BAB 9

10 2 0
                                    

Setelah berpikir beberapa hari lamanya, Iza mulai memberanikan diri untuk membicarakan niatan ke pada guru ngajinya.

Karena jarak tempuh menuju tempat ngaji adalah dua kali lebih jauh dari rumah ke SMKS Bakti Negara. Maka Iza mempersiapkan diri satu jam sebelum waktu maghrib. Selain agar bisa melaksanakan shalat maghrib berjamaah, ia juga berniat untuk mendiskusikan niatannya ke pada temannya terlebih dahulu sekaligus meminta agar ia ditemani sewaktu meminta izin pada Abah haji, panggilan kepada sang guru ngaji.

Iza menyalami tangan kedua orang tuanya, meminta doa restu supaya ia dilancarkan dan dimudahkan urusannya dalam menimba ilmu.

Matahari mulai tenggelam, cahayanya mulai menguning menerpa bumi dengan hiasan langit yang jingga.

Warga mulai menghentikan aktifitasnya, termasuk anak-anak yang masih asik bermain layangan di perkebunan sawi.

"A Iza, ngaji?" teriak seorang anak saat melihat Iza berjalan di antara mereka.

Iza hanya mengangguk seraya tersenyum.

Tangan kanannya memeluk buku-buku, kitab, dan al-quran, sedangkan tangan kirinya mengangkat sarung bagian bawah sampai setengah betis agar sarungnya tidak terkena rerumputan yang kotor karena lumpur.

Langkahnya mulai memasuki area jalan raya, yang berarti beberapa langkah lagi ia akan melewati SMKS Bakti Negara.

Terlihat di pandangan Iza seseorang melambaikan tangan, menyeru agar ia dapat segera menemuinya.

Sosok lelaki berseragam biru muda, tingginya hampir sama dengan Iza, ia adalah guru SMKS Bakti Negara yang baru beroperasi selama dua tahun. Iza kenal betul dengannya, sosoknya yang humble membuat murid-murid tak segan jika berbicara dengannya, beliau juga merupakan mahasiswa semester lima.

Iza mempercepat langkahnya menuju gang besar milik sekolah yang sedang dibangun sebuah gerbang.

"Ngaji?" tanya Pak Arya, lelaki yang tadi memanggil Mirza.

Mirza mulai bersalaman layaknya murid kepada guru. "Iya, Pak. Belum pada pulang?"

"Belum. Mir, kenapa gak masuk kerja lagi? Bukannya kamu udah terdata sebagai pegawai tetap di sini, ya? Lagian kok keluar gak bikin surat resign dulu, kemarin dibahas loh sama kepsek perkara kinerja kamu."

Mirza mengerutkan dahinya, ia mengingat kembali bahwa tiga bulan lalu Pak Dijat menyuruhnya untuk tidak bekerja di SMKS Bakti Negara lagi, dan ditugaskan untuk memata-matai SMAS As-Syakur. Tetapi dia juga ingat kalau tidak semua guru tahu soal tugas tersebut, akhirnya Mirza tutup mulut soal tugas tersebut.

"Saya sakit, Pak. Saya juga lupa buat kasih kabar ke sekolah, kayaknya saya gak bakalan lanjut untuk kerja di sini. Saya mau fokus ngaji, Pak. Mohon maaf, kalau Bapak berkenan, tolong bantu sampaikan pada Pak Daris dan Pak Dijat, ya! Sebelumnya terima kasih juga."

Pak Arya mengangguk seraya mengiyakan permintaan Mirza.

Sedetik setelah itu, Mirza melihat mobil Pak Fakhri melewati dia dan Pak Arya. Kaca mobilnya terbuka, saat tepat di depan Mirza, mobil itu melaju perlahan, Pak Fakhri membunyikan klakson mobil dan melempar senyum kepada Mirza. Tak sempat Mirza balas mobil itu sudah melaju meninggalkan tempat ia berdiri.

Hari mulai gelap, azan maghrib pun sudah saling bersautan antara kampung satu dengan kampung lainnya.

Mirza segera bergegas menuju madrasah untuk menyimpan perlengkapan ngajinya, kemudian pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah.

Waktu berjalan seiring dengan aktifitas di sana, mulai dari setoran bacaan al-quran, kitab kuning, serta hafalan surat-surat pendek.

Tiba gilirannya Mirza, tiba-tiba terjadi pemadaman listrik serentak di dua desa. Ruangan menjadi gelap dan hanya menyisakan bayangan-bayangan yang buram.

Abah yang saat itu berhadapan dengan Mirza menyalakan lampu gantung yang biasa beliau bawa untuk menerangi al-quran yang santrinya baca.

Sosok pria yang sudah masuk usia lanjut itu seringkali membawa lampu tersebut untuk menerangi al-quran yang santrinya baca meski ruangan sedang keadaan terang sekalipun.

Lampu itu menyala di antara Abah dan Mirza. Meskipun cahayanya tidak sampai menerangi satu ruangan.

Suasana tetap hening, Iza tidak bisa memulai membaca al-quran karena ia takut Abah tidak bisa mengoreksi apa yang Iza baca di kondisi gelap.

"Mirza, ngaji itu harus lama waktunya, gak cukup setahun dua tahun. Kamu gak cukup nyari ilmu agama hanya sampai kamu bisa alif ba ta! Kamu betah di sini, kan?"

Mirza tetap menundukkan kepalanya.

"Betah Abah Haji alhamdulillah, tapi saya sebenarnya mau bilang juga, saya ... berniat pesantren. Mungkin sekitar satu minggu lagi, maaf Abah, saya meminta restu untuk diizinkan, barangkali Abah Haji merestui," ucap Mirza gelagapan.

Abah menghela napas halus, menatap Mirza dengan tenang, kemudian menutup mata sekejap.

"Abah merestui, kamu ngaji di mana pun sama saja. Tapi ingat! Jangan melakukan hal besar kalau hal kecil belum kamu lakukan. Bahkan ketika kamu tahu shalat itu wajib, ada kalanya hal wajib itu harus ditinggalkan, atau bakalan jadi celaka kalau memaksa untuk dilaksanakan, dosa lagi. Kamu paham?"

Mirza menggeleng kepala, kemudian mendengarkan kembali nasehat guru ngajinya, bersama dengan santri dan santriwati lainnya yang berada tepat di belakang Mirza.

"Contohnya, shalat itu wajib, tapi haram bagi wanita yang sedang haid. Maka tunggulah waktu haid itu selesai sampai ia menjadi suci, baru ia bisa melaksanakan kewajiban shalatnya. Atau contoh kecilnya, kamu mau shalat isya tapi perut kamu kosong, sedangkan kamu sudah menyiapkan makan malam. Maka hendaklah kamu makan malam dulu, karena shalat dalam keadaan lapar dan pikiran yang gak fokus gegara mikirin hidangan makan malam tadi, itu gak baik hukumnya. Semoga kamu paham sama apa yang Abah sampaikan. Ingat! Kalau nimba ilmu itu gak sampai kamu bisa baca tulis ngitung saja. Yang terpenting itu, kamu paham apa yang sudah tertera dalam al-quran, segalanya ada di sana!"

Mirza mengangguk dan berterima kasih, ia menyimpulkan bahwa guru ngajinya tidak mengizinkan ia untuk berpindah ke pesantren yang lebih besar. Ia merasa ia harus menetap di sana sampai mendapatkan apa yang akan menjadi bekal di luaran sana.

Pemadaman listrik masih belum berakhir. Santri dan santriwati akhirnya dipulangkan karena kegiatan mengaji malam itu tidak bisa dilaksanakan.

Santriwati pulang terlebih dahulu karena keluarganya sudah lebih awal menjemput. Sedangkan santri putra duduk di madrasah sembari mengobrol dan bercanda menunggu listrik menyala.

"Za. Tadi Abah ngomongin apa aja?" tanya Ripal.

"Banyak. Tadinya aku mau ngobrolin ini sih, cuma kamu loh kesiangan datengnya."

Ripal yang merupakan sahabatnya di pengajian hanya tertawa dan meminta maap. Kemudian ia menawarkan diri untuk mengantarkan Mirza pulang menggunakan motornya karena malam sudah mulai larut.

Tanpa basa-basi Mirza pun bersedia.

•°0•S•0°•

Pagi harinya, Mirza mendengar kabar jika terjadi penebangan liar di salah satu desa yang mengakibatkan kabel-kabel tiang listrik banyak yang terputus.

Berita yang disampaikan oleh kakak perempuannya itu didapat dari informasi warga saat ia belanja di warung.

Di waktu yang bersamaan, saat Iza dan keluarganya berkumpul di pagi hari untuk menyantap gorengan, Iza memberanikan diri untuk membicarakan kejadian tadi malam.

Respon tak terduga dari kakak perempuannya saat Iza selesai berbicara.

"Itu tandanya kamu santri spesial. Lihat temen-temen kamu, bahkan adik aja yang pindah gak sampai dicegah, kan? Mungkin aja ada hal yang belum beliau sampaikan ke kamu tapi belum tepat waktunya atau ada hal yang harus kamu kuasai, wallahua'lam. Kamu musti tetep di sana dulu aja!" ucap Kakak Perempuan Mirza, terlihat air matanya terbendung.

Mirza tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi ia hanya bisa mengiyakan apa yang keluarganya sarankan kepadanya.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang