BAB 6

22 4 0
                                    

"Maaf, sebenernya Bapak lagi kurang sehat," ucap Pak Fakhri di sela menahan batuk.

Iza mengangguk, "maaf kalau kedatangan saya mengganggu, saya justeru sekarang bingung, soalnya kalau saya balik ke sekolah ancamannya ijazah, Pak! Kuliah saya juga akan berhenti dibiayai. Itu semisal kalau saya gak bisa nurutin permintaannya Pak Dijat, saya bingung harus bagaimana ke depannya."

Pak Fakhri mematikan rokoknya yang padahal belum dihabisakan.

"Dulu, waktu bapak masih kerja di sana, semuanya aman damai. Dulu alasan bapak ngelamar kerja di Bakti Negara karena rekomendasi temen, selain jarak yang deket juga. Kalau kamu ingin tau, dulu itu bapak orang berengsek, sering tawuran, balapan sampai bikin onar di kampung orang," ucap Pak Fakhri seraya menunjukan foto punggungnya yang dipenuhi tato. "Ini sudah saya hapus sekitar dua bulan lalu."

Suasana jadi hening kembali, Iza tidak merespon apapun selain mendengarkan saja. Rasa penasaran pun ada, namun ia memaksakan diri agar tidak mengetahui lebih jauh masalalu orang lain.

"Sebelum di Bakti Negara, gak ada yang namanya inget ibadah. Bahkan kalau jujur, dulu kerja di sana selalu malu kalo guru yang lain tiba-tiba shalat di samping tempat kerja bapak, ada yang ngajak ke mushola dan bapak paksain ikut karena ya ... Bapak muslim. Semakin hari semakin berasa diberi hidayah, setiap pagi denger siswa baca quran, dengerin kultum dan belajar bersedekah juga. Dulu masih inget waktu kamu ngaji bareng yang lain, terus kamu jalan ke depan sekolah dan ketemu Bapak, Bapak sampai heran sama bentukan kitab kertas kuning yang sama sekali Bapak gak tau itu apaan, dan pas kamu jelasin hati Bapak merasa disayat."

Pak Fakhri kembali menunjukan sebuah foto, "ini Bapak pas belajar shalat sama Pak Agus. Ini pas masih suka becandaan bareng guru-guru. Cuma ... dulu pas ada rapat guru seyayasan, Pak Agus difitnah. Beliau difitnah katanya korupsi, dan manipulasi data sekolah, tanpa bukti. Daris sama Dijat yang nuduh, parahnya lagi, Bu Sinka yang gak tau apa-apa menjadi saksi palsu dan membenarkan setiap tuduhan terhadap Pak Agus, pada akhirnya beliau dikeluarkan, bukan mengundurkan diri!"

Mirza kaget, ekspresinya berubah tegang. Tidak percaya sosok Pak Daris bisa sejahat itu, yang ia percaya adalah kejahatan Pak Dijat, karena sejauh itu Pak Dijatlah yang paling berani menunjukan cakar kotornya, sedangkan Pak Daris masih bisa dianggap baik.

Gerimis mulai turun, awan semakin menggelap dan aroma tanah semakin terasa. Kalau bisa, Mirza berharap ia pulang, ia hanya ingin ketenangan dan tidak mau terlibat di lingkaran masalah itu. Ia merasakan kebencian satu sama lain, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

Semakin jauh obrolannya, Mirza semakin merasa tidak ingin pergi ke Bakti Negara lagi. Tapi apa daya ijazahnya yang masih tertahan, ancaman itu membuatnya akan terjebak dan tidak bisa menatap masa depan.

Tidak ada satu pun ide di dalam isi kepalanya, selain itu, di era pandemi seperti saat itu akan sulit baginya mencari kerja di luaran sana.

Bagaimana pun, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah impian Mirza, dan bekerja di Bakti Negara adalah salah satu jalan agar pembiayaannya tetap lancar.

"Mirza, apapun yang terjadi, kamu sudah saya anggap adik! Kalau perlu bantuan, tinggal bilang saja! Ada satu hal yang perlu kamu tau, dulu saya pernah menelpon kamu berkali-kali, pakai nomor baru, tapi tidak ada respon, niatnya mau ajak kamu buat kerja di As-Syakur. Bapak gak ngejanjiin kamu apapun, tapi in shaa allah berkah. Soal perintah Dijat kamu tetap laksanakan, bapak gak merasa rugi dan terancam. Bapak tau kamu orang baik."

Mirza mengangguk bingung harus menjawab apa. Sekaligus dia merasa malu dengan kebiasaannya untuk mematikan notifikasi handphone dan tidak ingin merespon kontak tidak ia kenal.

Mirza kembali berpikir kalau tawaran dari Pak Fakhri adalah jalan yang aman agar Mirza tetap bisa menjalani mimpinya, seperti yang diajarkan guru ngajinya, keberkahan dari apa yang kita cari selalu lebih berharga dari apa yang dicari.

Apapun yang terjadi, Mirza harus memiliki penghasilan, tidak peduli kecil atau besar yang penting kuliahnya lancar. Lagipula Mirza masih tinggal di rumah dan masih diberi makan orang tuanya.

"Maksudnya, Pak? Saya langsung kerja di sini?" tanya Mirza.

"Iya! Pesan Bapak, seraya kamu kerja di sini dan terus melakukan apa yang Dijat perintah, kamu tetep usaha buat ambil ijazah kamu apapun yang terjadi. Kalau ijazah sudah kamu pegang, kamu gak bakalan bingung lagi kedepannya, mau kamu nyari kerja baru pun bakalan tenang. Senin depan kamu ke sini udah rapi, ya! Kamu ambil pelajaran biologi, kamu bisa ngajar langsung, Bapak percaya! Untuk gaji maaf di As-Syakur kecil, tapi kalau Mirza perlu gaji yang besar bapak tidak apa-apa kalau kamu memilih lanjut di Bakti Negara."

"Saya ambil di As-Syakur saja, Pak! Terima kasih, semoga saya bisa melaksanakan amanah ini."

Tanpa berpikir Mirza langsung menyetujui tawaran itu. Menjadi guru adalah cita-citanya, dan senin depan cita-cita itu akan terwujud. Meskipun impiannya adalah menjadi guru seni, tapi tidak apa-apa untuk Mirza yang memiliki wawasan lebih di setiap mata pelajaran selain pelajaran olahraga.

"Assalamualaikum," ucap gadis kecil berusia sekitar enam tahun, pakaian seragam PAUD-nya sedikit basah karena gerimis. Disusulnya Adi dari belakang. Gadis itu menyalami Pak Fakhri, ia menatap Mirza heran.

"Abang Iza, cium tangan dulu sama bang Iza!" perintah Pak Fakhri kepada puterinya.

Gadis kecil itu mengulurkan tangan, setelah itu ia berlari menuju suatu ruangan yang entah ruangan apa.

"Adi, motor jangan dulu dikeluarkan, antar Mirza pulang nanti! Eh, ada yang mau diobrolkan lagi?" tanya Pak Fakhri.

Mirza menggeleng kepala, "tidak, Pak. Kalau begitu saya pamit."

"Maaf Za, soalnya mumpung ujannya reda, biasanya kalau sore ujan bakalan deres, takutnya gak ada yang bisa nganter," Pak Fakhri beranjak dari tempat duduknya, "sebentar!" Pak Fakhri segera membawa dua buah buku di dalam lemari yang kebetulan dekat dari tempat duduk. Diberikannya buku biologi kepada Mirza untuk bahan mengajarnya minggu depan. "Kamu belajar ini, ya! Hati-hati di jalan!"

"Baik, Pak terima kasih."

Mirza segera mengulur tangannya untuk bersalaman dan berpamitan. Dilihatnya Adi sudah bersiap mengantarkan Mirza untuk pulang ke rumah.

"Ayo, Za!" perintah Adi.

Setelah semua siap, Adi menyalakan motornya dan mengendarainya perlahan karena jalanan sangat licin dan berlumpur.

"Kamu, kerja di Pak Fakhri?" tanya Adi sembari sesekali menengok ke arah belakang.

"Iya bang, doain, ya!"

"Abang juga, jadi guru olahraga," balas Adi.

Keduanya terus membahas mengenai pekerjaannya di SMA As-Syakur, sampai tak terasa sudah sampai di tujuan.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang