Angin berhembus kencang, di musim ini warga desa sudah melakukan kebiasaan membuat kincir angin besar dan didirikan di pesawahan. Tinggi menjulang hampir tujuh meter ketinggiannya, lebar kincir yang terbuat dari bambu itu pun hampir mencapai satu setengah meter.
Suara khas kincir angin sampai ke telinga Mirza, ia sedang duduk sendirian di koridor kelas, hari itu tidak ada satu pun siswa yang sudah hadir. Sekolah As-Syakur yang berdiri di antara pesawahan menyuguhkan pemandangan asri dan indah, pegunungan dan kawasan hutan nampak berada di ujung pandang.
SMA As-Syakur yang baru saja berdiri dengan jumlah siswa aktif di angkatan pertama adalah delapan siswa, lima siswa perempuan dan tiga siswa laki-laki.
Mirza masih ingat saat pertama kali masuk mengajar, ia harus menunggu di luar kelas sampai satu jam lamanya, hal ini dikarenakan salah satu siswa mengunci pintu dari dalam, apa daya Mirza tidak sedikit pun tersulut emosi dan tidak mampu bersikap tegas ataupun marah. Mirza hanya meminta siswa perempuan membukakan pintu untuknya, sampai akhirnya pintu dibukakan.
Waktu Mirza memperkenalkan diri dan menyebutkan kampung dia tinggal, salah satu murid mengangkat tangan dan mulai bertanya. "Pak, tau Miftah? Dia juga asal dari kampung yang sama, temen pesantren yang mondok."
Mirza tersenyum, "dia kebetulan adik saya, saya juga awalnya mau pesantren, tapi karena rezekinya di sini jadi saya lanjut kuliah."
Semenjak mengetahui siapa sosok Mirza, anak-anak itu mulai akrab dengannya. Bahkan menjadi guru mata pelajaran paling ditunggu-tunggu. Setiap jadwal Mirza mengajar, selalu ada siswa yang menawarkan diri untuk mengantar jemput.
Setelah berminggu-minggu melewati masa belajar mengajar yang monoton, tidak ada perkumpulan guru, bahkan Mirza merasa kalau dia sendirian yang mengajar di sana. Jarang terlihat ada guru yang menetap di sekolah, kadang setelah mengajar langsung pulang.
Meskipun begitu, dia tetap menjalankan amanahnya.
Setelah waktu pulang tiba, mirza akan langsung bergegas menuju kampus. Terlebih hari itu hari pertamanya mengikuti ujian tengah semester di jenjang perkuliahan.
Semua telah Mirza persiapkan, termasuk hafalannya.
Mirza menghela napas lembut, berdoa agar ujiannya dilancarkan. Soal demi soal mencoba dikerjakan, waktu yang disediakan sekitar enam puluh menit masih tersisa panjang.
Lima belas menit berlalu, tiba-tiba mahasiswi senior mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. Mirza acuh karena ia fokus pada lembar ujiannya, meskipun sesekali ia melihat senior itu sedang membicarakan sesuatu ke pada dosen.
"Fathur Mirza! Mahasiswa atas nama Fathur Mirza?" tegas Pak Dosen.
Mirza mengangkat tangan.
"Silahkan untuk ke ruang kantor! Bareng Kak Amelia, ya!" perintahnya.
Mirza mengiyakan, ia meninggalkan lembar ujiannya di atas meja, ia segera berjalan menuju luar ruang kelas bersama kakak tingkatnya. Selama perjalanan, Mirza sangat ingin menanyakan perihal apa ia dipanggil ke kantor pada Amelia, namun karena jarak dari kelas Mirza ke kantor hanya menuruni tangga saja jadi rasa penasaran itu tak sempat ia tanyakan.
"Silahkan! Saya cuma disuruh buat manggil kamu aja dan nganter ke sini, semoga kabar baik yang menanti kamu, ya!" ucap Amelia.
Mirza berterima kasih, kemudian ia masuk ke ruang kantor. Didapati di sana ada satu orang laki-laki paruh baya dan seorang wanita dengan hijab sar'inya.
"Assalamualaikum," ucap Mirza.
Kedua orang itu menjawab salam, kemudian mempersilahkan Mirza duduk dan mendengar penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG UNTUK PULANG
General FictionSejak mengetahui rahasia yang disembunyikan tempat kerjanya a.k.a sekolahnya, Fathur Mirza atau yang kerap disapa Iza ini mulai dihantui mimpi buruk. Sejak saat itu, hatinya mulai but4 dan membuatnya semakin naif. Mimpi-mimpi yang ia bangun mulai r...