Tiba saat di mana SMKS Bakti Negara mengadakan rapat evaluasi bulanan yang mewajibkan seluruh pengurus sekolah untuk hadir.
Iza membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel. Ia juga bergegas memasuki ruangan dan duduk terpisah dari yang lain. Ia tidak ingin aroma tubuhnya mengganggu rekan kerja yang lain.
Susunan acara mulai dilaksanakan satu per satu, suasana nampak tertib.
"Yang saya herankan, kenapa sampai ada laporan kekerasan di sekolah ini? Kekerasan yang dilakukan guru ke murid pula!" Pak Daris menjelaskan dengan nada yang sedikit marah.
Pak Raka memutar kepala sampai matanya menatap Iza tajam.
Sontak Iza terkejut, ia tidak pernah melaporkan apa pun ke pada pihak sekolah mengenai kejadian yang ia saksikan waktu itu.
"Laporan ini disampaikan oleh Pak Mirza. Iza? Kamu ada bukti atau semacamnya? Boleh diceritakan bagaimana kejadiannya?" Pak Daris kembali menuturkan pembahasan.
Mata Iza sedikit membelalak, ia tidak pernah memiliki niatan sedikit pun untuk campur tangan. Namun, keadaan memaksanya untuk berbicara sebuah kebenaran.
"Maaf, pak. Saya melihat langsung kejadian tersebut, maaf, pelakunya Pak Raka, korban dilempari absensi dan ditampar, pak," jelas Mirza dengan suara yang bergetar, gugup.
"Maaf, pak. Saya sebagai guru penjas ingin menyangkal. Saya selama pendidikan di kuliah dilatih untuk kuat dan disiplin, jadi mungkin kalau saya bawa ke sini itu hal yang wajar. Lagian itu hal yang biasa, dan Mirza bilang seperti itu tanpa adanya bukti," timpal Pak Raka.
"Maaf, pak. Bukannya melakukan kekerasan fisik itu tidak perlu dilakukan di lingkungan sekolah, ya?" tanya Bu Tyas. Beliau menegaskan kembali jika hal yang dilakukan Pak Raka adalah suatu kesalahan yang berulang kali dilakukan.
"Lah, ini urusan saya dengan Mirza. Kenapa anda ikut campur dengan kasus ini? Anda mau membela? Atau memperkeruh suasana?" tanya Pak Raka seraya menunjuk-nunjuk wajah Bu Tyas yang kebetulan berada di belakangnya.
Bu Tyas tidak mampu membendung air matanya, ia berdiri dan kemudian menaikan nada bicaranya.
"Ini evaluasi untuk kebaikan sekolah, dan saya bagian dari sekolah! Bahkan sebagai kesiswaan, sayalah yang paling berhak atas kasus ini. Siapa anda yang melarang saya berpendapat di rapat langsung maupun di grup? Manipulatif! Bahkan, saya sendiri yang menulis laporan tersebut, kenapa tiba-tiba tertera nama Mirza di sana? Anda tidak berani berhadapan langsung dengan saya? Atau memang mencari orang yang lebih lemah dari saya?"
Perdebatan semakin memanas.
Wajah Pak Raka memerah dan mulai tersulut emosi, sedangkan Bu Tyas berusaha ditenangkan oleh rekan-rekannya yang lain.
Rapat dihentikan sejenak.
Bu Tyas yang masih berlarut-larut dibawa ke luar ruangan oleh beberapa guru sekaligus.
"Maaf atas kesalah pahaman ini, pak. Benar adanya jika saya tidak menulis laporan tersebut, dan apa yang saya tuturkan tadi juga merupakan kebenaran. Saya tidak membela pihak manapun, sebagai pembelajaran saya harap siswa-siswa lebih diperhatikan lagi, saya harap mereka menerima hal yang seharusnya mereka terima, apapun itu, pak!"
Tiba-tiba Pak Daris bertepuk tangan. Ia berdiri kemudian melempar kotak snack di depannya.
"Apa yang kamu maksud? Beraninya seorang OB mengajari saya. Apa? Kamu mau bahas korupsi? Silahkan! Asal kamu tau, ya! Koruptor itu justeru Fakhri dan rekannya yang lain!"
Mirza mulai keringat dingin. Ia memikirkan apakah yang ia ucapkan menyinggung kepala sekolah?
Ia hanya menggeleng kepala perlahan dan meminta maaf. Namun, detik berikutnya Pak Raka kembali memotong pembahasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG UNTUK PULANG
General FictionSejak mengetahui rahasia yang disembunyikan tempat kerjanya a.k.a sekolahnya, Fathur Mirza atau yang kerap disapa Iza ini mulai dihantui mimpi buruk. Sejak saat itu, hatinya mulai but4 dan membuatnya semakin naif. Mimpi-mimpi yang ia bangun mulai r...