Ayo, kamu cukup naik saja ya."
Ashilla mengembuskan napas, dan mengikuti langkah sang suami dengan pasrah yang entah akan membawanya kemana.
****
Tempat yang di maksud Gus Ikmal tidak begitu jauh dari sekolah Aila, mobil yang di kendarai Gus Ikmal masuk ke dalam parkiran yang luas. “Mas, ini tempat apa?” tanya Ashilla menatap sebuah gedung tiga lantai di hadapannya.
Gus Ikmal membuka pintu mobil, dan turun lebih dulu sebelum akhirnya ia membuka pintu untuk Ashilla dan menuntunnya untuk turun. “Ayo masuk, biar Mas jelaskan nanti,”
Keduanya berjalan berdampingan, Ashilla dan Gus Ikmal bertemu dengan beberapa orang yang menyapa mereka berdua sampai Gus Ikmal membawanya masuk ke sebuah ruangan luas yang berisi banyak sekali orang, tumpukan kain, benang, dan mesin jahit.
"Nah sayang, ini ruang produksi. Selama ini Mas belum menjelaskan apa pun kepada kamu."
Ashilla mengangguk saja, membiarkan sang suami beralih merangkul pinggangnya, walau pun rasanya agak risi dan malu karena ada banyak orang di ruangan yang mereka datangi ini.
Para pekerja menyapa Gus Ikmal dan dirinya dengan ramah.
"Sayang, tempat ini adalah rumah produksi pakaian muslim, dan muslimah. Ini awalnya milik Abi. Mas hanya meneruskan saja, awalnya kami hanya memproduksi koko, dan beberapa jenis pakaian pria saja."
Gus Ikmal menceritakan semuanya kepada Ashilla yang membuat Ashilla tidak berhenti memuji dan mengagumi sosok pria yang kini berjalan bersamanya dengan bergandengan tangan. “Ini ruang packing dan promosi sayang. Karena sekarang sudah zaman online kami juga berjualan lewat Marketplace online. Ini Mbak Audi, dan Siska, mereka tim promosi untuk pakaian wanita. Lalu ini ada Mas Agung, dan Bagas mereka yang mempromosikan produk pakaian pria,”
Orang yang di maksud Gus Ikmal itu menyapa Ashilla dan tersenyum ramah. Selanjutnya mereka menuju ke lantai tiga, “Ini ruang kerja Mas,” ucapnya seraya membuka pintu ruangannya, yang ternyata sudah ada Rafka sang asisten disana.
"Sini masuk sayang."
Ashilla mengikuti sang suami, ia mengangguk sopan kepada sosok pria yang sudah berdiri menyambut mereka berdua.
"Nah sayang, ini Rafka. Asisten Mas."
"Hallo ibu bos. Saya Rafka." pria dengan kemeja navy memperkenalkan diri.
"Ah, iya hallo. Panggil Shilla saja, jangan ibu bos."
Rafka meringis. "Oh, ndak bisa bu. Saya masih sayang dengan nyawa saya."
Ashilla mencubit pinggang sang suami yang ketahuan tengah melotot tajam kepada Rafka.
"Apa sih sayang, jangan cubit-cubit ah sakit!" protesnya, namun melihat tatapan tajam sang istri, nyalinya tiba-tiba menciut.
Rafka berdeham, merasa lucu melihat bosnya yang terlihat sangat takut kepada sang istri.
Ia sampai bertanya-tanya di dalam hati, apakah benar itu adalah Gus Ikmal yang selama ini selalu bersikap galak dan cuek?
"Ah iya, duduk Raf! Sayang ayo duduk sini!" Gus Ikmal sendiri sudah duduk di kursi kerjanya, begitu pun dengan Asisten Rafka yang duduk di sebuah sofa.
Ashilla hendak duduk di sofa yang berseberangan dengan Asisten Rafka, namun suara sang suami menginterupsi. "Kamu mau duduk dimana sayang?"
"Di sofa, kan Mas?"
Gus Ikmal berdecak pelan, "Siapa yang suruh duduk disana? Sini lho duduk di pangkuan Mas."
Hah?
Bukan hanya Ashilla yang terkejut, melainkan Asisten Rafka. Keduanya benar-benar tidak habis pikir, bisa-bisanya Gus Ikmal berkata demikian.
"Uhuk .. uhuk!!" Asisten Rafka berpura-pura batuk. Karena pasalnya Gus Ikmal itu tidak cocok bersikap romantis seperti itu.
Sedangkan kedua pipi Ashilla merona di balik cadar, rasanya ia malu sekali lantaran suaminya bersikap seperti itu di hadapan orang lain.
"Ayo sini sayaaaang .... "
Ashilla berdeham, berjalan ke arah sang suami yang mulai merengek. "Malu Mas, ada Asisten Rafka." bisiknya sesaat ia sudah sampai di dekat sang suami.
Gus Ikmal tidak menjawab, sebaliknya ia malah langsung mengangkat tubuh sang istri untuk duduk di pangkuannya dengan posisi membelakangi dirinya. "Mas .... " cicitnya. Demi apa pun dirinya sudah sangat-sangat malu dengan kelakuan suaminya.
"Nggak apa-apa sayang. Biar jiwa jomlo nya Asisten Rafka semakin meronta-ronta hahaha."
Ya ampun, Gus satu ini memang agak lain.
*
*
*Guys, ayo mampir ke cerita baru aku, "Mendadak Istri" masih eps perdana hehe.
Terima kasih, dan jangan lupa jaga kesehatan ya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
General Fiction"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...