Saat ini Aila dan Ashilla sedang berbaring di atas ranjang milik Aila.
"Umii .... "
Tatapan Ashilla beralih ke wajah cantik putrinya. "Iya sayang?"
"Umi nanti tidur dengan Aila saja ya umi?"
Ashilla mengangguk. "Iya sayang."
Tentu saja ia akan setuju, karena ia sama sekali tidak ingin satu ruangan dengan Gus Malik. Hatinya masih sakit karena perlakuan kasar suaminya.
"Sambil di bacakan kisah nabi juga ya?"
"Iya sayang." Ashilla terkekeh seraya mencolek hidung Aila, sampai sang empunya tertawa riang.
Tok ... Tok ....
"Itu pasti Baba!" seru Aila, mendengar itu, Ashilla kembali mengambil cadar miliknya yang tersampir di atas meja belajar Aila, dan segera mengenakannya.
Aila ingin bertanya mengapa uminya itu mengenakan cadar kembali. Tapi ia memilih acuh, ia tidak mengerti penjelasan tentang suami dan istri yang berarti adalah mahram, boleh memperlihatkan aurat mereka pada mahramnya.
Aila hanya di ajarkan sampai, ia boleh melepas kerudungnya saat di rumah, karena Baba dan Eyang-nya adalah mahram baginya. Ia juga di ajarkan untuk kembali memakainya saat ada kang santri, atau tamu Baba dan Eyang bukan mahram baginya.
Cklek.
Pintu kamar Aila terbuka, Gus Ikmal hanya menatap Ashilla yang duduk di atas tempat tidur bersama putrinya. Bersyukur Ashilla sudah selesai mengenakan cadarnya.
"Putri Baba sudah siap-siap mau tidur ya?"
Siapa sangka, ia duduk bergabung di ranjang Aila, dengan posisi Aila yang berada di tengah-tengah keduanya. "Inggih Baba. Baba baru pulang dari masjid?"
Gus Ikmal tersenyum, seraya mengusap lembut rambut hitam Aila. "Iya sayang. Sudah shalat isya?"
Aila mengangguk, "Sudah Baba. Aila tadi shalat dengan Umi. Baba sudah lihat wajah Umi? Umi cantik sekali lho Baba!!"
Wajah Aila tampak senang, ia begitu sangat antusias memberitahu Babanya jika di balik cadar Uminya, ada kecantikan yang tersembunyi, dan ia berharap Babanya segera melihatnya.
Gus Ikmal tersenyum kecut, menatap Ashilla yang menunduk tanpa menatap ke arahnya. Cantik? Baba bahkan tidak tertarik sama sekali untuk melihatnya.
Ashilla merasakan tatapan Gus Ikmal yang mengarah kepadanya. Percuma Aila, Baba kamu enggan melihat Umi. Baba kamu membenci Umi entah karena apa.
“Baba juga tidur dengan Aila ya, bersama Umi juga.”
Gus Ikmal dan Ashilla saling menatap, Ashilla kemudian mengangguk sekali, dan akhirnya Gus Ikmal mengiyakan keinginan putri kesayangannya. Mereka tidur bersama dengan posisi Aila di tengah-tengah mereka, meski sempat canggung akhirnya Ashilla langsung membacakan kisah 25 nabi dari buku yang berada di kamar Aila, sampai tak lama kemudian Aila dan Gus Ikmal terlelap.
Ia tersenyum miris, seandainya saja pernikahannya tidak seperti ini, ia pasti sudah sangat senang tidur bersama seperti ini.
Aila menatap sendu wajah Aila yang terlelap seraya memeluk boneka kelinci kesayangannya. Ia memberikan kecupan pada kening Aila dengan penuh kasih sayang, "Selamat tidur anak baik. Umi senang sekali menjadi Umi untuk Aila, doakan semoga Umi bisa terus sama-sama dengan kamu ya."
setelah itu tatapannya beralih kepada Gus Ikmal yang terlelap sampai dengkuran halus terdengar. Ashilla meneteskan air matanya, "Selamat tidur juga Gus. Saya akan selalu berdoa untuk kesehatan njenengan, semoga lambat laun perasaan njenengan luluh kepada Saya."
Ashilla menatap langit-langit kamar Aila, menghalau air matanya agar tidak jatuh. Lalu ia memutuskan untuk turun dari ranjang Aila, pergi ke kamar mandi untuk berwudhu dan mengambil Al-Qur'an kecil miliknya di dalam kamar, dan kembali ke kamar Aila membacanya di sana.
Ia memilih membaca Al-Qur'an di tengah-tengah pikiran dan hatinya yang kacau, berharap setelah ini perasaannya akan berangsur membaik, dan kuat untuk menjalani kehidupan rumah tangganya.
Dengan menggunakan mukena, ia mengamparkan sajadahnya dan mulai melantuntan ayat-ayat Al-Qur'an, ia masih mengenakan cadarnya takut sewaktu-waktu Gus Ikmal terbangun dan melihat wajahnya. Ia benar-benar belum siap untuk itu.
Samar-samar Gus Ikmal mendengar lantunan ayat suci dengan suara yang begitu merdu, ia terusik dalam tidurnya. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka sempurna, alangkah terkejutnya ia mendapatkan Ashilla yang tengah melantunkan ayat suci A-Quran di tangannya dengan posisi yang memunggunginya.
Gus Ikmal memilih tetap berbaring, ia meraih ponselnya di samping nakas tempat tidur Aila. Ia melihat jam yang tertera disana memperlihatkan pukul dua belas malam.
Pikirannya bertanya-tanya apakah Ashilla tidak tidur?
Kemudian Gus Ikmal menggelengkan kepalanya. Ah, ia tidak peduli. Lebih baik ia kembali tidur saja bersama Aila dari pada harus memikirkan orang yang tidak ia cintai itu.
"Shadaqallahul adzim .... "
Ashilla menyelesaikan bacaannya, menutup mushaf di tangannya. Sekali lagi ia melirik ke arah Gus Ikmal yang tidur seraya memeluk Aila, kemudian ia mengangkat kedua tangannya, berdoa kepada sang maha pencipta. "Ya Allah, yang maha segalanya. Ampuni dosa dan segala kesalahan suami hamba, serta luluhkan hatinya agar bisa menerima hamba dengan lapang dada,"
Ashilla tanpa sadar kembali meneteskan air mata, entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. "Ya Allah, sehatkan suami hamba, putri hamba, serta mertua hamba. Kuatkan hamba lagi, agar bisa menjalani rumah tangga kami sesuai dengan syari'at islam."
Ashilla mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, sekali lagi ia menangis sendirian di dalam heningnya malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
Fiksi Umum"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...