Beberapa bulan kemudian ....
Usia kandungan Ashilla sudah memasuki bulan ke sembilan. Perutnya semakin membesar, pergerakannya juga semakin terbatas, Aila dan Babanya kompak menjadi sangat protektif. Kompak melarang Ashilla melakukan kegiatan apa pun.
"No! Umi duduk saja di ranjang, Aila yang akan turun mengambil minum untuk Umi!"
Ashilla tidak bisa mendebat, ia pun mengangguk pasrah. "Oke, Umi minta tolong ya ambilkan minum ya Kakak Aila .... "
Aila mengangguk, lalu berjalan dengan cepat membawa botol minum berukuran dua liter itu ke dapur.
Ashilla menghela napas, kemudian tersenyum seraya mengusap perutnya yang membesar. "Nak, lihat kakak kamu persis dengan Baba, sangat protektif," kekehnya."Umi ndak sabar, menunggu kelahiran kamu sayang." ucapnya seraya mengusap perutnya, ia tersenyum tipis saat merasakan tendangan yang berasal dari dalam perutnya. "Hm, kamu juga ndak sabar ya ketemu Umi, Baba, dan Kakak Aila, ya?"
Ashilla menoleh ke arah pintu, dan menemukan sang suami yang membawa botol minum yang tadi di bawa Aila. "Lho Mas? Kok kamu yang bawa? Aila mana?"
Gus Ikmal melangkah masuk, meletakkan botol minum yang sudah terisi itu di atas nakas, ia menghampiri Ashilla dan mengecup kening sang istri. Kini tangannya beralih mengusap perut Ashilla, "Rewel nggak adik bayi hari ini?"
Ashilla tersenyum tipis. Ini yang selalu ia suka dari Gus Ikmal, suaminya ini benar-benar memperlakukannya dengan sangat baik dan penuh perhatian, setiap hari selalu bertanya apakah bayi dalam kandungannya itu rewel atau tidak. Jika Ashilla menjawab rewel, maka Gus Ikmal akan mengecupi perutnya memberikan nasihat kepada bayi di dalam kandungannya, seolah sang bayi sudah bisa mendengar suaranya.
Ah, rasanya Ashilla ingin menangis tidak pernah bosan mengucap syukur kepada Gusti Allah yang mempertemukannya dengan Gus Ikmal yang sangat menyayanginya seperti ini. Meski pernikahan mereka di awal tidak baik, kini akhirnya mereka bisa bersama memperbaiki semuanya, dan sama-sama menantikan anggota keluarga baru mereka.
Gus Ikmal mendadak panik, melihat Ashilla yang menangis. "Lho sayang? Kamu kenapa nangis, hm?"
Ashilla menggeleng, "Aku ndak kenapa-napa Mas. Aku cuma beryukur atas semuanya."
Gus Ikmal mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, menggunakan telapak tangan yang mengusapnya dengan sangat lembut.
"Mas, terima kasih ya sudah hadir di kehidupan aku."
Gus Ikmal mengusap surai hitam sang istri, dan menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Kamu bicara apa sih sayang? Justru Mas yang berterima kasih karena kamu sudah mau kembali, dan memulai semuanya dari awal dengan Mas."
Cup
Sebuah kecupan di berikan oleh sang suami ke keningnya. Keduanya sama-sama memperlihatkan besarnya cinta yang mereka miliki melalui tatapan mata yang tentu tidak bisa berbohong.
"Mas, Aila mana?"
"Oh, Aila sedang membantu Mbak Santru merebus air sayang."
Kerutan tampak timbul di dahi Ashilla. "Merebus air? Untuk apa Mas?"
Gus Ikmal memijat kedua kakinya di tas ranjang. "Aila bilang, seharian ini kamu mengeluh pegal. Selama ini, ia sering melihat kamu memijat kaki Mas dengan handuk dan air hangat setiap kali Mas pegal. Jadi, ia ingin melakukan hal yang sama ke kamu sayang."
Ashilla kali ini tidak bisa mencegah air matanya, apalagi saat Aila datang bersama Abi Muslih yang membawa sebuah baskom berukuran sedang, yang ia yakin berisi air hangat untuknya. "Ah Baba ngapain Umi?" anak berusia lima tahun itu berseru panik melihatnya menangis.
"Baba sana ih!" Aila langsung duduk di atas kasur bersama sang ibu, layaknya tengah menenangkan anak kecil ia menghapus air mata Aila. "Cup, cup, cup. Jangan menangis ya Umi, nanti Aila pukul Baba,"
Ashilla mengangguk, sementara Abi Muslih terkekeh, dan Gus Ikmal mendengkus kesal. Anaknya itu benar-benar menyebalkan!
Tak lama, Ayana, dan Ummah Aini yang satu minggu ini menginap di kediaman keluarga Abi Muslih, masuk ke kamar Ashilla.
Mereka tersenyum mendapati jika Ashilla di perlakukan dengan sangat baik oleh mertua, suami, serta anak sambungnya. Aila tampak mencelupkan handuk kecil ke dalam baskom berisi air hangat, lalu memerasnya sedikit kering, dan memijat kaki Ashilla menggunakan handuk itu. Aila sudah seperti orang dewasa, selama Ashilla hamil Aila yang selalu pasang badan menjaga agar mood Ashilla tetap baik.
Ia akan memaksa Gus Ikmal untuk segera menuruti apa saja yang di inginkan Ashilla selama masa mengidam.
Aila ini benar-benar anak yang luar biasa.
"Mbak, melahirkan itu sakit ndak?" jujur, akhir-akhir ini pikirannya tidak tenang karena memikirkan proses melahirkan nanti.
Ayana terkekeh pelan, mengusap perut Ashilla. "Mbak ndak mau menakut-nakuti kamu ah."
Ashilla mencebik. Ia beralih menatap Ummah Aini. "Ummah, melahirkan itu sakit ndak?"
Ummah Aini terkekeh. "Sakit sayang."
Ashilla terlihat tegang, Gus Ikmal sendiri tahu rasanya sangat sakit karena mantan istrinya sering mengeluh, meski pun saat melahirkan Aila ia menggunakan jalur operasi sesar.
Ummah Aini membelai rambut putrinya. "Ndak usah kepikiran dulu. Kamu fokus saja untuk persiapan kelahiran nggih? Shill, melahirkan itu rasanya memang sakit sekali, tapi begitu bayinya lahir, rasa sakitnya mendadak hilang."
"Nanti, kalau Umi sakit, Aila pijitin Umi." Aila, yang memasukkan handuk ke dalam baskom air tanpa berniat mengambilnya lagi. Matanya menatap sang Umi dengan sendu.
Abi Muslih, dan semua yang ada di kamar Ashila tertawa. "Iya, nanti Kakak Aila harus bantuin Umi jaga adik bayi juga ya?" suara itu adalah milim Aila.
"Tentu saja Amiih!!" Lalu ia melirik kepada Abi Muslih. "Eyang, bantu Aila bawa baskomnya ke dapur yuk?"
"Sama Baba aja yuk. Kasihan lho Eyang."
Aila menggeleng. "Baba disini saja jaga Umi. Ndak boleh kemana-mana!!"
"Wes, ya sudah sama Eyang saja."
Abi Muslih mengangkat baskom yang masih berisi air dan keluar dari kamar Ashilla bersama dengan Aila.
"Aila itu anak yang luar biasa ya Gus. Pintar sekali, sudah seperti anak yang berusia dewasa." puji Ummah Aini.
Gus Ikmal tersenyum. "Inggih Ummah. Alhamdulillah .... "
Percakapan mereka berlanjut, Ummah Aini bertanya apakah menurut dokter Ashilla bisa melahirkan secara sesar, atau normal, dan Aila menjawab bisa normal.
"Perkiraan HPL nya kapan dek?" tanya Ummah Aini.
"Minggu depan Ummah." jawab Gus Ikmal.
"Tapi, kita semua ndak boleh lengah. Bisa-bisa maju, seperti Irham yang lahir duluan padahal saat itu HPL nya masih lama sekali." ucap Ayana.
Menurut dokter kandungan HPL Ashilla satu minggu lagi, semakin mendekati pada hari kelahiran semua keluarga Abah Yai Muzaki menginap di kediaman Abi Muslih. Gus Zidan membantu iparnya untuk menyiapkan perlengkapan bayi ke dalam tas yang akan di bawa saat melahirkan nanti. Gus Ikmal juga sudah memesan kamar rawat VVIP di sebuah rumah sakit ternama, dan akan di tangani langsung oleh dokter yang kompeten.
Ummah Aini, dan Ayana berusaha menenangkan Ashilla memberikan wejangan agar jangan panik saat melahirkan nanti. Sedangkan Aila sedang bermain bersama Gus Irham yang di asuh oleh mbak santri.
Ummah Aini mengangguk. "Inggih nduk. Kamu kalau merasakan mulas, langsung bilang nggih?"
Ashilla mengangguk. Ah, ia benar-benar tidak sabar menantikan kelahiran bayi yang ada di kandungannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
General Fiction"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...