BAB 5

29 6 0
                                    

Sehari setelah perintah Pak Dijat, Mirza segera melaksanakan apa yang telah diintruksikan kepadanya. Meskipun niatnya masih belum bulat, pun keraguan yang senantiasa menghantui setiap langkah menuju rumah Pak Fakhri.

Keraguan itu timbul karena Mirza tahu sosok Pak Fakhri itu seperti apa.

Pak Fakhri memperkenalkan dirinya sebagai sarjana biologi, tetapi dia menegaskan bahwa dia belajar ilmu psikologi lebih dalam dibanding dengan biologi itu sendiri. Hal ini menyebabkan siswa SMKS Bakti Negara sangat menjunjung tinggi nama Pak Fakhri karena pengertiannya terhadap siswa yang begitu intens.

Tidak jarang masalah yang dialami siswa baik itu di sekolah, rumah, atau lingkungan lainnya Pak Fakhri turun tangan apabila siswa meminta bantuan. Jadi tidak heran apabila beliau sangat dekat dengan siswa dan keluarga siswa, bahkan hampir semua orang tua mempercayakan anaknya kepada Pak Fakhri.

Hal yang realistis pada kehidupan adalah ketika kita dijunjung tinggi, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada orang yang tidak menyukai itu.

Selain disebut sebagai Bapak Psikologi, Pak Fakhri juga kerap disebut dukun peramal. Sebagian siswa menyebutkan bahwa Pak Fakhri didampingi sosok yang membuatnya bisa membaca isi pikiran orang lain termasuk masalah apa yang dialami orang tersebut.

Prediksi yang selalu tepat dan kadang tidak masuk akal membuatnya mendapat apresiasi dan ujaran kebencian secara bersamaan.

Mirza sendiri berada di pihak netral yang kadang labil.

Isi kepala Mirza mulai 'tak karuan, ia memikirkan kalimat apa yang cocok dan gestur seperti apa yang harus ia tunjukan nanti. Meski pada kenyataannya Mirza juga sadar hal ini akan diketahui.

Rumah Pak Fakhri sudah nampak di depan mata, tinggal beberapa meter Mirza akan segera menemui sosok Pak Fakhri.

Beberapa menit setelah itu, Mirza menatap seseorang telah menunggu di depan gerbang rumah Pak Fakhri, tidak lain dan tidak bukan itu adalah Adi. Adi adalah teman seangkatan dengan Mirza, umurnya tiga tahun lebih tua dari Mirza.

Sedikit cerita, Adi adalah tulang punggung keluarganya, semasa sekolah dia sering meninggalkan jam pelajaran untuk bekerja membantu pamannya. Dia juga sering dipergoki merokok di kelas secara terang-terangan. Dia memiliki bakat di bidang seni musik, namun bakatnya terkubur karena kenakalannya.

Hal yang paling fatal adalah ketika ditemukan botol miras di kelas Mirza, saat satu kelas disidang oleh seluruh guru, tidak ada satu pun yang mengaku.

Tidak ada yang tahu siapa pengguna minuman keras tersebut, sampai akhirnya Adi mengakui hal yang belum pasti dia yang melakukannya, karena botol miras itu ada sejak pagi hari dan di hari kemarin Adi tidak masuk sekolah, sangat tidak mungkin kalau itu miras bekas Adi.

Saat itu Pak Dijat menampar Adi tanpa diberikan kesempatan untuk berbicara, bahkan Adi diseret paksa ke kantor polisi dengan membawa bukti botol miras.

Saat itu, satu-satunya orang yang membela Adi adalah Pak Fakhri, sampai beliau membela Adi mati-matian sampai akhirnya kasusnya tuntas.

"Za, apa kabar?" tanya Adi.

Iza tersenyum menyapa, "baik. Bang Adi gimana kabarnya?"

"Baik juga," balas Adi.

"Bang Adi, Pak Fakhrinya ada? Aku ada perlu, tapi tolong temankan, ya!"

Adi melepas cangkul yang ia genggam, rutinitasnya setiap pagi adalah mengurus kebun di samping rumah Pak Fakhri dan membantu mengurus domba, Adi juga sudah dianggap anak oleh keluarga Pak Fakhri.

"Pak, ada Mirza!" teriak Adi. "Pak Fakhri tadi kalau gak salah lagi mandi, Iza nunggu aja di dalam! Nanti Bang Adi nyusul."

Mirza mengangguk dan melaksanakan intruksi tersebut.

'Tak lama setelah duduk di kursi ruang tengah, Pak Fakhri datang membawakan teh manis hangat untuk Mirza.

"Tumben," ucapnya dengan senyum, tatapannya begitu tajam tetapi raut wajah yang ceria.

Mirza mulai tidak enak duduk, berkali-kali ia membenarkan posisi duduk karena merasa tidak nyaman.

"Iya, Pak. Gimana kabarnya?" tanya Mirza seraya mencium tangan Pak Fakhri.

Pak Fakhri hanya berdecak dengan senyum mengiringi, ia mengambil sebatang rokok dengan mata yang tidak lepas menatap Mirza.

Mirza semakin merinding, ia menggerak-gerakan kaki dan tubuhnya karena sudah tidak nyaman.

Asap rokok mengepul, belum ada pembicaraan yang bisa dimulai.

"Adi! Tolong ke sekolah adek, awasi sampe dia pulang lagi!" teriak Pak Fakhri. "Kunci motor ada di depan!" lanjutnya.

Pak Fakri kembali menatap Mirza dan tersenyum, "kenapa Za? Betah di Bakti Negara?"

Mirza menghela napas berat.

"Kalau gak betah gak usah lanjut, lagian uangnya gak berkah, kamu juga pasti udah tau, kan?" tanyanya dengan senyuman khas yang misterius.

"Betah, Pak. Saya ke sini mau silaturahmi, sudah hampir dua tahun tidak bertemu, meski satu desa, bertemu di jalan pun kayaknya belum pernah," ucap Mirza. 'Ya ampun ngomong apa barusan, gak nyambung!' lanjutnya dalam hati.

Pak Fakhri berdecak seraya tersenyum, mungkin bisa dibayangkan bagaimana orang berdecak dan tersenyum secara bersamaan diiringi mata tajam yang tak henti menatap.

"Kemarin Naya, Fadil, dan Maulana ke sini, mereka bilang mereka disuruh Dijat. Kamu yakin cuma mau silaturahmi? Bapak sudah muak sama Daris dan bawahan-bawahannya. Bapak, Pak Agus, dan mereka, urusannya sudah selesai! Tapi kenapa mereka masih mencari cara menghancurkan kami? Lagian mereka seperti itu karena ulah mereka sendiri!" tegas Pak Fakhri.

"Mungkin kedatangan saya sama seperti Naya dan yang lain, Pak. Tapi saya ragu, di sisi lain ibu saya percaya pada bapak, pun saya yang sudah menganggap bapak seperti kakak sendiri, di sisi lain juga SMKS Bakti Negara adalah sekolah saya, saya alumninya dan sepantasnya membalas budi."

Pak Fakhri nampak memperhatikan bagaimana Iza mengucapkan setiap kata, sepanjang Mirza berbicara ia hanya mengangguk, tersenyum, dan menarik ujung bibirnya ke bawah.

"Bukannya kamu ngaji, ya? Bukan meragukan, bapak tau kamu orang baik, tapi jangan mudah untuk dimanfaatkan, kamu musti bisa memilah dan memilih! Apalagi sekelas mereka yang ...." Pak Fakhri mengangkat kedua bahunya.

Mirza merasa tertekan, dia merasa akan sia-sia saja jika hari itu dia melaksanakan apa yang Pak Dijat perintahkan.

"Sekolah bapak baru berdiri dua kelas, jumlah murid angkatan pertama ada dua puluh delapan siswa, gurunya keluarga bapak semua, sistem gaji dari keluarga bapak, program kita keagamaan, di sini baru IPA saja. Cukup? Satu hal, di sini KIP diberikan seratus persen untuk siswa yang mendapatkan, paling dipotong beberapa persen untuk dibagi rata kepada siswa yang belum dapat," lanjut Pak Fakhri.

Mirza kehabisan kata-kata, dia merasa bersalah atas kedatangannya ke rumah Pak Fakhri. Namun setiap kali Pak Fakhri berbicara, ia semakin penasaran mengenai kenapa Pak Agus dan guru-guru terdahulu mengundurkan diri.

Di sela lamunannya, Pak Fakhri tersenyum lagi. Mirza sendiri bingung bagaimana cara agar pikirannya diam. Karena ketakutannya kepada Pak Fakhri mengenai ia yang bisa membaca pikiran.

Asap rokok kembali mengepul, Pak Fakhri mendongakkan wajahnya ke atas langit-langit, matanya mulai kilap berair tapi tidak sampai berkaca-kaca. Terlihat sangat berat sekali untuk berbicara tidak seperti sebelumnya.

"Soal kenapa Pak Agus mengundurkan diri?" tanya Pak Fakhri dengan tatapan mata yang mulai kosong.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang