BAB 15

7 1 0
                                    

Setelah melaksanakan serangkaian wawancara, Mirza menerima pesan kalau dia tidak bisa mampir terlebih dahulu ke tempat kakaknya, ia juga menerima kabar jika kakaknya harus lembur. Alhasil Mirza memutuskan langsung pulang bersama Ican.

Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam, meskipun begitu, waktu saat Mirza pulang terasa lebih cepat dibanding lama waktu perjalanan.

Tak henti-henti lelaki itu berdoa, berharap agar hari itu menjadi awal dari sejarah yang selama ini ia mimpikan. Membungkam dan mungkin bisa merubah hati setiap manusia yang membencinya menjadi rasa takjub.

Setelah lamanya perjalanan pulang, Mirza menatap kanan-kiri jalan, sepertinya Ican memilih jalur hutan untuk jalan pulang, jalur yang kurang aman karena minim pengendara yang mengambil jalur tersebut dan masih terdapat hewan liar di sana. Tetapi jalur tersebut bisa memakan waktu satu jam lebih cepat dari jalur biasanya.

"Loh, loh. Kok jalan sini?" teriak Mirza seraya menepuk bahu Ican.

Ican tidak merespon, ia justeru menambah laju kendaraan. Sedangkan Mirza malah panik tak karuan, ia beristigfar dan menundukkan kepalanya tidak mau melihat sekitaran.

"Jangan main-main!" teriak Mirza lagi.

Setelah melewati jalur hutan dan memasuki kota Garut, Ican memberhentikan kendaraannya di depan mushola di pemukiman warga. Lelaki itu bergegas menuju toilet mushola tersebut.

"Aing mau berak anjay!" ucapnya seraya melepas helm.

"Astagfirullah," balas Mirza bergumam.

Setelah menunggu beberapa saat, Ican keluar dari toilet dengan kondisi tangan basah, ia mengibaskan kedua tangan kemudian menggosokkannya ke bagian samping celananya.

Tiba-tiba ponsel miliknya berdering.

"Anjay, siapa nih?" tanya Ican bermonolog.

"Halo. Apa? Iya ini bentar lagi nyampe! Iya, udah tutup teleponnya jangan nelpon dulu!" Ican menutup pembicaraan.

Mirza bertanya dengan isyarat mengangkat alis.

"Biasa abang aing pinjam motor. Gas, Za! Mode jadi Rosi," ucap Ican seraya menaiki motor dan memakai helm.

Setelah semuanya siap, mereka berdua melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Ican yang sudah mahir menggunakan motor matic-nya berlaga seolah ia seorang pembalap motor, meskipun Mirza percaya pada kemampuannya, Mirza tetap berdoa dengan khusyu agar diberikan keselamatan.

Akhirnya mereka telah tiba di kampung tempat tinggal Mirza, Ican sengaja menurunkan Mirza di depan gapura karena ia sangat terburu-buru.

"Maaf ya cuma sampai sini."

"Gapapa, aku yang minta maaf sekaligus terima kasih, gak mampir dulu?" tanya Mirza.

Ican menggeleng kepala menolak. "Yo!" ajak Ican seraya menyalakan motornya.

Mirza tidak ingin mengetahui lebih dari apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang dibicarakan Ican dengan si penelepon. Mirza segera bergegas pulang karena matahari mulai tenggelam.

Langkah kakinya jauh dan cepat, perutnya mulai keroncongan dan keringatnya mulai mengering.

Suara jangkrik dan katak sudah mulai bersautan, desiran angin dan aliran air pun ikut terdengar dalam damainya waktu senja. Tidak lupa dengan suara anak-anak kampung yang saling beradu melantunkan puji-pujian pada Tuhan dan Rasul-Nya.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang