BAB 20

4 1 0
                                    

Satu minggu telah berlalu, Mirza mendapatkan kabar dari Andrik agar mereka segera bertemu. Mirza yang tidak tahu Kota Surabaya meminta agar Andrik saja yang datang ke kosan Asir, Mirza juga sudah mendapatkan izin kepada Asir.

Kagetnya, Andrik sudah berada di depan gang kost setelah lima belas menit mereka saling mengabari. Andrik memaksa Mirza untuk membawa helm milik Asir, dengan keterpaksaan ia pun menuruti apa yang Andrik perintah.

"Kita mau ke mana?" tanya Mirza.

"Naik aja!" jawab Andrik memerintah.

Andrik membawa Mirza mengelilingi Kota Surabaya, ia memperlihatkan jembatan Suramadu ke pada Mirza, ia juga memperlihatkan mall-mall besar di sana.

"Mau nonton bioskop, gak?" tanya Andrik.

"Boleh," jawab Mirza seraya menahan terik matahari yang menyoroti wajahnya.

Andrik membawa Mirza ke lift di pojok parkiran, saat mereka hendak naik, Mirza kembali deja vu dengan kejadian di Bandung waktu melamar kerja.

Andrik membawa Mirza berkeliling mall menunjukan betapa kerennya Kota Surabaya ke pada Mirza.

"Garut Bandung gak ada yang kayak gini, kan?" tanya Andrik.

"Saya tidak tahu, ini aja kali pertama saya ke mall," jawab Mirza.

Andrik kembali berjalan di depan Mirza. Dengan pakaiannya yang masih mengenakan almamater kampus, Andrik meminta agar Mirza bersikap seolah mereka tidak kenal.

"Aku malu, soalnya temen-temenku pada tinggi, kamu jalan di sampingku malah kayak bocil," ucap Andri sembari mengukur tinggi badan Mirza dengan telapak tangannya.

Mirza memiliki tinggi sebahu Andrik, Mirza juga melihat rata-rata orang Surabaya yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lebih. Sejak mendengar pernyataan Andrik, Mirza mulai insecure dan tidak lagi banyak bicara.

Setelah seharian mendengar Andrik membanggakan Kota Surabaya, tidak ada satu hal pun yang bisa membuat Mirza mengakui kalau Surabaya itu istimewa. Cara Andrik memperkenalkan kotanya dengan tempat kelahiran Mirza justeru membuat kotanya tidak sebanding dengan kampung halaman Mirza.

Saat tiba di tempat pembelian tiket bioskop, Andrik tidak meminta Mirza untuk berdemokrasi tentang film apa yang akan mereka tonton, Andrik memilih film Doctor Strange II, Mirza yang tidak paham hanya mengiyakan kemauan Andrik.

"Mana uangnya? Bayarin aku dulu, ya, sekalian beliin aku popcorn! Atau uangnya saja sini! Aku yang beli."

Dahi Mirza berkernyit, tetapi dia tidak bisa menolak, ia pun memberikan uang sesuai dengan nominal yang Andrik Minta.

Saat tiba di ruang bioskop, Andrik nampak sibuk dengan handphone-nya, sedangkan Mirza hanya ingin pulang dan tidak ingin lagi jalan-jalan. Andrik selalu meminta uang pada Mirza untuk apapun yang dia beli, meskipun harganya tidak begitu mahal, tetapi memperlakukan tamu seperti itu akan merusak citra rumah dan tuan rumah menjadi jelek.

Saat film dimulai, Mirza merasa tidak nyaman berada di sana, suara dentuman dan musik yang begitu keras membuat kepalanya semakin puyeng. Ditambah Andrik yang tidak peduli dengan kondisi Mirza, ia hanya sibuk menikmati film dan popcorn di tangannya.

Mirza berharap lampu mati atau ada kejadian apapun yang membuat tayangan itu diberhentikan. Meskipun tidak mungkin, Mirza berusaha menghargai Andrik untuk tetap diam di sana.

Saat tayangan sudah selesai, Andrik meninggalkan Mirza begitu saja, Mirza sedikit berlari menerobos kerumunan orang yang hendak keluar ruang bioskop.

Mirza tidak melihat keberadaan Andrik, ia panik, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Bagaimana tidak, jangankan untuk pulang ke kost, ia saja tidak tau bagaimana dan kemana agar keluar dari mall itu.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang