BAB 19

3 1 0
                                    

Suhu ruangan yang sangat dingin, Mirza baru saja terbangun di atas kasur dengan ruangan sempit, Andrik mengatakan kalau tempat penginapan yang ia pesan berupa kamar kapsul yang terhubung dengan pemesan lainnya.

Mirza tidak menghiraukan apapun, dia terbangun dan mendapat kabar jika sewa penginapannya akan berakhir empat jam lagi, dan jika ia masih berada di sana maka ia harus membayar denda atau membayar uang sewa untuk memperpanjang masa penginapan.

Lelaki itu bergegas mengemas barang-barang, dibawanya dua ransel berukuran sedang di pundak dan salah satunya ia jinjing. Ia keluar dari penginapan itu.

Baru saja ia melangkah menuju jalan, kepalanya tiba-tiba pusing, badannya berkeringat, dan tenggorokannya begitu kering. Ia menatap langit, seakan tidak ada awan yang sudi menutupi matahari di Kota Surabaya waktu itu.

Ia terus menelpon Andrik dan mengabari Asir.

'Jangan ganggu aku, aku lagi ada kelas!' balas Andrik singkat.

Mirza mengibas-ngibaskan bajunya, memerangkap angin agar badannya sedikit terasa sejuk.

'Mirza'
'Aa udah di depan penginapan'
'Kamu yang mana? Kalo ketemu orang gondrong jaket lepis itu Aa ya'

Pesan yang di terima dari Asir membuat Mirza antusias. Matanya melihat kanan-kiri. Kemudian matanya tertuju pada motor beat kolot yang bodynya sudah rusak, membuat lelaki itu deja vu dengan orang-orang rumah di Garut.

Ia menghampiri pengemudi motor itu.

"A Asir? Apa kabar A?" tanya Mirza.

"Baik, kamu gimana? Kamu sakit ya, Za? Muka kamu merah banget itu!" Aris menatap dahi Mirza yang memerah serta keringatnya yang bercucuran sampai membasahi masker yang Mirza kenakan.

"Udara Surabaya panas banget A, aku sampai beberapa kali neguk air saking ausnya, ini kepalaku juga agak puyeng sebenarnya," balas Mirza.

Tanpa basa-basi, Asir menaikan ransel Mirza ke motornya. Ia menyuruh Mirza bergegas untuk naik.

Di sepanjang perjalanan, Asir merasa motor itu tidak seimbang yang diakibatkan karena Mirza yang suntuk dan terlihat meriang.

Asir berusaha cepat tetapi tetap berhati-hati. Sesampainya di kos, Asir membawa semua barang bawaan Mirza, ia menyuruh Mirza mengikuti Asir.

Kost yang Asir tempati merupakan kost di antara pemukiman padat, kos tersebut memiliki tiga lantai dengan masing-masil lantai memiliki enam kamar, terdapat dua kamar mandi di lantai pertama tepatnya di bawah anak tangga menuju lantai ke dua, sedangkan lantai tiga merupakan tempat menjemur pakaian dan terdapat dua kamar mandi rusak yang diisi perabotan tidak terpakai, ukuran tempat jemuran lebih kecil dari lantai sebelumnya.

Posisi kosan tersebut membelakangi sebuah sungai, kemudian seperti terdapat balai desa karena saat pertama Mirza naik ke lantai dua ia melihat muda-mudi dan orang tua berseragam layaknya pejabat desa sedang rapat di aula terbuka.

Asir membukakan pintu, saat Mirza masuk, ia menatap sekeliling, kamarnya cukup untuk tidur berdua, dinding kamar dipenuhi coretan tidak jelas, terpasang juga beberapa bendera lambang pendaki gunung dan satu bendera merah putih.

Terdapat nakas kecil dan almari dua pintu yang salah satu pintunya copot.

"Za, Aa mau kerja dulu. Aa tinggalin makan buat kamu di sini ya," ucap Asir seraya menunjuk sebungkus nasi di atas nakas. "Air ada di galon, kalau mau mandi ke bawah, kalau mau jemur pakaian di atas, di lantai dua penghuninya cuma kita, jadi kalau kamu ada bantuan apa-apa kamu telpon Aa, kalau urgent kamu turun ke bawah, ya! Bapak kost nya tinggal di bawah."

Mirza hanya mengangguk, Asir memberikan kunci kamar pintu kost.

Beberapa detik setelah Asir pergi, Mirza membuka bajunya yang sudah basah oleh keringat, ia duduk di depan kipas angin seraya beberapa kali meneguk air mineral yang sedari tadi ia genggam.

Kepala Mirza begitu berat, pandangannya gelap, setelah itu ia tidak sadar dengan kondisi sekitar.

Handphone Mirza menyala, beberapa pesan belum dibaca dan beberapa panggilan tidak terjawab.

Mirza masih terbaring lemas, sampai saat keajaiban datang akhirnya ia membuka matanya perlahan, namun, ia masih belum sanggup mengangkat tubuhnya.

"Ya Allah," gumam Mirza.

Dengan sekuat tenaga ia bangkit, meraih botol air mineral yang isinya sudah tumpah tercecer di lantai. Untungnya tidak begitu banyak.

Mirza mengambil air dari galon, meneguk sebanyak-banyaknya air. Kemudian ia lap lantai yang basah.

Nasi bungkus yang masih utuh itu ia buka, kemudian ia makan sampai habis. Setelah energinya pulih, Mirza bergegas mandi. Ia mengeluarkan peralatan mandinya, sekaligus berniat mencuci pakaian yang basah karena keringat.

Di kamar mandi, ia sangat kaget saat melihat air yang tidak bening, warnanya sedikit hijau, dan aromanya tidak sedap. Tapi bagaimana pun Mirza ingin mandi dan mencuci pakaian. Kali pertama menyentuh air, kulit jarinya langsung berkeriput seperti layaknya orang merendam tangan dengan durasi lama.

Batin Mirza mulai tersiksa, belum satu hari Mirza hidup di Surabaya sudah sebegitu keras baginya. Belum lagi ia yang merasa haus terus menerus karena cuaca yang begitu panas.

Setelah semua selesai, Mirza pergi ke lantai tiga untuk menjemur pakaian, pemandangan yang indah, gedung-gedung yang tinggi dan langit yang biru.

"Panas sekali," Mirza bermonolog sambil berjalan menuruni anak tangga.

Sesampainya di kamar, ia membuka handphone-nya. Membalas pesan dari keluarganya.

'Aku sudah sampai, kak. Di sini tempatnya nyaman, banyak orang juga pada baik.' balas Mirza.

Kemudian Mirza membuka spam chat dari Andrik.

'P'
'P'
'Ditelpon kok g diangkat?'
'Gak butuh aku?'
'Ya sudah aku ke sananya minggu depan saja'

Mirza menghela napas. 'Aku ketiduran,' balas Mirza singkat.

Mirza mengirimi Asir pesan, ia meminta izin pada Asir untuk membereskan kamar dan mengisi bagian almari pakaian yang kosong untuk barang-barang Mirza, ia juga meminta maaf kalau seandainya ada barang yang harus ia pindahkan.

Setelah mendapatkan izin. Mirza membuka pintu almari, ia kaget, isinya adalah beberapa pakaian dan banyak sekali botol minum di bagian bawah almari. Banyak bagian kosong di Almari itu, sepertinya Asir menaruh barangnya di atas almari, karena di sana terdapat tas khusus mendaki yang terlihat terisi penuh.

Mirza mengemasi barang, membersihkan almari dari debu dan mulai menyimpan barangnya, ia merapikan semua barang di sana, melap lantai menggunakan kain lap tangan yang tergantung pada tembok pagar depan pintu kost-nya.

Kasur lantai yang ketebalannya hanya lima senti ia lipat sementara.

Mirza menyelesaikan pekerjaanya di penghujung petang.

Yaa Rosulallah, salamun 'alaik
Yaa rafi'asani wa ddaraji

Sholawat berkumandang di hampir semua sisi. Mirza mengira kalau itu adalah rekaman, karena dari masjid satu dan masjid yang lain lantunan dan suaranya sama persis.

Asir yang baru tiba langsung membuka plastik kresek berisi dua bungkus nasi. Mirza pun menunjukan makanan-makanan yang ia bawa dari Garut yang telah ia simpan di atas nakas milik Asir.

"Jangan kaget kalau kamu lihat botol minuman! Aa emang suka mabuk, tapi Aa mabuknya sendirian. Inget, ya! Aa bersumpah dan berjanji bakal jagain kamu di sini, aku tau dari Aldo kamu orang baik-baik, Za. Santri kesayangan juga kalau kata Aldo, Aldo beramanat kalau kamu harus pulang dengan kondisi baik sama seperti kamu berangkat. Sesama pendaki tidak boleh meninggalkan kawannya, tapi meskipun kamu bukan pendaki, Aa anggap kamu adiknya Aa. Kalau ada orang lain yang tanya, bilang saja 'aku adiknya Asir Bandung!' inget itu, ya!"

Mirza mengangguk paham.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang