BAB 17

2 1 0
                                    

'Kamu posting gitu emang yakin bakalan ngerantau ke Surabaya?'

Mirza menatap pesan dari Andrik. Ia baru sadar kalau apa yang ia lakukan belum tentu bisa dia raih. Kemudian, dengan sigap Mirza menghapus postingannya.

'Pasti! Aku yakin' balas Mirza singkat.

Mirza menutup handphone-nya kemudian mengisi daya baterai.

Berita mengenai pencapaian beasiswa Mirza sengaja Mirza tunda untuk dikabarkan pada keluarganya. Tetapi semakin berganti hari Mirza semakin gelisah dengan apa yang harus dia lakukan.

Di sisi lain ia sangat takut untuk mengabarkan berita tersebut, karena dia sadar kalau dia bakal kekurangan banyak hal untuk membangun jalannya meraih mimpi.

Malam yang cukup terang dihiasi rembulan yang bersinar sempurna, tatapan Mirza seolah memberi tahukan kalau keraguannya semakin menyelam dalam pikirannya.

Udara dingin terus mengusap pundaknya, menegur lamunan tentang kesiapannya menata masa depan.

Malamnya tenang, namun, jiwanya berisik. Dengan penuh keyakinan Mirza memberanikan diri menghampiri Ibunya.

Ia menatap wanita dengan balutan mukena tengah duduk berzikir di atas sajadah.

"Bu."

Mirza menurunkan badannya untuk duduk di samping ibunya.

"Aku dapat beasiswa, tapi ... di Surabaya."

Mulut yang sedang berzikir itu tiba-tiba terdiam, tasbih di genggamannya pun ikut terhenti dikala mendengar ucapan dari putranya.

"Surabaya itu jauh! Udah gak perlu jauh-jauh! Gak perlu kuliah, Ibu gak nuntut kamu jadi sarjana, liat kamu rajin berangkat ngaji, bisa dengar kamu sholawat dan azan itu udah bikin Ibu sangat tenang. Jangan merantau terlalu jauh, Ibu tidak tenang!"

Mirza tidak menjawab, tetapi dia masih duduk di samping Ibunya.

"Apalagi beberapa hari lagi bulan puasa. Liat di berita-berita! Banyak korban mutilasi, korban-korban yang ...," wanita itu menghela napas panjang. "Ibu mau shalat isya," lanjutnya.

Mirza menatap Ibunya, ia melihat raut sedih sampai melihat ibunya mulai berkaca-kaca. Mirza berdiri, kemudian memasuki kamarnya untuk merenungi kejadian barusan.

'Sepertinya aku memang tidak bisa,' ungkap Mirza pada Andrik melalui pesan.

Pesan itu langsung terbaca, Andrik mengetik cukup lama, kemudian pesannya masuk ke handphone milik Mirza.

'Kamu gak usaha ngeyakinin orang tua kamu? Kamu udah besar, 19 tahun kan? Udah selayaknya kamu pergi dari rumah untuk kerja. Masa hidup kamu mau gitu-gitu aja? Kalau kamu bisa ke sini aku janjiin deh kita bisa keliling Indonesia bahkan kita bakal pergi ke Jepang. Hidup kamu bakalan enak tinggal di Surabaya.'

Mirza kebingungan, tapi dia tidak butuh waktu lama untuk membalas pesan Andrik. Hanya dengan kata 'iya' saja sudah cukup untuk membalas omong kosong itu.

Mata lelaki itu terpejam, berlarut pada sunyinya malam.

Dalam mimpinya, ia melihat seorang lelaki keluar dari mobil mewah, menjinjing koper berisi uang seratus ribuan dengan jumlah yang fantastis, ia melempar-lempar uang itu ke pada warga, mimpinya beralih pada rumah mewah bernuansa putih emas. Ia juga  melihat keluarganya duduk di kursi ruang makan, dilihatnya menu makanan mewah yang dihidangkan di meja oval dengan ukuran super besar. Di ujung pandang, terlihat wanita parubaya mengenakan daster lusuh, tetapi ia mengenakan mahkota yang amat berkilauan. Wanita itu mengambil mahkota dari kepalanya kemudian melemparkannya ke depan Mirza.

"Ibu," ucap Mirza kaget seraya mengangkat badan dari posisi tidurnya.

Napas lelaki itu terengah-engah, bunga tidurnya terasa nyata. Bahkan ia melihat Ibunya hadir di mimpinya dengan ekspresi sangat menderita.

Ia tidak tahu makna dari mimpinya, tapi dia teringat ucapan guru ngajinya bahwa khataman bacaan quran Mirza kelak akan menjadi mahkota orang tuanya di surga. Dalam mimpi Mirza, surga adalah kekayaan dan ketenaran, tetapi Ibunya jelas tidak menyukai itu.

Mimpi hanyalah bunga tidur, Mirza sebatas kaget, ia tidak berpatokan pada mimpinya barusan, ia meyakini juga tentang penjelasan bahwa kadang mimpi timbulnya dari bisikan setan.

Hari demi hari kian memaksa diri Mirza untuk berubah, hidupnya dirasa monoton. Ia tetap tidak memiliki teman, hari-harinya hanya ditemani oleh kegiatan online, bahkan saat memasuki bulan suci Ramadhan ia lebih sering mengurung diri di kamar.

Ibunya sempat menaruh kecurigaan, ia tak lagi melihat Mirza aktif di pengajian, ia cenderung menjadi sangat pendiam bahkan tidak lagi ingin bercerita pada ibunya. Bahkan Mirza mengurangi porsi berbukanya, ia sering menunda atau memisahkan diri dari keluarga. Selain itu, di penghujung akhir Ramadhan, biasanya Mirza beritikaf di masjid, menghatamkan bacaan ayat-ayat suci atau berzikir, namun, Ramadhan tahun itu tidak mengubah Mirza menjadi lebih baik, bahkan Mirza hanya mampu menyelesaikan tiga juz saja dalam sebulan.

Takbir berkumandang, sambutan idul fitri malam itu begitu meriah, suara kembang api saling bersahutan di mana-mana. Banyak orang-orang dari perantauan pulang di malam itu termasuk kakak-kakak Mirza.

Anak-anak berlarian di halaman musola, para tetua kampung dan pemuda melantunkan takbir, sedangkan para remaja mengelilingi kampung meminta segenggam dua genggam camilan untuk orang-orang di musola.

Lagi-lagi, Mirza hanya mengurung diri di kamar.

Sampai akhirnya, Hafid membuka kamar Mirza, menatap adiknya tengah fokus bermain game.

"Lagi apa?" tanya Hafid.

"Mobile Legend," jawab Mirza dengan tatapan fokus ke layar.

Andrik mengenalkan Mirza pada game yang membuat Mirza lupa kalau dia hidup di dunia.

Hafid keluar kamar. "Kalau sudah bilang!" ucapnya dengan nada naik satu oktaf.

Mirza berdecak, ia bergegas untuk berdiri dari duduk dengan tangan masih mengotak-atik game di handphone-nya.

Setelah menyelesaikan permainannya, Mirza bergegas menemui Hafid.

"Kenapa?" tanya Hafid.

Mirza mencari sesuatu di handphone-nya, ia memperlihatkan file dan foto bukti kalau dia mendapatkan beasiswa di Surabaya.

"Ini aku dapat beasiswa loh, saingannya dari seluruh Indonesia, dan aku dapet peringkat dua. Belum lagi aku ditawari kerja, gajinya empat juta lebih, sama katanya dikasih uang makan juga seratus ribu perhari. Aku kepengen kuliah," ucap Mirza terus terang.

Hafid masih melihat file-file itu. Ia mencari identitas kampus yang Mirza maksud, betapa kagetnya saat Hafid mengetahui kalau kampus yang Mirza maksud adalah salah satu dari lima kampus terbaik di Surabaya. Bahkan teman Hafid merupakan doktor lulusan dari kampus tersebut.

"Bilang dulu ke Ibu!" perintah Hafid.

"Sudah, Ibu tidak setuju."

Hafid beranjak dari duduknya, menghampiri Ibu yang tengah berbincang dengan anggota keluarga lainnya. Tidak hanya Hafid, saat itu semua keluarga menjadi tahu kalau Mirza mendapatkan beasiswa, semua saudara mendukung termasuk bapak Mirza, tetapi ibunya tetap bersikeras menolak.

Mirza dipanggil untuk berusaha sekali lagi meyakinkan ibu, meskipun ibunya tidak paham teknologi, tetapi Mirza berusaha dengan hati-hati agar ibunya bisa mengerti.

"Terserah kalian saja!" ucap Ibunya seraya memasuki kamar.

Semua orang terdiam, tetapi tidak menghakimi Mirza, karena pada saat itu semua anggota keluarga menyetujui keputusan Mirza untuk merantau.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang