Jarum jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Namun, Mirza masih mengurung diri, matanya sembab, mukanya lusuh.
Jendela kamar terbuka selebar jari, mempersilahkan cahaya matahari menyapa sedikit bagian tubuh Mirza.
Sejak kejadian itu, Mirza tidak berani keluar dari rumah, bahkan untuk ke luar kamar pun ia berpikir berkali-kali. Rutinitas makan bersama pun kerap ia lewati, atau memilih makan sendiri di dalam kamarnya.
Tidak satu pun dari anggota keluarganya yang ingin mengusut penyebab Mirza mengurung diri, bahkan Mirza sendiri enggan terbuka dengan alasan tidak ingin keluarganya sakit hati.
Teman-teman sekolahnya hampir tidak peduli dengan kejadian yang menimpa Mirza, atau sekedar bertanya 'ada apa?' pun tak pernah Mirza terima. Mirza hanya bisa meratapi dan menyaksikan dirinya dengan mental yang mulai berantakan.
Mirza mengambil handphone-nya, mengirim banyak pesan yang ia tujukan ke pada Humaira, mencurahkan tentang betapa hancurnya ia saat ini.
'Kamu minta maaf atas kesalahan yang tidak kamu lakukan?'
Humaira bertanya. Terlihat ia kembali mengetik pesan untuk Mirza.
'Kamu tidak berhak meminta maaf atas itu! Justeru dengan kamu melakukan hal itu, kamu sama dengan membenarkan tuduhan mereka, dan mereka semakin yakin bahwa kamu salah dan mereka benar.'
'Aku yakin kamu gak bisa terima perlakuan mereka. Tapi aku berharap kamu bisa menerima diri kamu sendiri, mulai terbuka dan mulailah pada lembaran baru!.'
'Ah, sepertinya jika aku yang berada di posisi kamu, aku gak bakal kuat. Sejauh ini kamu mampu bertahan, dan kamu punya banyak kesempatan untuk menjadi lebih baik, kan?'
'Coba renungkan! Kamu seperti itu terus gak bakal ngebuat keadaan baik-baik saja, kan? Jadikan pembelajaran dan motivasi untuk menjadi lebih baik!'
Mirza membaca pesan pesan yang masuk, ia tidak menyangkal dan berusaha merenungkan.
Mirza membalas pesan itu dengan singkat, berupa ucapan terima kasih beserta doa untuk Humaira.
Layar handphone-nya mulai ia geser, membuka aplikasi Facebook dan mulai mencari lowongan pekerjaan baru untuknya.Ia sadar tentang keadaannya yang belum benar-benar berubah. Namun, meratapi saja tidak membuat semuanya kembali seperti semula.
Tidak sampai satu jam lamanya Mirza menemukan beberapa lowongan pekerjaan di Kabupaten Garut dan Kota Bandung. Ia memilah satu persatu dari info-info yang ia dapat.
Mirza bergegas menghampiri ibunya yang kebetulan baru pulang dari kebun. Kemudian mereka duduk di teras rumah seraya menikmati hembusan angin.
"Mah, aku boleh gak ngelamar kerja di sini? Ini di Garut Selatan, alamatnya sudah aku simpan di google map, gak terlalu jauh, mungkin cuma naik angkutan umum dua kali saja. Tapi, di sini katanya ada penginapan khusus karyawan laki-laki juga, jadi gak perlu bolak-balik naik angkot atau ngekos."
Ibu Mirza menghela nafas, keringatnya bercucuran membasahi kening, wanita berusia enam puluh tahunan itu meneguk air putih dengan sedikit susah payah.
"Kamu gak papa, kan? Selagi kamu sehat dan bahagia, mamah ngizinin kamu. Kapan berangkatnya?"
"Kata dari kantor lusa bawa dokumen yang sudah disiapkan dan harus siap dilatih lapangan, jadi nanti langsung wawancara dan tes lapangan."
Mirza membawa peralatan yang ibunya bawa dari kebun ke dalam rumah. Saat ia hendak kembali duduk bersama ibunya, tiba-tiba wanita itu berdiri.
"Ibu ada urusan sebentar, kamu siapin aja semua dokumennya! Ini uang buat kamu untuk beli ini itunya," ucapnya seraya memberikan beberapa lembar uang.
"Iya, Mah. Terima kasih," balas Mirza dengan nada yang memudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG UNTUK PULANG
Fiksi UmumSejak mengetahui rahasia yang disembunyikan tempat kerjanya a.k.a sekolahnya, Fathur Mirza atau yang kerap disapa Iza ini mulai dihantui mimpi buruk. Sejak saat itu, hatinya mulai but4 dan membuatnya semakin naif. Mimpi-mimpi yang ia bangun mulai r...