"Kamu hebat, Za," ucap Imam memuji.
Di hari pertamanya kerja, Mirza seringkali melakukan kesalahan, ia terbilang ceroboh dan terlalu hati-hati. Sehingga pekerjaan yang iya tekuni tidak begitu maksimal.
Imam yang saat itu mengajari Mirza hanya bisa pasrah saja saat makanan yang dibuat Mirza tidak bisa disajikan ke pelanggan.
"Maaf ya, Mas," ucap Mirza.
"Gak papa, namanya juga belajar. Nanti pas pulang kerja kita bareng, ya! Rumahku juga sekitaran Mulyosari, atau kamu mau tinggal di mess?" tanya Imam seraya menghidangkan makanan ke atas piring.
"Terima kasih, Mas. Aku pengennya mess, karena kakakku ... emm bukan kakak sih, tapi dia bakalan mudik, jadi aku musti mess aja daripada ngekost," jawab Mirza.
Pelanggan pada saat itu begitu padat, Mirza hanya bisa sedikit membantu karyawan di sana. Ia berkali-kali mampir ke bagian kasir untuk mempelajari job desk kasir.
Tidak terasa waktu telah berjalan sembilan jam lamanya, beberapa orang mengenakan seragam kerja memasuki restoran, sepertinya itu adalah karyawan yang bekerja shift malam. Mereka datang seraya menyapa karyawan yang lain.
Saat tiba giliran shift malam briefing, mereka memanggil Mirza untuk memperkenalkan dirinya. Kali ini Mirza bicara sangat gugup, bukan hanya karena ada Pak Herman dan beberapa karyawan lainnya. Tetapi ia juga melihat karyawan perempuan yang parasnya mirip dengan kakak perempuannya.
Beberapa kali hatinya tersayat, rasa rindu kepada keluarganya sedikit terobati, namun, malah makin menjadi-jadi.
Sifat keibuan perempuan dua puluh empat tahun itu pun membuat Mirza benar-benar merasakan kehadiran kakaknya.
"Bagaimana hari pertama kerja?" tanya Pak Herman.
Mirza menggaruk kepalanya yang tak gatal, "alhamdulillah, lancar."
"Gimana, Mam?" tanya Pak Herman ke pada Imam yang kebetulan melewati karyawan-karyawan yang sedang briefing.
"Bagus, kok, Pak," jawab Imam seraya melanjutkan pekerjaannya.
"Za, kamu musti semangat kerja di sini! Banyak hal yang perlu kamu kuasai dan pelajari, di sini karyawannya gak cuma bekerja di satu bidang. Meski pun kamu melamar sebagai kasir, tapi kamu harus belajar dulu di bagian dapur, ya! Hampir kebanyakan karyawan di sini merintis pekerjaannya dari nol bakat, jadi kamu gak perlu insecure kalau kamu ngerasa belum bisa melakukan yang terbaik, kita semua belajar," jelas Pak Herman. "Imam, nanti pulang anterin Mirza!" teriak Pak Herman.
"Siap, Pak," balas Imam.
Seperti sebelumnya, briefing diakhiri dengan yel-yel.
Shift pagi bergegas mempersiapkan diri untuk pulang, pun Mirza yang terlihat sangat kelelahan, apalagi dia belum makan lagi selain sepotong roti waktu ia berangkat kerja.
Mirza menghampiri Imam yang sebelumnya berjanji akan mengantarkannya pulang.
"Ayo, Za!" perintah Imam.
Mirza mengikuti Imam dari belakang menuju parkiran, saat Imam menaiki motornya, ia mendengar suara keroncongan dari perut Mirza, keras sekali.
Imam menoleh dan tertawa, "lapar?"
"Tidak, Mas," jawab Mirza malu, bahkan keroncongan di perut Mirza masih terdengar sekali lagi.
"Yo wes, naik!" perintah Imam.
Di sepanjang perjalanan, Mirza merasa asing dengan jalur pulang, ia takut Mulyosari tempat tinggalnya dan Mulyosari yang Imam maksud itu berbeda. Namun, hal itu terbantahkan saat motor yang dikendarai belok ke arah bengkel.
Imam yang ternyata sebelumnya sudah berniat untuk memperbaiki motornya. Imam juga berniat mengajak Mirza untuk makan terlebih dahulu.
"Tapi, Mas," Mirza menolak tawaran dari Imam. Bukan karena ia tidak lapar, tapi karena ia tidak membawa uang.
Imam terus memaksa Mirza untuk makan bersama, pada akhirnya Mirza tidak bisa menolak.
Mirza dan Imam duduk di salah satu meja di tempat makan pinggir jalan. Mirza menatap layar handphone untuk melihat jam, tepat pukul lima sore.
Beberapa hidangan yang Imam pesan sebelumnya satu per satu dihidangkan di hadapan mereka.
Udang krispi, cumi bakar, gurame, dan sate ayam dengan minumnya es teh manis.
Mirza melongo, bagaimana bisa mereka menghabiskan menu sebanyak itu. Apalagi Mirza syok melihat Imam memesankan dua porsi nasi.
"Jangan kaget, Za! Aku makannya banyak soalnya. Ayo, makan!"
Mirza menggeser satu piring nasi yang tepat berada di depannya. Ia mengambil lauknya sedikit-sedikit. Imam memperhatikan gerak-gerik Mirza yang ragu.
"Ambil yang banyak!" perintah Imam.
Mirza hanya mengangguk.
Saat Mirza makan di suapan pertama, jiwanya seakan flashback pada kejadian sebelum ia berangkat ke Surabaya. Ia mengingat pesan yang Hafid sampaikan.
Hati Mirza tersayat-sayat mengingatnya, apalagi ia tahu kalau Ibunya sangat menyukai udang.
Tangisnya tiba-tiba pecah. Entah kenapa ia merasa selemah itu soal keluarga. Mirza langsung meraih beberapa tisu dan menyeka air matanya.
"Duh, aku tersedak cabainya," ucap Mirza menyembunyikan kesedihannya.
Imam yang sebenarnya tahu hanya mengiyakannya, ia meminta Mirza untuk makan pelan-pelan.
Setelah semuanya selesai, Imam meminta agar makanan yang masih bisa dimakan dibungkus. Pelayan tempat makan itu pun melaksanakan keinginan Imam.
Imam menerima bungkus makanan itu, ia juga membayar keseluruhan makanan yang ia pesan dan memberikan makanan yang dibungkus untuk Mirza.
Waktu menuju magrib, mereka bergegas pulang.
"Kamu manggil aku 'Mas' itu kenapa? Kita kan seumuran!" ucap Imam seraya menaiki motornya.
"Gak tau, Mas."
Imam yang ternyata enam belas hari lebih muda dari Mirza merasa tidak nyaman dipanggil 'mas' oleh Mirza.
"Tapi kalau kamu nyamannya gitu, aku gak papa," sambung Imam.
Mirza hanya menjawab dengan isyarat-isyarat tubuh. Ia masih belum bisa berinteraksi banyak dengan orang lain.
Sampai di gang tempat Mirza kost, Imam berpamitan untuk langsung pulang karena hari sudah mulai gelap. Mirza pun berterima kasih atas tumpangan yang Imam berikan.
Asir yang sedang duduk menatap aliran sungai di belakang kost terkejut saat Mirza datang tiba-tiba.
"Lagi apa, A?" tanya Mirza.
Asir mengepulkan asap rokok dan menyeruput kopi yang hampir dingin, "lagi mikirin idup," jawabnya dibarengi dengan tawa.
"Aku bawa makanan."
Mendengar hal itu, Asir bergegas berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Mirza yang sudah berada di kamar kost.
Mirza membuka satu per satu bungkus makanan itu, nampak juga Asir yang begitu ngiler melihat makanan-makanan lezat itu.
"Aa makan aja, ya! Aku sudah kenyang soalnya," ucap Mirza seraya meraih handuk yang menggantung di samping almari dan bersiap untuk mandi.
Asir yang tengah makan itu sedikit terganggu dengan notifikasi yang masuk ke handphone Mirza.
Ia tidak berniat membuka handphone Mirza, tapi ia kaget saat tidak sengaja melihat isi pesan yang masuk.
Nomor tidak dikenali yang mengancam Mirza, isi pesan mengatakan kalau dia tahu tempat Mirza bekerja dan tidak akan segan membuat hidup Mirza tidak tenang.
Asir saat itu langsung bergegas memblokir kontak itu dan menghapus percakapannya. Dalam satu waktu ia merasa bingung, ia ingin melindungi Mirza, tapi ia juga harus pulang kampung, apalagi tiket keretanya sudah dipesankan.
Meski dalam kebingungan, Asir tetap lahap menyantap makanannya, dan menyisakan sebagian makanan untuk makan malam Mirza.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG UNTUK PULANG
General FictionSejak mengetahui rahasia yang disembunyikan tempat kerjanya a.k.a sekolahnya, Fathur Mirza atau yang kerap disapa Iza ini mulai dihantui mimpi buruk. Sejak saat itu, hatinya mulai but4 dan membuatnya semakin naif. Mimpi-mimpi yang ia bangun mulai r...