“AKKHH!!”
Dokter Ira menghampiri Ashilla dengan cepat saat mendengar teriakan. “Shilla. Ini Mbak Shilla,” ucapnya menenangkan Ashilla yang terisak di atas ranjang pasien.
“Mbak, mereka ada disana. Shilla melihatnya Mbak. Shilla melihatnya...” ucapnya dengan suara yang di selingi tangis.
Dokter Ira memeluknya. “Tenang ya. Tenang, mereka sudah tidak ada,” ucapnya, namun itu tidak menghentikan tangis Ashilla.
Dokter Ira masih merasakan tubuh Ashilla yang bergetar ketakutan. Ia diam-diam turut menitikkan air mata, ia menjadi saksi bagaimana hancurnya Ashilla dulu, ia yang menjadi saksi bagaimana anak berusia 16 tahun masih mengenakan seragam SMA yang hampir di lecehkan oleh tiga orang pria mabuk.
Jika saja nasib buruk menimpanya kala itu, dan jika Dokter Ira bersama suami tidak melewati gang kecil itu dan menyelamatkannya entah apa jadinya Ashilla saat itu.
Meski Ashilla sudah berhasil di selamatkan, hal itu meninggalkan trauma yang mendalam untuknya, bertahun-tahun Ashilla menutup diri dan melakukan konsultasi sampai keadaannya bisa kembali normal seperti ini lagi.
Tapi hari ini, untuk kedua kalinya Ira melihat Ashilla kembali hancur seperti dulu.
"Mbak belum menghubungi siapa pun. Keluarga, dan suamimu tidak tahu jika kamu pingsan." Dokter Ira mengusap air mata yang membasahi wajah Ashilla.
Ashilla hanha mengangguk seraya terisak pelan.
"Ah, ini ponsel kamu. Kamu meninggalkannya tadi."
Ashilla menerima ponsel yang di berikan oleh Dokter Ira. "Terima kasih Mbak. Lagi-lagi Mbak menyelamatkan Shilla."
Dokter Ira mengangguk. "Tidak apa-apa."
Ashilla menggenggam ponselnya dengan erat, terlihat sekali jika dirinya masih sangat ketakutan. "Mbak, Shilla takut. Mereka sudah bebas. Bagaimana jika--"
"Sshht. Tenang dulu ya. Mereka tidak akan mengenali kamu Shilla, kamu sudah dewasa sekarang, dan tertutup. Mereka bahkan tidak tahu nama kamu, tenang ya Shilla .... "
"Mau Mbak hubungi Zidan? Biar dia yang jemput kamu kesini ya?"
Ashilla mengangguk, membiarkan Dokter Ira menghubungi Mas Zidan.
Kedua mata Ashilla tiba-tiba membulat. Ia lupa belum menjemput Aila!!
Ashilla mencoba turun dari ranjang, namun hal itu terlihat oleh Dokter Ira yang kebetulan baru saja menutup teleponnya setelah berbicara dengan Gus Zidan.
Ia gegas menghampiri Ashilla. "Mau kemana Shill?"
"Mbak. Shilla belum menjemput Aila Mbak."
"Kamu yakin, mau menjemput Aila dengan keadaan kamu yang seperti ini?"
Ashilla mendudukkan tubuhnya kembali ke atas ranjang. "Telepon Gus Ikmal saja, minta ia yang menjemput Aila."
Ashilla tidak mungkin melakukan itu, yang ada Gus Ikmal akan marah dan semakin membenci dirinya. "Tapi Mbak--"
Dokter Ira memegang kedua bahu Ashilla, dengan tatapan yang begitu lekat. "Tolong nurut apa kata Mbak ya?"
Ashilla berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk.
Dokter Ira mengusap kepalanya. "Mbak pamit ya, harus visit pasien dulu."
Ashilla mengangguk, ia kemudian menatap ponselnya dengan gamang. Haruskah ia menelepon Gus Ikmal dan memintanya untuk menjemput Aila?
Tapi, bagaimana jika ia marah?
Tapi, jika tidak meneleponnya lantas bagaimana dengan Aila? Siapa yang akan menjemputnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashilla [TERBIT] ✓
Ficțiune generală"Saya menikahi kamu bukan karena cinta. Tapi, karena Aila membutuhkan seorang ibu, dan ia ingin kamu yang menjadi ibunya!" Ashilla Nadiatul Shafa, harus menelan pil pahit di malam pernikahannya. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam yang pe...