SEPULUH

20.9K 890 28
                                    

"Ikmal ada pekerjaan Abi. Ada beberapa undangan untuk datang ke kajian juga."

"Ndak bisa di batalkan opo Ik?"

Gus Ikmal menggeleng. "Ndak bisa Abi. Jadwal itu sudah tersusun sejak bulan lalu."

Ashilla berdecih dalam hati. Sungguh pembohong ulung!

Ashilla mengalihkan pandangannya pada Aila yang tampak makan dengan lahap sampai pipinya terdapat noda makanan, ia terkekeh pelan dan menarik selebar tisu yang tersedia di atas meja dan menyeka pipi Aila.

Aila menoleh dan tersenyum lebar kepadanya. Ah, benar-benar menggemaskan!

"Umi, Aila mau tambah telurnya boleh?"

Ashilla mengangguk. "Boleh sayang." ucapnya seraya mengambilkan sebutir telur balado ke piring Aila. "Aila ndak kepedasan?"

Aila menggeleng. "Sedikit Umi hehe."

Melihat senyum Aila, hatinya kembali terenyuh. Nak, umi sayang sekali dengan Aila, umi janji akan bertahan untuk Aila.

"Nduk?"

Ashilla menoleh menatap Abi Muslih yang tersenyum teduh padanya. "Maafkan putra Abi ya, belum bisa mengajak kamu jalan-jalan bulan madu."

Ashilla mengangguk. "Ndak apa-apa Abi."

Hatinya berdenyut nyeri, mengapa Abi Muslih yang harus meminta maaf? Apa Gus Ikmal tidak malu, lihatlah Abi Muslih begitu sangat baik sedangkan dirinya malah sangat jahat.

"Umi, besok mau ke sekolah tidak?"

Atensi Ashilla beralih kepada Aila yang menarik ujung jilbabnya. "Hm, iya nanti Umi ke sekolah sayang,"

"Yes!!"

"Kenapa toh? Kok kayaknya senang sekali cucu Eyang ini?" goda Abi Muslih, sednagkan Gus Ikmal hanya fokus menikmati makanan di piringnya.

"Eyang! Aila mau pamer sama teman-teman Aila, kalau ibu Cilla itu Uminya Aila sekarang!"

Abi Muslih dan Ashilla terkekeh. "Lho, lho. Ndak boleh pamer lho." tegur Abi Muslih.

Bibir Aila tampak langsung mengerucut. Gus Ikmal yang melihat itu meletakkan sendoknya di atas piring, "Iya boleh. Sekarang Aila ndak boleh sedih lagi nggih? Karena sekarang sudah punya Umi."

Aila mengangguk, lalu menatap ke arah ibu sambungnya. "Boleh Umi?"

Ashilla sungguh merasa sangat gemas dengan tingkah polos Aila. "Boleh sayang."

Aila langsung memeluk Ashilla dari samping. "Aila sayaaaang sekali sama Umi hehe."

"Umi juga sayang sama Aila." balasnya seraya mengecup pipi gembil Aila.

Gus Ikmal, dan Abi Muslih saling melirik mereka merencanakan untuk menggoda Aila.

"Cuma Umi saja yang di sayang nih? Ndak sayang lagi sama Baba?" Gus Ikmal memasang wajah sedih yang di buat-buatnya.

Abi Muslih juga melakukan yang sama. "Eyang juga ndak di sayang?"

"Aila sayang semuanya kok. Tapi tangan Aila kecil, ndak bisa peluk semuanya sama-sama." Aila langsung membantah. Karena ia memang benar menyayangi semuanya.

Suasana di ruang makan mendadak penuh tawa karena celotehan Aila barusan. Ashilla berdesir, ia terpana melihat Gus Ikmal yang tertawa dengan lepas seperti itu. Apa boleh ia bersikap egois dengan ingin terus melihat tawa itu setiap hari?

Gus Ikmal yang bertemu tatap dengan Ashilla langsung mengubah raut wajahnya menjadi datar. Apakah sehina itu Ashilla di mata suaminya sendiri?

Ashilla tanpa sadar menggigit bibir, melampiaskan rasa sakit yang kembali menusuk hatinya.

Acara makan malam itu selesai. Aila sibuk menyeret Ashilla yang resmi menjadi uminya itu untuk masuk ke kamarnya, bermain boneka sebentar sebelum adzan isya berkumandang dari masjid ponpes Darul Hikmah.

"Umi, umi! Kita shalat sama-sama ya? Baba sama Eyang biasanya shalat di masjid."

Ashilla mengangguk. Tidak dapat membayangkan betapa kesepiannya seorang Aila kecil. "Jika biasanya Baba dan Eyang shalat di masjid, Aila bagaimana?"

"Aila di antar Eyang untuk ikut jamaah bersama mbak santri Umi!"

Ashilla mengusap rambut hitam Aila dengan lembut, "Sayang, sekarang Aila sudha punya Umi. Hari ini dan seterusnya Umi akan temani Aila shalat."

Aila mengangguk, tubuh mungilnya langsung memeluk sang Umi dengan erat, menyatakan betapa senangnya ia bisa memiliki seorang ibu.

"Ayo ambil wudhu."

Aila melepaskan pelukannya, lalu mengangguk, ia menggulung lengan bajunya yang panjang sampai siku. "Umi, kalau wudhu cadarnya di pakai juga kah?" tanyanya polos.

Ashilla menggeleng. "Tidak sayang." Ashilla langsung membuka cadarnya, memperlihatkan wajah cantik Ashilla yang seputih susu, dengan hidung mancung, mata yang sedikit sedikit sipit, dan bibir yang merah.

Aila mengerjapkan kedua matanya, ia terpesona dengan wajah sang Umi yang pertama kali di lihatnya. "Masya Allah. Umi cantik sekali?"

Ashilla terkekeh, membubuhkan sebuah kecupan pada pipi gembil Aila yang menggemaskan. "Aila juga cantik."

Aila menggeleng. "Umi cantik sekali, lebih cantik dari Aila. Kenapa Umi selalu memakai cadar? Umi kan cantik."

Ashilla mengangkat tubuh kecil Aila untuk duduk di pangkuannya, posisi Aila kini duduk di sisi ranjang tidur Aila. "Sayang. Tidak semua orang yang cantii harus menggunakan cadar, begitu pun dengan yang kurang cantik. Setidaknya, dengan menggunakan cadar wanita bisa terhindar dari fitnah."

Aila mengerutkan keningnya, "Aila tidak mengerti Umi."

Ashilla lantas tertawa. Ia lupa kalau Aila ini masih sangat kecil. "Oke baiklah, saat dewasa nanti Aila akan mengerti. Ayo kita ambil wudhu."

"Ayo Umii!!"

Keduanya masuk ke dalam kamar mandi Aila untuk mengambil wudhu, kemudian setelah selesai Ashilla memintanya untuk menunggu sebentar, karena ia harus ke kamarnya untuk mengambil mukena yang masih berada di dalam koper.

Ia bersyukur karena tidak mendapati sosok Gus Ikmal disana, mungkin sudah berangkat pergi ke masjid pikirnya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari Ashilla bergegas kembali ke kamar putrinya untuk melakukan shalat berjamaah.

Ia tersenyum melihat Aila yang sudah sangat cantik dan lucu dengan mukena berwarna biru muda yang kontras sekali dengan kulit putihnya. Ah, ia tiba-tiba memiliki ide untuk membeli mukena dengan model yang sama seperti Aila, sepertinya warna ungu muda cocok untuk mereka.

Ashilla dan Aila segera melaksanakan shalat isya dengan sangat khusyuk, tak lama kemudian keduanya mengucap salam, Aila langsung menghampirinya seraya mengulurkan tangannya untuk menyalami tangan sang ibu.

Lagi-lagi Ashilla kembali berdesir, ia mengulurkan tangan dan Aila mengecup punggung tangannya. Sungguh ia sangat menyayangi anak kecil ini, meski tidak ia tidak beruntung mendapatkam Gus Ikmal, setidaknya ia beruntung memiliki mertua yang baik seperti Abi Muslih, dan anak sambung yang cantik dan menggemaskan seperti Aila.

Ya Allah, hamba sangat menyayangi anak ini. Kuatkanlah lagi hati hamba menjalani semuanya, setidaknya hamba harus bertahan untuk anak kecil yang menggemaskan ini.

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang