LIMA BELAS

21.2K 813 17
                                    

"Gila! Emang boleh ngadain kuis semendadak ini?"

Gus Malik menggerutu seraya memasukkan beberapa bukunya ke dalam tas ransel miliknya. Seharusnya kuliah mereka sudah berakhir satu jam lalu, karena salah satu dosennya tidak bisa masuk.

Tapi kesenangan mereka semua berubah saat hendak pulang, dosen yang awalnya tidak bisa hadir itu datang dan tanpa aba-aba memberikan kuis dadakan yang membuat jantungan.

Tentu saja, mereka bahkan tidak sempat belajar karena dari kemarin sang dosen sudah koar-koar berhalangan hadir karena ada urusan mendesak. Para mahasiswa, menggerutu sebal karena kuis dadakan ini, tapi mereka tidak bisa apa-apa. Bukankah dosen selalu benar?

Gus Zidan hanya terkekeh mendengar gerutuan teman sebangkunya.

"Ndak usah ketawa ya kamu Dan! Sampeyan enak otaknya encer, pasti semua jawabannya sampeyan benar. Aku lho, otakku ini batu. Bisa-bisa beasiswaku di cabut mendadak nih gara-gara si Sucipto itu!!"

Bohong, padahal Gus Malik sama pintarnya dengan Gus Zidan. Jika tidak pintar dan memiliki nilai yang unggul, mana mungkin kampus memberikan beasiswa secara cuma-cuma begitu.

"Sucipto itu guru kita lho, yang sopan kalau bicara."

Gus Malik mendengkus, memakai tas ranselnya. "Sampeyan mau langsung pulang tah?"

Gus Zidan mengangguk. "Iya, aku mau jemput--"

Tiba-tiba kedua matanya membulat, ia menatap jam tangan yang melingkar. Astaga! Ia lupa mengabari Ashilla jika dirinya tidak bisa menjemput.

Biasanya jika ia tidak bisa menjemput, ia akan menelepon abahnya untuk meminta kang santri menjemput Ashilla. Gara-gara Sucipto, dosen akutansi mengadakan kuis dadakan, ia sampai lupa melakukan semua itu.

Melihat kepanikan Gus Zidan, Gus Malik bertanya. "Kenapa toh Dan?"

Gus Zidan tidak menjawab, ia membuka ransel dan mengeluarkan ponselnya dan benar saja banyak panggilan tak terjawab dari sang adik. "Aku lupa jemput Shilla Lik." jawabnya seraya menelepon balik nomor sang adik, ia juga sedikit berlari keluar dari kelas menuju parkiran dimana mobilnya berada, di susul oleh Gus Malik.

Satu panggilan, dua panggilan, sampai panggilan ketiga kali, akhirnya teleponnya di jawab.

"Hallo Dek, kamu dimana? Maaf ya, Mas ada kuis--"

"Hallo, apa ini dengan keluarga pasien bernama Ashilla Nadiatul Shafa?"

Gerakan Gus Zidan yang hendak membuka pintu mobilnya itu terhenti mendengar kata 'pasien'. Pikirannya berkelana kemana-mana, apakah gerangan yang terjadi kepada Adiknya? Kenapa tiba-tiba menjadi pasien?

"Iya, saya Zidan. Kakaknya. Jika boleh tahu, saya berbicara dengan siapa ya?"

"Saya dokter Ira. Saat ini saudari Ashilla sedang berada di rumah sakit XX ...."

Dokter Ira menjelaskan semua kejadiannya, tubuh Gus Zidan melemas jika saja Gus Malik tidak menahannya mungkin ia sudah terduduk di atas tanah.

Panggilan itu di putus Gus Zidan setelah ia mengatakan akan segera kesana.

"Dan. Istigfar Dan. Sampeyan kenapa?"

Gus Zidan menangis. "Shilla Lik ... "

"Ning Shilla kenapa?"

Gus Zidan menjelaskan secara garis besar, jika Ashilla di rumah sakit ia di selamatkan oleh dokter Ira yang menemukannya tengah di lecehkan oleh tiga orang pemuda.

Gus Malik sama terkejutnya. "Ayo, aku antar sampeyan ke rumah sakit. Sudah hubungi Abah Yai belum?"

Gus Zidan hanya menggeleng lemah, tubuhnya di papah masuk ke mobil oleh Gus Malik yang akan menjadi sopirnya.

Gus Malik mengambil ponsel Gus Zidan, menghubungi Abah Yai Muzaki dan menjelaskan keadaan Ashilla yang saat ini berada di rumah sakit dan belum sadarkan diri.

*****

"Permisi, pasien atas nama Ashilla--"

"Anda Zidan?"

Kedua Gus itu menoleh ke arah sang dokter yang mengenakan cadar berdiri di samping mereka. Gus Zidan mengangguk. "Iya dok. Ashilla dimana ya?"

"Ayo ikut saya."

Kedua Gus itu mengekori Dokter Ira, Gus Malik mengusap bahu sang sahabat karena pria itu tampak bergetar. Siapa yang tidak akan menangis dan terkejut jika orang yang di sayangi mengalami hal semengerikan itu.

Apalagi Ashilla, tentu sebagai seorang Ning sejak kecil ia di ajarkan untuk selalu menutup aurat, tapi dengan kejadian seperti ini Ashilla pasti akan terguncang.

Keduanya tiba di sebuah kamar inap Bougenville nomor 215.

"Ashilla di dalam. Tapi Gus, saya harap tolong mengerti ya, Ashilla tampaknya trauma."

Deg!

Gus Zidan mengangguk, meski air matanya sudah hampir meluncur bebas.

"Saya sarankan, Gus Zidan saja yang masuk. Gus Malik, bisa tunggu di luar."

Gus Malik mengangguk. Sedang Dokter Ira, dan Gus Zidan masuk ke dalam kamar rawat Ashilla. Begitu pintu terbuka, Gus Zidan dapat mendengar suara rintihan sang adik yang menangis begitu pilu. Tanpa sadar air matanya mengalir deras, Ashilla adik yang sangat ceria itu terdengar begitu sangat pilu.

Ini semua salahnya.

Gus Zidan terus menyalahkan dirinya, kalau saja---

"PERGI!!! TOLOONG JANGAN MENDEKAT!!"

Dokter Ira juga sama wanita paruh baya itu menangis, melihat keadaan Ashilla yang terus berteriak dan menangis histeris seperti itu.

Gus Zidan mendekat ke Ashilla yang sudah mengenakan gamis Abaya berwarna coklat, juga jilbab yang senada pemberian Dokter Ira. Sesaat setelah ia sampai di rumah sakit membawa Ashilla yang tak sadarkan diri, barulah ia sadar jika anak gadis yang di bawanya adalah Ning Ashilla, putri pengurus ponpes Al-Hikmah.

Setelah itu ia bergegas meminta asistennya untuk membelikan pakaian muslim yang pas dengan ukuran tubuh Ning Ashilla.

"Pergi .... Aku nggak mau .... PERGI!!"

Gus Zidan mendekap tubuh sang adik, mengecup pucuk kepalanya dengan air mata yang berderai. "Shilla, sayang. Ini Mas Zidan. Ini Mas Zidan sayang, Mas Zidan disini. Kamu tenang ya?"

Mendengar itu Ashilla kembali menangis seraya meremas kemeja bagian depan sang kakak dengan kencang. "Mas...."

"Iya sayang. Mas sudah disini sayang."

"Shilla takut Mas ... Mereka--mereka--Hikss. Hiks .. "

Hati Gus Zidan seperti di tikam ribuan pedang, melihat Ashilla seperti ini benar-benar membuatnya semakin menyalahkan dirinya sendiri, ia telah lalai menjalankan amanah ayahnya untuk menjaga adiknya.

"Takut Mas ... Shilla takuuuut ..... "

Setelah kejadian itu, semuanya berubah. Tidak ada Ashilla yang ceria dan penuh tawa, Ashilla benar-benar menjadi lebih pendiam. Abah Yai Muzaki juga tidak tinggal diam, ia dan Gus Zidan menuntut tiga pemuda itu dan berhasil mereka bertiga di penjara dan mendapatkan hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku terhadap pelaku pelecehan seksual.

Ashilla home schooling, tidak lagi duduk satu meja dengan Almira, namun gadis dengan lesung pipit itu sesekali main ke ndalem untuk menemui Ashilla.

Ashilla seolah menjauhkan diri dari dunia luar, benar-benar hanya berada di dalam ndalem. Dokter Ira juga sering datang saat jam terapi oleh Dokter psikolog kenalannya Dokter Ira.

*
*
Flashback kejadian ini udah selesai ya Bestie. Sekali lagi, maafkan segala typo yang bertebaran ya ☺️

Ashilla [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang