BAB 29

1 1 0
                                    

Hari ke tiga bekerja, Mirza terlihat sangat tidak bersemangat, ia bahkan berkali-kali melakukan kesalahan. Beberapa karyawan memperhatikan dan memberikan penilaian bahwa jika Mirza ditempatkan di bagian kasir maka Mirza akan melakukan banyak kesalahan.

Argumen tersebut Mirza bantah, ia merasa hari itu sedang tidak baik-baik saja, sehingga fokusnya dalam bekerja berkurang.

Mirza mengambil waktu istirahatnya di waktu isya, jam istirahat di tempat kerja Mirza memang tidak serentak, melainkan bergiliran, lama waktunya adalah lima belas menit untuk beribadah dan tiga puluh menit untuk istirahat dan makan.

Di lantai tiga, selepas menuntaskan ibadah sholat isya, Mirza menatap ke luar jendela, dilihatnya jalan raya yang dipadati pengendara roda empat, ia juga melihat ruko-ruko lain yang berjejer di kiri-kanan ruko tempat dia bekerja.

Mirza menoleh ke arah belakang lantai tiga, ia penasaran dengan tangga yang menuju atap ruko. Ia bergegas keluar dari ruangan untuk menuntaskan rasa penasarannya.

Sesampainya di atap ruko, Mirza hanya mendapati sedikit ruang untuk duduk, di bagian atas ruko hanya terdapat tempat penampungan air saja. Namun, ada hal yang membuatnya takjub, di sana ia bisa melihat taburan bintang-bintang di langit, ia juga bisa melihat gedung-gedung yang tinggi. Mirza melihat satu masjid kecil yang berada di belakang ruko, di sana terdapat banyak anak yang baru pulang seraya memeluk al-quran dan menenteng sajadah, hal itu membuat Mirza bernostalgia dengan kampung halamannya.

Mirza bergegas turun untuk mengambil handphone dan segera makan.

Meskipun Mirza kerja di restoran, ia tidak bebas untuk makan apa saja yang ada di sana. Di jam istirahatnya, ia harus membeli makan ke luar, namun, hari itu ia memutuskan untuk memakan sisa makanannya tadi pagi.

Mirza membuka aplikasi whatsapp mengecek beberapa pesan yang masuk. Ia kaget, banyak teman-temannya yang mengabari Mirza dan berujung minjam uang, Mirza tidak segan membalas 'tidak' yang pada akhirnya Mirza dicap sebagai orang sombong oleh teman-temannya.

Makanan sisa yang hanya sedikit itu telah Mirza habiskan dalam waktu singkat, ia bergegas mencuci tangan dan piring bekasnya. Tiba-tiba handphone-nya bergetar, Mirza bergegas untuk mengangkat telepon yang masuk.

"Halo, Assalamualaikum," ucap Mirza.

"Waalaikumussalam, Mirza gimana kabarnya? Betah gak di sana?"

Air mata Mirza berderai mendengar suara ibunya, ia tak segan mengeluarkan air mata untuk melepas kerinduan yang selama itu membuatnya terbelenggu.

Suara dari perempuan paruh baya itu seakan hal magis yang membuat Mirza jatuh ke alam bawah sadar.

"Aku baik. Aku juga betah. Ibu bagaimana kabarnya?" jawab Mirza menahan lirih.

Tidak ada jawaban dari ibunya, ia hanya mendengar suara bisik-bisik dari sebrang telepon.

Kiranya, Mirza mendengar kalau ibunya tidak sanggup berbicara lewat telepon, bahkan Mirza mendengar isak tangis sang ibu.

"Syukur kalau kamu betah," jawab kakak perempuan Mirza mengambil alih telepon. "Bagaimana kuliahmu, Za?" lanjutnya bertanya.

Waktu seakan terhenti. Mirza mematung tidak tahu apa yang harus ia jawab. Ia bahkan belum mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang seharusnya akan tertuju padanya.

Matanya yang sudah merah karena kerinduan pada sang ibu kini melotot kebingungan.

"Za?" pertanyaan itu menyadarkan Mirza.

"Kuliahku masih tahap tes, doakan saja, ya!" ucap Mirza. "Aku ada kerjaan dulu, aku tutup telponnya, ya. Wassalamuaikum."

Telepon terputus setelah Mirza mengucapkan salam.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang