BAB 4

29 6 0
                                    

Hari demi hari Mirza mulai memaksakan diri untuk terbiasa, tetapi dirinya selalu dihantui dengan apa yang ia yakini. Ia merasa apa yang ia makan dari hasil kerjanya adalah hal yang tidak berkah.

Minggu-minggu awal kuliah pun rasanya begitu hambar, Iza kuliah di kampus swasta dengan angkatan di prodinya hanya terdapat delapan mahasiswa, sistem belajar mengajar pun tidak ada kejelasan. Kampus yang dipilihkan Pak Daris kurang memiliki daya tarik dan semangat berkembang.

Mirza pernah menunggu dosen sampai waktu isya, padahal jadwalnya adalah jam tiga sore, dan ujungnya dosen itu tidak datang dan hanya memberi tugas secara online.

Rutinias pagi bekerja dan sore kuliah selalu dilakoni tanpa tertinggal satu hari pun. Sorotan mata tetangga dan orang-orang kampung riuh memuji dan bahkan sampai menjadi patokan bahwa anaknya seminimal mungkin harus bisa mencontoh Mirza. Itu sebabnya mengapa teman sebayanya kurang akrab dengan Mirza, karena secara terang-terangan orang tua mereka membandingkan anaknya dan menuntut agar bisa lebih baik dari Mirza.

Selain menjadi kebanggaan di keluarga, Mirza adalah kebanggaan warga desa. Ia pernah berkali-kali diundang ke acara besar desa untuk mewakili kampungnya, juga pernah akan diangkat menjadi ketua pemuda desanya, tetapi Mirza menolak karena nasihat dari kakak iparnya, Mirza memiliki daya tahan tubuh yang lemah, sosoknya yang tidak sama dengan teman sebayanya pun menjadi alasan kenapa orang lain menganggap Mirza tidak bisa apa-apa, sama seperti apa yang dilihat SMKS Bakti Negara kepada murid-muridnya termasuk Mirza.

Ingin sekali Mirza berkeluh kesah, bahwa saat sejak mengetahui apa yang disembunyikan sekolahnya ia selalu merasa goyah dan labil dalam mengambil keputusan.

Ia juga masih sedikit ragu untuk berbagi semua hal itu kepada Humaira yang merupakan teman satu-satunya yang ingin mendengarkan cerita bodoh Mirza.

Pagi hari dengan rintikan hujan yang cukup lebat, suasana SMKS Bakti Negara begitu sunyi. Belum ada siapapun selain Iza yang kebetulan ia ditugaskan memegang kunci cadangan sekolah.

Sembari menunggu, Iza memutar lagu Fiersa Besari berjudul Celengan Rindu, digenggamnya teh manis angat dan sepotong roti kering yang sudah tersedia di dapur.

'Kalimantan ujan?'

Iza membuka percakapan. Setelah sekian lama Iza berkecimpung di dunia seni, ia hanya menemukan sosok Humaira yang bisa membangun setiap apa yang Mirza impikan ... teman yang mendengarkan dan memahami.

'Iya, ini aku otw sekolah juga nunggu reda'

Humaira menjawab pesan dari Iza, kemudian disampaikannya ucapan semangat dan doa untuk mengakhiri percakapan.

Mirza mendengar klakson motor yang sudah tidak asing di telinganya, sebuah moge yang sering dikendarai Pak Dijat untuk berangkat ke sekolah.

Pak Dijat menghampiri Mirza yang saat itu duduk di ambang pintu.

"Belum pada dateng? Buatin saya kopi dong!"

Pak Dijat melepas jas hujan dan helmnya, kemudian menaruhnya di teras ruang TU. Ia memasuki ruangan untuk pergi ke kamar mandi, sementara Iza pergi ke dapur untuk menyeduh kopi.

Iza mematikan musik yang ia dengarkan sejak tadi, kembali ke meja kerjanya dan bersantai menikmati aroma tanah yang terhembus karena hujan pagi itu.

Suara pintu berderit cukup kencang, pintu kayu yang digunakan untuk kamar mandi sudah mulai tidak layak digunakan.

Pak Dijat mengambil segelas kopi yang sudah tersedia, kemudian berjalan ke arah Mirza, menarik salah satu kursi di sana dan duduk di sebelah Mirza.

"Za, gimana kerjaan dan kuliahmu?"

"Aman, Pak. Cuma ... sejujurnya aku merasa tidak berkembang, apa yang aku selesaikan hari ini, gak terasa manfaatnya di kemudian hari. Ngaji saya juga jadi sangat-sangat terganggu."

Semenjak kerja sambil kuliah, Iza tidak memiliki kesempatan untuk pergi mengaji. Ia juga sering mendapat kabar dari temannya bahwa guru ngaji selalu menanyakannya.

Iza adalah satu-satunya santri dari kampung lain, sisanya adalah pribumi, sosok yang giat seperti Iza sangat dijaga oleh pimpinan pesantren, meskipun banyak kekurangan dari Iza, kerja kerasnya untuk bisa mengaji ilmu agama sangat patut diapresiasi.

Kali ini, Iza mulai kehilangan sosok-sosok penting, meskipun mimpinya tergapai tetapi orang-orang di sekitarnya patamorgana, dan mungkin duri babi beracun.

Pak Dijat menyeruput kopinya, merebahkan diri di posisi paling nyaman menurutnya.

"Saya punya tawaran, biar kamu gak jenuh juga. Kamu mau gak jadi mata-mata?" tanya Pak Dijat menawarkan.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mirza. Ia mengira akan ditugaskan mencari tahu apa yang disembunyikan Pak Daris dari yayasan, karena kedua kakak beradik itu saling sikut untuk mencapai puncak menjadi pemilik yayasan secara utuh. Ternyata perkiraannya meleset jauh.

"Kamu dispen kerja dari sini selama tiga bulan, kamu lamar kerja ke SMA As-Syakur, cari apa aja di sana yang memungkinkan kamu bisa menaikan sekolah Bakti Negara dan menurunkan As-Syakur!"

"As-Syakur?"

"Iya! Sekolah SMA yang didirikan Pak Fakhri, baru sekarang angkatan pertamanya."

Pak Fakhri adalah mantan guru di SMKS Bakti Negara, beliau dikenal sebagai sosok yang bersahabat dengan siswa. Pak Fakhri adalah pencetus bahwa setelah Pak Agus mengundurkan diri maka ia pun akan mengundurkan diri.

Mendengar kata 'Pak Fakhri' Mirza sedikit merenung, sosok yang sudah dianggap kakak kandung oleh para siswa harus dikhianati dengan cara selicik itu.

Tata letak SMKS Bakti Negara dan SMAS As-Syakur tidak begitu berjauhan, hal itu menjadi alasan yang membuat Pak Dijat tersaingi, atau mungkin ada tujuan yang lainnya?

"Terus kuliah saya dan pekerjaan saya gimana, Pak?" tanya Iza.

"Kamu sudah saya ajukan dispen tiga bulan, yayasan sudah tau alasannya, lagian ini kepentingan yayasan, dan juga ini alasan kenapa kamu diangkat di sini, tujuannya ini, dijadiin mata-mata!"

Mirza tersentak kaget, ia menelan ludahnya 'tak percaya. Emosinya mulai tidak stabil, dia juga mulai labil menentukan bagaimana dia ke depannya.

"Kamu pergi ke Pak Fakhri besok, gak usah ke sini lagi! Ingat untuk selalu kasih informasi apa pun yang kamu dapat, setuju gak setuju musti dilakoni, kalau besok kamu ke sini, jangan harap ijazah kamu turun! Paham, kan?" tegas Pak Dijat.

Iza menghela napas kasar.

Hujan mulai mereda, guru-guru mulai berdatangan, pun murid-murid. Di sekolah swasta seperti Bakti Negara, waktu tidak menjadi prioritas utama, telat lebih dari satu jam pun dimaklumi.

"Satu hal lagi, kalau hal ini bocor ke siapapun bahkan guru-guru di sini. Awas!" Pak Dijat menarik kerah kemaja Mirza dan menatapnya tajam.

Pak Dijat meninggalkan Mirza dan pergi ke ruang guru. Dari tempat kerja Mirza duduk saat itu, ia mulai melihat sosok serigala berbulu domba di sini.

Menjadi orang yang tidak enakan itu sangat menyebalkan.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang