BAB 11

12 4 0
                                    

Malam yang dingin disertai hembusan angin yang menyelinap masuk melalui celah dinding anyaman bambu kamar Mirza.

Lelaki itu tengah duduk bersandar pada kursi belajarnya, menatap lembaran surat lowongan kerja yang ia dapat dari sekolah. Perlahan ia melepas peci yang ia kenakan seraya menyimpan surat tersebut di antara buku-buku, kemudian mengganti sarung serta pakaiannya bersiap untuk tidur.

Lampu kamar sudah dipadamkan, handphone-nya memutar musik pengantar tidur, biasanya Iza membuka Youtube dan akan memutar suara hujan beserta petir untuk menemani tidurnya, atau suara riuh angin musim salju.

Mata Iza masih terjaga, menatap celah-celah atap kamarnya yang sedikit terbuka, menyuguhkan pemandangan langit dengan taburan bintang. Jika di musim hujan, Iza akan tidur bersama ember di sampingnya, sebagai persiapan apabila terjadi hujan karena kamarnya selalu bocor.

Rasa gelisah terus menyerang otaknya, ia hampir berkali-kali mencari posisi nyaman agar bisa terlelap tidur, namun usahanya sia-sia.

Mirza mengangkat tubuhnya, berdiri dan berusaha meraih sakelar lampu. Setelah lampu kamar menyala, ia mengambil surat lowongan pekerjaan tadi. Kemudian ia mengambil beberapa lembar hvs untuk menuliskan surat lamaran pekerjaan dan surat riwayat hidup.

Mirza menyiapkan segala persyaratan yang tertera pada lowongan tersebut. Setelah selesai, ia menyempatkan diri untuk melompat-lompat dan push-up dengan tujuan agar ia kelelahan dan mudah untuk tertidur.

O0O

Keesokan harinya Iza mempersiapkan diri untuk mendaftar, melaksanakan serangkaian ketentuan mulai dari penyerahan berkas, tes tulis, interview, dan pengumuman hasil.

Kegiatan itu dilaksanakan secara instan, tes tulisnya pun hanya pertanyaan-pertanyaan sederhana.

Terdapat empat alumni perempuan yang salah satunya Nabilah, serta dua alumni laki-laki yaitu Mirza dan Amad yang mengikuti rangkaian lamaran tersebut.

"Man, kamu ngelamar jadi apa?" tanya Mirza.

"OB pun jadi aku, tapi kata Pak Dijat semua udah diatur sama dia."

Mirza mengangkat sebelah alisnya, namun Aman hanya tersenyum dan menggeleng kepala.

Aman adalah teman dekat Mirza yang kebetulan sudah berteman dengannya sejak kelas tujuh SMP. Aman juga merupakan pesaing di kelas karena prestasinya kejar-kejaran dengan lima siswa berprestasi lainnya termasuk Mirza.

Aman berperawakan tinggi besar, dia adalah sosok yang menggantikan posisi Mirza di organisasi pramuka dan OSIS.

Keempat alumni putri telah selesai melaksanakan interview, Nabilah menyampaikan informasi kepada Mirza jika ia ditempatkan sebagai sekretaris kepala sekolah. Sedangkan yang lainnya ditempatkan sebagai asisten guru-guru, penerima tamu dan Sita sebagai sekretaris WAKA Kesiswaan.

"Lah?" tanya Mirza heran.

"Entah, Bilah juga heran. Padahal Bilah ngelamar jadi penerima tamu, tapi tadi disuruhnya jadi sekertaris Pak Daris," Nabilah menjelaskan keheranannya pada Mirza.

Tiba saat giliran Mirza masuk untuk wawancara, suasana tetap sama seperti biasanya. Pak Daris menyambut Mirza sebagaimana mestinya. Mempertanyakan kabar serta beberapa pertanyaan ke pada alumninya itu.

"Saya sakit, Pak. Mohon maaf dulu tidak sempat mengabari pula, kuliah juga sudah lama berhenti," ucap Mirza.

"Gini. Tes tulis kamu bagus hasilnya, tidak perlu wawancara juga kamu bakalan langsung keterima, tapi, kamu jadi OB saja, ya!" Pak Daris menegaskan.

Mirza tersenyum, ia tidak terpikirkan harus menyangkal apa dan harus merespon seperti apa. Sikapnya yang tidak enakan hanya mampu mengiyakan perintah tersebut, ia juga tidak menanyakan hal-hal yang seharusnya ia tanyakan, seperti alasan mengapa posisinya tidak sesuai dengan yang Mirza tulis pada surat lamarannya.

Setelah selesai, Mirza menghampiri Aman untuk menanyakan posisinya. Aman menjelaskan kalau dia ditempatkan sebagai pembina Pramuka. Merasa tambah heran dengan sistemnya, Iza memaksa Aman untuk menjelaskan apa yang dimaksud Aman mengenai Pak Dijat.

"Pak Dijat sudah merencanakan semua rangkaian wawancara ini, ia juga sudah mendiskusikan semuanya dengan Pak Daris. Kamu pasti ditempatkan di bagian bersih-bersih, kan? Itu karena pas kamu jadi staff tata usaha dulu kamu rajin membereskan ruangan TU," Aman menuturkan penjelasan.

"Hah? Tau dari mana?" tanya Mirza heran.

"Pas kamu ketemu sama Bu Tyas. Pak Dijat memprediksi kalau kamu bakal ngelamar lagi. Terus aku juga denger percakapan mereka, karena kebetulan juga waktu itu aku dipanggil ke sini agar aku melamar kerja di sini dan jaminan posisi terbaik. Setelah itu, aku disuruh keluar dan Pak Dijat melanjutkan ngobrolnya dengan Pak Daris dan beberapa guru termasuk si Virna."

Jantung Mirza mulai berdetak tak karuan, ia sudah tidak mampu menyaring pikirannya dan mulai berprasangka buruk terhadap semua orang di lingkungannya.

"Oke, makasih Man," ucap Mirza yang dibalas anggukan oleh Aman.

Beberapa menit berakhir, Mirza memutuskan menemui Bu Tyas, menjelaskan semua informasi yang ia dapat dan berusaha meminta jalan keluar.

"Tau gak Za? Semalam ibu habis debat sama guru-guru di grup Whatsapp perkara ibu menyarankan kamu sebagai sekretaris. Cuma malah banyak yang kontra, mereka beranggapan kalau kamu terlalu over-rated, mereka juga berpendapat bahwa seharusnya kamu memberikan yang lain kesempatan untuk bersinar. Ibu gak bisa bantu apa-apa karena debat semalam satu lawan semua guru. Terima saja! Barangkali ini yang terbaik!"

Mirza berusaha melapangkan dada dan menerima semua keadaan.

Setiap hari ia datang ke sekolah satu jam lebih awal dari murid-murid, ia membersikan seluruh ruangan di sekolah itu. Sebagian ia kerjakan saat pagi hari, sedangkan bagian yang lain ia kerjakan di sore hari. Sehingga pekerjaannya bisa lebih ringan.

Waktu terus berlalu sampai sudah berminggu-minggu ia bekerja sebagai Office Boy, ia mulai menerima profesi tersebut tanpa keluhan. Sampai pada akhirnya, gosip-gosip dari murid-murid SMKS Bakti Negara mulai terdengar. Bahwasannya, mereka menyayangkan Mirza mendapati posisi sebagai OB, padahal Mirza lebih pantas bekerja di posisi lebih baik. Tidak hanya murid-murid, warga sekitaran sekolah pun ikut menggosipkan hal yang sama sampai akhirnya gosip ini sampai ke telinga jajaran staf di SMKS Bakti Negara.

Meskipun begitu, Mirza tetap berfokus pada pekerjaannya. Sampai pada jam istirahat Mirza ... Mirza beristirahat saat jam belajar mengajar ... ia memperhatikan lapangan sekolah yang terdapat siswa kelas sepuluh sedang berolahraga.

Ia melihat antusias siswa-siswi sedang bersenam, di tengah lagu senam yang diputar, seorang siswa berlari menghampiri kerumunan tersebut. Ia adalah siswa yang telat memasuki jam pelajaran penjaskes karena harus meminjam pakaian olahraga ke pada siswa kelas lain.

Mirza hanya menatap dari ruang TU. Ia mulai syok saat melihat tindakan guru penjaskes ke pada siswa yang telat. Ia melempar buku absensi ke wajah siswa itu, kemudian ia menampar siswa tersebut sampai sempoyongan dan tergeletak.

Siswi di sana menjerit histeris dan melangkah mundur menjauhi siswa yang terlihat berdarah di bagian hidungnya.

Tanpa pikir panjang Mirza berlari ke lokasi kejadian. Membantu beberapa siswa yang berusaha mengangkat siswa korban kekerasan gurunya. Mirza mengarahkan mereka untuk ke ruang UKS, beberapa detik juga ia berkontak mata dengan gurunya.

Guru itu bernama Pak Raka, guru berusia dua puluh enam tahun dengan perawakan tinggi besar, otot-ototnya terbentuk nyaris sempurna, dan kasus seperti ini sudah berkali-kali terjadi bahkan saat Mirza masih sekolah.

Pak Raka tidak memperdulikan korban tersebut, ia bahkan menghukum siswa yang meninggalkan lapangan yang padahal mereka sedang membantu Mirza mengangkat siswa itu ke ruang UKS.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang