Agenda liburan selama satu minggi di bali sudah berakhir. Mereka juga baru sampai di bandara SOEKARNO-HATTA, dan di jemput eh Gus Zidan. Namun ada yang berbeda dari sepulang liburan ini, sejak hari dimana Aila mengatakan tidak ingin memiliki adik, sikap Ashilla berubah. Ia lebih banyak diam, tak jarang saat ia terbangun di tengah malam Ashilla menangis sendirian.
Gus Ikmal mengecup puncak kepala Ashilla yang menggendong Aila yang tengah tertidur. Ia mengerti perasaan Ashilla, ia pasti terluka karena ucapan Aila meski pun ia tidak mengatakannya dengan gamblang.
Mereka sudah naik ke mobil yang di kendarai oleh Gus Zidan. Ashilla duduk di kursi belakang bersama Aila, dan Gus Ikmal.
Gus Ikmal melirik ke samping, Ashilla langsung membuang muka saat tatapan mereka bertemu. Ashilla masih tampak murung, dan itu membuat Gus Ikmal gelisah. Sungguh, ia lebih baik jika Ashilla menangis di pelukannya, menceritakan semua rasa sakitnya. Daripada terus diam dan menahan semuanya sendirian.
"Wah, bagaimana liburan kalian? Apa menyenangkan?" tanya Gus Zidan memecahkan keheningan yang terjadi.
"Mas, Mbak Ayana ndak ikut menjemput?" tanya Ashilla, yang jelas sedang mengalihkan pertanyaan sebelumnya.
"Irham lagi rewel dek. Ndak mau di tinggal Amihnya." jawabnya.
Gus Ikmal kembali menatap Ashilla yang mulai diam lagi.
"Mas Zidan. Pulang ke rumah Abah dulu nggih? Shilla kangen Irham, mau peluk cium." pintanya saat mobil yang mereka tumpangi sudah keluar dari area bandara.
Gus Zidan menangkap ada sesuatu yang aneh dengan sikap Ashilla, ia menatap Gus Ikmal yang duduk di kursi belakang bersama Ashilla dan Aila yang tengah tertidur di pangkuannya, melalui kaca spion tengah. Bertanya kepada Gus Ikmal melalui tatapan apakah ia harus mengikuti keinginan Ashilla atau tidak, dan Gus Ikmal mengangguk.
“Iya nanti pulang ke rumah Abah. Irham juga kangen kayanya sama Aunty-nya mau minta oleh-oleh Bali,” ia mencoba mencairkan suasana yang tampak hening, namun Ashilla tidak menanggapi, ia malah membuang wajahnya ke arah jendela di sampingnya, menatap jalanan yang mereka lewati.
Seraya menatap jalanan, Ashilla menghela napas berkali-kali. Apa ia terlalu berlebihan jika masih sakit hati dengan ucapan Aila yang notabene masihlah anak kecil?
Entahlah, rasanya ucapan Aila itu masih terus terngiang di telinganya sampai hari ini.
Sesampainya Ashilla di kediaman orang tuanya ia gegas masuk tanpa menunggu atau berpamitan kepada Gus Ikmal yang tengah bersiap turun seraya menggendong Aila yang batu bangun dari tidurnya. Ia juga tidak menghiraukan Aila yang memanggil namanya. Gus Zidan menepuk bahu adik iparnya itu, “Ada masalah?”
“Sedikit Mas. Perasaan Ashilla sedang sensitif, saya saja sampai ndak mau mengungkit masalah itu. Padahal maksudnya ingin meluruskan, tapi yaa begitu,”
Gus Zidan mengangguk, berjalan bersama dengan sang adik ipar. “Ik, Ashilla memang agak keras kepala, mungkin karena sejak kecil kami semua selalu memanjakannya. Namun daripada itu, ia sangat perasa sedikit-sedikit tersinggung, marah, dan menangis,” jelasnya.
"Ayo duduk dulu Ik." Gus Zidan mempersilahkannya untuk duduk di ruang tamu.
Gus Ikmal mengangguk, seraya mendudukkan dirinya di atas sofa bersama Aila yang duduk di pangkuannya. "Mas, kok sepi? Ummah sama Abah kemana?" tanyanya.
"Ummah sama Abah ada acara ke luar kota Ik. Shilla, pasti menyusul Irham ke kamarnya Ayana."
"Baba! Mau ke Umi!!" rengek Aila.
Gus Zidan menatap Aila, "Oh, sebentar. Abi punya es krim di kulkas. Aila mau?" ia membujuk Aila dengan lembut, agar tidak kembali menangis.
"Mau Abiii!! Mauu!!"
Gus Zidan tersenyum, dan mengusap rambut hitam Aila. Lalu bergegas mengambil es krim di dalam kulkas, dan memberikannya kepada Aila yang sudah sangat tidak sabar. Gus Zidan juga membukakan tutup cup es krim dan memberikan sendok kepada Aila.
"Jadi, masalahnya apa?" ia melirik kepada Aila yang tampak asyik memakan es krim di pangkuannya sendiri.
Gus Ikmal mulai bercerita, tentang Ashilla yang sangat ingin hamil, namun Aila menolak ingin memiliki adik. Sebuah kata-kata yang membawa perubahan sikap, dan menyakiti hati Ashilla sampai sekarang.
Gus Zidan mengangguk, ia mengerti bagaimana perasaan Ashilla, karena dulu Ayana juga seperti itu karena tak kunjung hamil. Ia mendekat ke arah Aila yang tengah menikmati satu cup es krim di tangannya. “Aila, boleh Abi bertanya?”
Aila mengangguk polos, dan menelan es krim di mulutnya. “Boleh Abi,”
Dengan lembut Gus Zidan mengusap pucuk kepala Aila. “Kenapa Aila ndak mau punya adik? Bukannya Aila senang main dengan Gus kecil, kenapa ndak mau punya adik bayi?” ia bertanya dengan sangat lembut agar di mengerti oleh Aila.
Gus Zidan bahkan mengangkat tubuh Aila untuk duduk di pangkuannya. "Teman-teman Aila banyak yang memiliki adik Abi, tapi mereka tidak senang."
"Hm? Kenapa tidak senang?" tanya Gus Zidan, sementara Gus Ikmal hanya menjadi pendengar saja.
Aila tidak lagi memakan es krimnya, "Mereka bilang, setelah punya adik. Umi, dan Baba mereka tidak sayang lahi dengan mereka. Hanya adik bayi yang di sayang, Abi." paparnya, ucapan itu bukan hanya karangannya semata.
Aila selama ini selalu memperhatikan teman-temannya yang selalu mengeluh tentang hal itu, tanpa sadar jika itu melekat di kepalanya. Ia takut jika Umi dan Babanya juga melakukan hal yang sama kepadanya. Makanya ia bilang tidak ingin punya adik, ia takut kasih sayang mereka terbagi.
Gus Zidan terkekeh, sedangkan Ayah dari Aila sendiri tengah mengusap wajahnya. Ia tidak mengerti kenapa kehidupan anak kecil seusia Aila begitu rumit?
“Jadi Aila takut Umi, dan Baba ndak sayang lagi sama Aila?”
Aila mengangguk.
“Aila sepi tidak di rumah ndak ada temannya?”
“Iya Abi. Aila ndak mau main sama Mbak santri terus,” ucapnya dengan bibir yang mengerucut lucu.
Pelan-pelan Gus Zidan memberikan pengertian kepada Aila, lalu tak lama anak itu menangis. “Kenapa menangis sayang? Sini Baba gendong,” Gus Ikmal menggendong sang putri.
“Umi marah ya Baba sama Aila. Waktu itu—Aila membentak Umi. Aila bilang ndak mau punya adik dengan suara keras. Umi pasti marah, tadi Aila panggil-panggil Umi malah pergi,” Aila terus menangis.
Gus Zidan salut dengan didikan Gus Ikmal dan Abah Yai Muslih, sejak dini Aila diajarkan untuk mengakui kesalahan, dan meminta maaf jika merasa bersalah.
“Aila mau ketemu umi. Aila mau minta maaf sama umiiii,” ucapnya seraya menangis dengan kencang.
“Inggih nanti kita ke Umi ya. Umi ada di kamarnya Gus kecil, nanti sekalian kamu main dengan Gus kecil ya,”
Aila hanya mengangguk, dan kembali menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
General Fiction"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...