BAB 1

49 9 1
                                    

Setelah menerima tawaran Pak Daris, Iza bergegas pulang. Baru saja ia menutup pintu ruangan kepala sekolah, ia melihat sosok tinggi gagah menatapnya dari ujung koridor sekolah, bersamanya wanita berkulit gelap.

Pak Arka Djati Waluyo yang kerap dipanggil Pak Dijat ini merupakan kakak kandung dari Pak Daris. Jabatannya adalah WAKA Kesiswaan dan juga pembina OSIS serta Pramuka. Sementara sosok wanita itu adalah staf perpustakaan bernama Bu Sinka.

"Sini!" seru Pak Dijat.

Iza bergegas menghampiri, kemudian menyalami kedua orang tersebut.

"Selamat, ya!" lanjut mereka berdua bergantian.

Iza sedikit keheranan, karena belum sampai lima menit sejak ia menerima tawaran, mereka berdua sudah tahu apa yang sebelumnya terjadi.

Pak Dijat tersenyum, bersikap baik tidak seperti yang Iza kenali.

Pak Dijat adalah sosok yang Iza hindari. Sejak awal kelas sepuluh Pak Dijat sangat mendukung apapun yang Mirza lakukan, siswa yang aktif dengan julukan jenius itu mulai disegani sebayanya, sampai di suatu saat Pak Dijat merasa dipermalukan karena Iza sempat mengoreksi pembahasannya yang salah di depan umum.

Pak Dijat juga sudah dua kali menurunkan jabatan yang Iza miliki tanpa alasan yang cukup jelas.

Pertama, dia diturunkan dari wakil ketua OSIS menjadi Seksi Kesenian tanpa persetujuan Iza, alasannya karena Iza mahir menggambar dan senang menulis puisi, namun, karena Iza merasa tidak enakan ia menerimanya dengan legowo. Padahal potensinya dalam kepimimpinan sangat bagus.

Ke dua, Iza diturunkan dari jabatan ketua pramuka menjadi anggota, hal ini dikarenakan postur tubuh Iza yang tidak sesuai, tingginya yang saat itu hanya mencapai seratus lima puluh lima menjadi salah satu alasan Pak Dijat. Bahkan dengan entengnya Pak Dijat membandingkan Iza dengan seluruh teman laki-lakinya yang memiliki badan rata-rata seratus enam puluh lima.

Hari itu, Iza menganggap apa yang sudah terjadi di masa lalu biar menjadi pembelajaran, ia yakin tentang kebaikan yang akan datang kepada setiap orang termasuk Pak Dijat yang hari itu bersikap tidak seperti biasanya.

"Kamu jangan dulu pulang! Bantu saya dulu!" pinta Pak Dijat, "gapapa, kan?" sambungnya.

Iza tidak bisa menolak.

Setelah hampir enam tahun SMKS Bakti Negara berdiri, bangunan yang tersedia hanya terdiri dari ruang kepala sekolah, di tahun ini tepatnya tahun 2021 kepemimpinan Pak Daris berhasil membangun lima bangunan sekaligus dalam waktu yang cukup singkat.

Terdapat tiga bangunan kelas dan dua ruangan untuk guru dan lab yang sudah berdiri namun belum digunakan.

Pak Dijat mengangkat seember cat berwarna biru langit ke salah satu ruangan baru jadi itu.

"Kamu cat ruangan ini semua, ya! Bu Sinka dengan saya bakalan bantu."

Iza mengangguk, dengan hati-hati ia mulai bekerja menuruti apa yang diperintah. Selama pekerjaan itu berlangsung, Iza tidak pernah mau membuka pembicaraan apapun. Ia hanya mengangguk atau menjawab seperlunya saja.

"Di sini, sampe malem! Rumah kamu deket, kan? Jadi ya ... pulang larut atau tidur di sekolah gak apa-apa, lagian kamu udah sering juga nginep di sekolah. Nanti kamu saya kasih tugas tambahan jadi keamanan juga, biar kuat, biar gak menye-menye lemes-lemes kayak gak dikasih makan orang tua."

Iza tersenyum, "saya maghrib harus pergi ngaji, Pak."

SMKS Bakti Negara yang bisa dibilang rumah kedua bagi siswa angkatan satu dan dua. Sejak kepemimpinan Pak Agus, sekolah menjadi tempat paling ramah bahkan menjadi tempat berkeluh kesah.

SMKS Bakti Negara berdiri atas kerjasama Pak Agus, Pak Daris, Pak Dijat, Bu Fatma, dan Pak Awan yang kebetulan mereka satu kampus semasa kuliah.

Kepemimpinan Pak Agus waktu itu mengutamakan kebersamaan dan keagamaan, sehingga siswa merasa nyaman dan bisa melaksanakan hak dan kewajibannya kepada sekolah.

Pak Agus sangat mengapresiasi setiap apa yang dilakukan siswanya, terlepas sikapnya yang tegas beliau menjunjung tinggi norma dan agama.

Bahkan Iza sendiri pernah mengikuti lomba menulis puisi bertema pertemuan yang kebetulan terinspirasi saat sebagian warga SMKS Bakti Negara mengadakan nonton sepak bola Indonesia melawan Thailand bersama melalui laptop pak Awan.

Entah karena apa, waktu Iza masih kelas sepuluh, Pak Agus beserta partner-partnernya ... kecuali Pak Daris dan Pak Dijat, memasuki kelas dan mengumpulkan siswanya yang tidak lebih dari seratus siswa.

Beliau berpidato panjang lebar sembari menangis berpamitan sampai ia sendiri terisak dan 'tak mampu melanjutkan pembicaraannya. Guru lain menyampaikan bahwa jika Pak Agus mengundurkan diri dari SMKS Bakti Negara maka mereka juga akan mengikuti jejak Pak Agus.

Siswa-siswa mengira hal ini dikarenakan perselisihan antara pihak Pak Agus dan Pak Daris dengan sangkaan Pak Daris menang telak karena semua orang tahu bahwa donasi terbesar diberikan keluarga Waluyo.

Seminggu setelah kejadian itu, Pak Agus benar-benar mengundurkan diri disusul dengan beberapa guru lainnya.

"Udah gede, masih pergi mengaji? Lapan belas tahun itu fokusin cari kerja, udah baligh udah bisa shalat dan baca quran tinggal terapin aja, gak perlu lama-lamain ngaji kalau misal tetep bodoh juga."

Iza kembali tersenyum, 'tong kosong, eh ... astagfirullah,' ucapnya dalam hati.

"Pak, saya pulang duluan, boleh?" tanya Bu Sinka.

Pak Dijat mengangguk mengiyakan. "Za, kamu saya tinggal di sini, saya mau makan dulu. Nanti kalau ruangan ini dan ruangan sebelah sudah dicat kamu baru boleh pulang, nanti saya antar ke rumah kamu sekalian mau ketemu orang tua kamu."

Iza tersenyum seraya mengangguk, "baik, Pak."

Waktu terus berjalan, hari semakin gelap, lampu-lampu rumah warga pun mulai menyala, jalanan semakin sepi dan menyisakan suara serangga-serangga di sekitaran kebun warga di belakang sekolah.

Iza bergegas keluar dari kelas, tugasnya selesai dan ia mulai membereskan peralatan kerjanya.

Saat ia melihat ke arah pekarangan, Iza nampak kaget, tidak satupun motor berada di sana. Bahkan Pak Dijat yang sudah berjanji mengantarkan pun sudah tidak ada.

Iza mengecek ruangan-ruangan yang ternyata semuanya telah dikunci. Sesak, tapi tidak apa.

Napas terhembus pelan, matanya menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan, dalam hatinya terucap doa-doa penuh kagum. Sekali lagi ia berterima kasih pada Tuhan atas kebaikan yang terjadi padanya hari itu.

Iza bergegas pulang, untungnya sekolah itu berdiri tanpa benteng dan gerbang, sekolah yang bisa dikatakan menempel ke rumah warga dan berdiri di antara rumah dan kebun warga.

Di perjalanan, 'tak henti-henti ia berhalusinasi mengenai masa depannya yang akan cerah. Cita-citanya untuk kuliah akan terwujud, mengangkat derajat orang tua sekaligus ingin memotivasi orang di kampungnya bahwa memiliki pendidikan dan mengembangkan diri itu penting, ditambah adab dan ilmu agama yang senantiasa harus berjalan seirama dengan kehidupan.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang