TIGA BELAS

19.4K 844 54
                                    

Setelah pamit kepada sang putri, Ashilla gegas memasuki mobil dan meninggalkan halaman sekolah untuk menemui seseorang yang sangat penting bagi hidupnya. Setidaknya ia punya waktu beberapa jam ke depan sebelum harus kembali menjemput Aila, jadi ia akan menggunakan waktunya dengan baik.

Hanya sekitar 15 menit lamanya ia mengemudi, ia tiba di sebuah halaman rumah sakit besar. Ia segera turun dari mobil, membawa tas dan juga handphone miliknya lalu bergegas masuk menuju kantin dimana seseorang sudah menunggunya.

"MBAK IRAAA!!"

Ashilla begitu sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan orang yang sudah lama sekali tidak ia temui ini.

"Hallo Shilla, apa kabar? Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu. Mbak kangen sekali rasanya."

Kedua wanita bercadar yang baru saja saling bertemu itu akhirnya saling memeluk, mengutarakan kerinduan mereka karena lama tak bertemu.

Mbak Ira menangkup wajah Ashilla, "Kamu apa kabar hm?"

"Shilla baik Mbak. Mbak sendiri apa kabar?"

Dokter Ira tersenyum di balik cadar, "Alhamdulillah Mbak baik juga. Ayo duduk. Mau pesan makan, atau minum Shill? Biar Mbak yang traktir kamu hari ini."

Ashilla dan Dokter Ira duduk si kursi yang saling berhadapan, dengan meja bundar yang menjadi pembatasnya. "Yakin nih? Shilla makannya banyak lho Mbak!"

"Ya ndak apa-apa. Kamu mau mborong semua makanan sama kursi-kursinya juga ndak apa-apa, Mbak bayarin." Dokter Ira menanggapi candaan dari Ashilla hingga keduanya akhirnya sama-sama tertawa.

"Serius nih. Kamu mau pesan apa?"

"Matcha latte aja deh Mbak."

"Oke." Dokter Ira memanggil seorang pelayan, memesan dua minuman yang sama dan kue red velvet sebagai teman minum mereka.

"Jadi kenapa tiba-tiba mengajak Mbak bertemu?" Tanya Dokter Ira, setelah pelayan itu pergi menyiapkan pesanan mereka.

Ashilla memilin jari tangannya yang berada di bawah meja. "Mbak?" Ada bunar keraguan yang tepancar dari matanya, dan Dokter Ira menyadari itu.

"Iya, kenapa Shilla?" Dokter Ira mencoba untuk tetap tersenyum dan berbicara lembut, enggan mendesak Ashilla untuk mengatakan apa hal yang membuatnya begitu sangat ragu dan juga sedikit--takut?

Pesanan mereka sudah datang, namun keduanya belum tampak ada yang berminat untuk menikmati hidangan tersebut.

"Bisa resepkan obat tidur untuk Shilla?"

Dokter Ira membulatkan kedua matanya, obat tidur? Ia berharap dirinya hanya salah dengar. Kenapa tiba-tiba Shilla meminta obat tidur kepadanya? Apakah ada hal yang memicu traumanya kembali muncul?

"Shilla ... Apa kamu baik-baik saja?"

Ashilla menggeleng. "Bukankah sudah jelas, jika Shilla sedang tidak baik-baik saja Mbak?"

Dokter Ira turut bersedih, kedua mata bulat Ashilla tampak berkaca-kaca, jelas sekali jika Ashilla tengah menahan dirinya untuk tidak menangis. "Shilla. Kamu sudah membaik beberapa tahun ini. Tapi kenapa tiba-tiba--"

"Mbak, bisa tolong berikan saja?" bahu Ashilla bergetar, bersamaan dengan tubuhnya yang terlihat lemas dan bersandar pada kursi yang ia duduki.

Dokter Ira diam-diam mengepalkan tangannya. Ia tidak tahu apa yang membuat Ashilla kembali seperti ini lagi, tapi demi apa pun ia tidak pernah tega juka harus melihat Ashilla kembali hancur karena rasa trauma yang di milikinya.

"Mbak tidak tahu apa yang terjadi dengan kamu. Sampai kamu kembali meminta obat tidur kepada Mbak."

Dokter Ira mengulurkan tangan, meremas tangan Ashilla yang berada di atas meja. "Mbak mohon tetaplah kuat, ada Aila dan Gus Ikmal di hidup kamu sekarang. Setidaknya, kuatlah untuk mereka."

Air mata Ashilla meluncur bebas, bibirnya yang tertutup cadar berwarna putih yang senada dengan jilbab yang di kenakannya itu tersenyum miris. Kuat untuk Gus Ikmal katanya?

Dokter Ira tidak tahu saja, bahwa Gus Ikmal adalah orang yang menyakiti Ashilla sampai setiap malam mimpi buruk yang sudah lama pergi, kembali datang menghantuinya, mengingatkannya lagi pada kejadian kelam yang memicu trauma.

"Mbak, Shilla mohon tolong berikan saja."

Dokter Ira menghela napas, dengan kedua mata yang berkaca-kaca juga akhirnya ia mengangguk. "Baik, akan Mbak berikan. Tapi tidak dalam jumlah banyak, kamu tidak boleh meminumnya terlalu sering Shilla. Kamu mengerti?"

Ashilla mengangguk, dirinya benar-benar sangat lemah bahkan hanya untuk berbicara.

"Tunggu sebentar, Mbak akan ambilkan dulu obatnya."

Ashilla kembali mengangguk, lalu Dokter Ira berlalu dari hadapannya. Ashilla segera menghapus air matanya, namun bukannya berhenti keluar, air matanya malah meluncur semakin deras.

Akhir-akhir ini pikirannya sering kacau, sama seperti pernikahan yang di jalaninya selama satu bulan ini. Ashilla hancur, remuk, dan terluka.

Ashilla benar-benar sudah lelah. Membaca ayat suci Al-Qur'an yang selalu ia lakukan setiap malam juga masih belum bisa membuatnya tenang. Terkadang ia berpikir untuk menyerah dengan semuanya, dengan pernikahan, dan kehidupannya.

Sungguh, ia sudah benar-benar lelah.

Ashilla menyeka air matanya, saat sosok Dokter Ira terlihat berjalan menghampirinya. Setelah sampai, Dokter Ira kembali duduk dan menyerahkan setengah strip obat tidur. "Ingat, jangan terlalu sering ya?"

"Iya Mbak Ira."

"Apa kamu butuh konsultasi?"

Konsultasi?

Ashilla menggeleng, ia memang lelah namun jika harus konsultasi bukankah dirinya sudah berada di tahap gila?

Ashilla tersenyum kecut. "Shilla masih belum terlalu parah seperti waktu itu Mbak."

Ia masih cukup waras, karena ia memiliki Aila.

"Ya sudah Mbak, terima kasih ya. Shilla mau pamit dulu, mau ke sekolah Aila."

Dokter Ira mengangguk. "Sama-sama. Jika butuh apa pun jangan lupa untuk menghubungi Mbak nggih?"

"Inggih Mbak. Assalamualaikum .... "

"Wa'alaikumsallam."

Ashilla berjalan keluar dari dalam kantin rumah sakit hendak menuju ke mobilnya, namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti, tubuhnya bergetar, matanya memerah dan mulai meneteskan bulir-bulir air mata saat melihat tiga orang pria yang tengah berkumpul di area parkir rumah sakit. Dadanya bergemuruh, “Mereka sudah bebas?”

Ngiiing

Telinganya tiba-tiba berdenging, di susul dengan kilasan-kilasan peristiwa yang sudah lama ia lupakan itu kembali berputar bak kaset rusak. Suara jeritan, tangisan, dan juga bentakan kasar memenuhi seluruh gendang telinganya.

Tubuhnya bergetar sangat hebat, ia benar-benar sangat ketakutan.

"Shilla!! Shilla!!" Dokter Ira gegas berlari menghampiri Ashilla, hendak memberikan ponsel milik Ashilla yang tertinggal di kantin.

"Shilla! Handphone kamu--"

Dokter Ira menatap ke arah pandang Ashilla, kedua matanya melebar, lalu gegas menarik Ashilla ke dalam pelukannya seraya menutup kedua mata Ashilla dengan telapak tangannya.

“Shilla, istigfar Shill,”

Ashilla tiba-tiba menjerit kencang, hingga ketiga pemuda itu memandang dua orang wanita bercadar itu dengan aneh, lalu mereka meninggalkan area parkir itu.

“Ashilla, hey. Hey. Shilla, kamu dengar suara Mbak?” tanyanya seraya menangkup wajah Ashilla yang terus mengeluarkan air mata dan terisak pilu, dengan tatapan mata yang kosong.

“Ashilla. Mbak mohon, tolong sadar. Ashilla! ASHILLA!!”

“ASHILLA!!” Dokter Ira menjerit saat tubuh Ashilla ambruk di bahunya.

“TOLOOONG!! TOLOONG!!”

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang