Tidak terasa waktu sudah terlewati selama sepekan lamanya, Iza dengan rutinitas baru yang sebenarnya tidak ada sedikitpun kenyamanan dalam bekerja.
Selama hidupnya, Iza tidak pernah mendapati masalah yang serius, tidak pernah berurusan dengan siapapun juga tidak pernah mau mencari gara-gara. Hanya saja, sesekali Iza tidak bisa mengkontrol dan memilah kata-kata untuk disampaikan. Rasa penasarannya waktu itu mengupas keberaniannya secara perlahan, membentuk rasa takut dan perasaan kalang kabut yang berkepanjangan.
Bagaimana pun, Iza tidak bisa menerima kenyataan bahwa sekolah yang selama ini ia banggakan ternyata menyimpan kebohongan.
Ruang TU yang berdekatan dengan kamar mandi dan dapur khusus guru menjadi spot lalu-lalang para guru.
Di jam istirahat, sebagian guru laki-laki berkumpul di dapur seraya menyeduh segelas kopi, sementara guru lainnya terdiri dari dua kubu, pertama kubu ghosip ... mereka berkumpul di ruang perpustakaan bersama staff lainnya yang kini jadi ruang khusus tamu. Kubu ke dua berada di ruang guru, di kubu ke dua ini adalah pihak netral.
"Pak Andri ni cocok kalo nikah sama Bu Sinka," ucap Pak Tomo seraya menyeruput kopi hitam miliknya.
Semua guru di dapur tertawa, suara itu masuk ke kuping Iza yang kebetulan pintu dapur persis di sebelah kiri tempat duduk Iza.
Iza sama sekali tidak tersenyum, matanya masih melihat komputer dan tangannya sedari tadi membuka tutup absensi siswa.
Ia merasa bingung, karena semua siswa harus didata hadir di folder komputer, tetapi di absensi tertulis siswa tidak hadir lebih dari setengah jumlah keseluruhan.
Folder yang harus diupdate setiap minggu dan dikirim ke kepala sekolah selalu berubah-ubah. Bahkan selalu ada satu atau dua siswa baru terdaftar setiap harinya yang padahal wujud siswanya tidak ada.
"Najis! Ogah sama si Sinka, skip!" teriak Pak Andri disusul gelak tawa. "Gua mah mending menjomblo aja kalau misal jodohnya si Sinka, up gak minat samsek."
"Dih, ucapan adalah doa, nyebut lu!" ucap Pak Apip.
"Nyebut, gitu?" balas Pak Andri.
Gelak tawa kembali terdengar.
Iza mengambil tas yang ia simpan di bawah meja kerja. Mengambil dua buah gorengan yang ia ambil dari rumah, kondisi gorengan itu sudah dingin dan mulai mengeluarkan minyak.
"Makan, Pak!" seru Iza.
"Mangga mangga! Sini atuh, Za! Makan bareng-bareng," jawab Pak Andri.
Iza memasuki ruang dapur, duduk perlahan dan mennyimpan keresek di tengah-tengah kumpulan guru.
Pak Andri membuka keresek itu, ia menatap Iza dan mengangkat sebelah alisnya. Iza tersenyum seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dua doang ini teh?"
Iza mengangguk.
Suasana menjadi hening, semua mata tertuju kepada Iza.
Iza tersenyum canggung, ia menatap Pak Iyan yang sedari tadi hanya diam dan fokus menyantap bekalnya tiba-tiba ikut terhenti ketika mengetahui Iza hanya membawa dua buah gorengan saja untuk makan siangnya.
"Bawa uang berapa, Iza?" tanya Pak Iyan.
Iza tersenyum dan menggeleng kepala.
Bekal yang diberikan Ibunya sebesar lima ribu rupiah, namun ia sengaja tidak membawa uang tersebut karena sudah ia masukan ke dalam celengan.
Iza menghela napas, entah apa yang menjadi suasana ini menjadi canggung, ia merasa dia salah menempatkan dirinya di antara guru-guru di sana.
"Tolong belikan bapak jajanan di warung seberang sekolah, apa aja asal yang bikin kenyang!" suruh Pak Iyan sembari memberikan uang lima puluh ribu rupiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG UNTUK PULANG
General FictionSejak mengetahui rahasia yang disembunyikan tempat kerjanya a.k.a sekolahnya, Fathur Mirza atau yang kerap disapa Iza ini mulai dihantui mimpi buruk. Sejak saat itu, hatinya mulai but4 dan membuatnya semakin naif. Mimpi-mimpi yang ia bangun mulai r...