BAB 18

6 1 0
                                    

Beberapa detik yang hening kembali riuh dengan sambutan-sambutan Idul Fitri.

Anggota keluarga Mirza masih membahas soal keputusan masa depannya. Pada akhirnya, sang ibu menjadi luluh dengan keyakinan yang ditularkan oleh anggota keluarga yang lain.

Hari dan tanggal sudah ditentukan, bahkan ibunya lebih depan dalah hal mempersiapkan.

Mirza mengabari Andrik jika dirinya sudah mendapatkan izin untuk merantau, tetapi saat itu Andrik hanya membaca pesan Mirza. Karena ingin kepastian, Mirza mengiriminya pesan lagi.

'Gak jadi ke sini pun gapapa,' balas Andrik singkat.

Jiwa Mirza hancur separuh, dia kali ini khawatir atas keberangkatannya beberapa hari lagi. Tiket kereta sudah dipesankan, semua persiapan pun sudah tinggal bawa.

'Aku sudah ada ganti kamu buat gabung bisnis papaku, kamu gak pernah ngerti dan kamu bukan bagian dari kami.' kata Andrik meneruskan.

'Maksud?' tanya Mirza.

'Tidak. Aku hanya becanda, kalau mau ke sini, ya kesinio!'

Mirza berpikir dua kali mengenai keberangkatannya, ia tidak akan membatalkan tapi dia memiliki rencara.

Mirza menelpon temannya yang kebetulan baru pulang dari Surabaya mengikuti event mendaki gunung pemuda Indonesia. Mirza meminta salah satu kontak dari kenalan Aldo, temannya.

Aldo menjelaskan, bahwa di Surabaya terdapat seorang perantau dari Bandung bernama Asir. Asir berusia dua puluh empat tahun dan sudah tinggal di Surabaya sejak lima tahun yang lalu.

Selain itu, Mirza meminta Aldo untuk menjelaskan ke pada Asir mengenai Mirza, dan meminta bantuan saat ia merantau nantinya. Meskipun akan merepotkan, tapi Mirza perlu jaga-jaga seandainya nanti Andrik tidak ada di sana. Lagian, tujuan utama Mirza adalah kuliah, bukan untuk bertemu Andrik. Bahkan mengenai bisnis orang tua Andrik pun Mirza tidak peduli dikarenakan tidak ada penjelasan apapun saat Mirza bertanya mengenai hal itu.

Mirza berterima kasih pada Aldo atas segala bantuannya.

Kemudian Mirza bergegas menuju puskesmas untuk melaksanakan vaksin Covid-19 yang ke tiga kalinya. Serta membeli banyak barang yang akan ia bawa nantinya.

Menjelang malam setelah semua persiapan matang, Ibu menghampiri Mirza yang tengah asik bermain game, ia meminta pada anaknya untuk meletakan ponselnya.

"Dengerin Ibu! Jangan pernah membuat masalah dengan siapapun di sana, tetap kabari orang rumah apapun yang terjadi! Ibu bawakan ini buat kamu, Ibu yakin ini akan kamu perlukan nanti."

Mirza menatap dua tas kecil, saat ia membukanya, dilihatnya jarum jahit, benang berwarna putih dan hitam, kancing baju, gunting kecil, tambang kecil, alquran, tasbih, dan sejadah. Sedangkan tas satunya adalah kue-kue lebaran. Mirza berterima kasih.

Dua hari sebelum keberangkatan, Mirza akan bersiap untuk pergi ke Bandung dikarenakan KAI menuju Surabaya belum tersedia di Garut. Tiket KAI pun sudah dipesankan untuk Mirza oleh Hafid.

Keberangkatan yang penuh haru, ia melihat Ibunya menangis bahkan sampai berkali-kali memeluk Mirza. Ia juga melihat bapaknya meneteskan air mata, padahal ia sangat jarang sekali berkomunikasi dengan beliau.

Bagaimana pun, keputusan Mirza sudah bulat, semua sudah tertata sesuai rencana.

Asir pun sudah mulai akrab dan membuka pintu lebar untuk kedatangan Mirza.

Di perjalanan menuju Bandung. Mirza merasakan pahitnya perasaan meninggalkan, ada rasa kecewa pada keputusan-keputusan yang sudah ia buat, ragu tapi harus dijalankan demi membuktikan kalau Mirza yang lahir dari keluarga tidak berpendidikan bisa mencapai perguruan tinggi.

Mirza yang selalu antusias dengan pemandangan kota, kini nyalinya ciut, ia hanya melamuni banyak hal.

Waktu begitu cepat, sesampainya di Kota Bandung, Hafid menyambung baik kedatangan Mirza. Ia mengambil semua tas yang akan Mirza bawa, tidak lupa juga Hafid menghidangkan nasi goreng dengan ayam bakar untuk Mirza. Bahkan untuk beberapa hari kedepan, Hafid memberikan makanan-makanan mahal pada Mirza.

"Jika nanti kamu banyak makan yang enak di sana, kamu bakalan inget juga, betapa susahnya Ibu memberi kita makanan, meskipun cuma kadang kita makan nasi dengan garam, tapi apa kamu gak inget sama Ibu waktu kamu makan enak kayak tadi?" tanya Hafid.

"Cuma mau bilang, jangan lupa arah jalan untuk pulang! Banyak kota yang ingin kamu tuju, banyak mimpi yang akan kamu bangun, tapi istanamu adalah tempat kamu dilahirkan, 'kan? Inget juga! Kita harus punya mimpi agar atap rumah Ibu tidak bocor lagi, kasihan Ibu selalu kewalahan kalau ujan deras," sambung Hafid menjelaskan.

Mirza merenungi apa yang ia dengar.

Hafid membaringkan diri, ia meminta  Mirza untuk segera tidur, besok adalah hari keberangkatan Mirza.

Mirza tidak bisa terlelap, ia khawatir, tapi ia pun bingun khawatir untuk apa.

Keesokannya, Mirza bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat ke Stasiun Kiaracondong, Bandung.

Ia menunggu jadwal keberangkatan satu jam sebelumnya, sehingga ia harus menunggu terlebih dahulu, beberapa menit sebelum KAI yang ia tumpangi berangkat, semua penumpang menjalani proses pemeriksaan identitas serta cek suhu badan karena saat itu virus Covid-19 belum mereda.

Mirza memperlihatkan tiket dan Kartu Tanda Penduduk. Suhu tubuh Mirza pun normal.

Beberapa penumpang dipisahkan karena tidak memiliki keterangan sudah vaksin di tiket KAI-nya.

Mirza bergegas memasuki KAI dan mencari kode tempat duduknya, Mirza merasakan hawa dingin dari AC, ia juga sempat melihat Hafid dari kaca jendela KAI. Saat kereta berjalan, Hafid masih tetap setia melihat keberangkatan adiknya.

Itu adalah kali pertama Mirza naik kereta api. Mirza melihat kiri-kanan, penumpang KAI begitu hening, semua penumpang memakai masker wajah dan hampir sebagian dari mereka memegangi hand sanitizer.

Fokus Mirza teralihkan ke pada perempuan di depannya, ia nampak kewalahan oleh batita laki-laki yang ia pangku. Batita itu terus merengek, ia ingin lepas dari pangkuan sang penjaga dan ingin berlari-lari di dalam kereta.

"Anaknya, mbak?" tanya seorang penumpang.

"Bukan, Bu. Ini ponakan saya, kakak saya ... Emm ibunya meninggal, ini saya mau berangkat ke Surabaya mau ke ipar saya, katanya dia mau urus."

Tiba-tiba wanita itu tersenyum tetapi dibarengi air mata yang menetes. Mungkin beberapa penumpang mendengar curahan hati perempuan itu. Batita itu lepas dari pangkuannya, terlihat ia sangat senang berlari ke sana ke mari.

"Dede, jangan lari-lari! Ini miminya," ucap perempuan itu seraya menunjukan botol dot berwarna biru berisi seperempat air susu.

"Susu formula?" tanya seorang Ibu.

Perempuan itu hanya mengangguk.

Mirza tertegun atas kejadian barusan, dalam pikirannya, ia tidak akan mampu untuk kehilangan ibunya, tapi dia malah menjauhkan diri dari ibunya. Batita itu mungkin masih bisa bersenang-senang dan berlari-lari, karena dia belum mengerti arti dari hilang yang sesungguhnya. Tapi bagai mana dengan Mirza yang sudah sembilan belas tahun bergantung pada ibunya?

Kereta Api berhenti di setiap stasiun, perempuan itu masih kewalahan dengan tingkah keponakannya, sampai akhirnya beberapa penumpang yang sepertinya satu rombongan rela bertukar kursi dengan perempuan itu. Mereka memperlihatkan video baby shark pada batita itu, sehingga batita itu tenang bahkan sampai terlelap.

Perjalanan menuju Stasiun Gubeng Surabaya tinggal beberapa menit, Mirza mengabadikan moment itu.

Waktu sudah larut malam. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua belas jam itu membuat Mirza kecapekan, badannya pun merasa pegal-pegal.

Mirza mengabari Andrik, ia menerima perintah untuk melakukan apa saja di sana, mulai dari mengunduh aplikasi untuk pesan ojek sampai disuruh ke tempat penginapan area gubeng.

'Kamu masuk aja ke penginapan itu dan bilang atas nama Andrik. Aku udah pesankan buat kamu. Maaf aku gak bisa nyambut kamu.' kata Andrik menjelaskan.

Sebelum berangkat, Mirza juga mengabari Asir, tetapi pesan itu tidak tersampaikan, mungkin Asir sudah tidur karena sudah larut malam.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang