'Ra, sejujurnya aku bingung harus gimana buat ke depannya, ini sudah buntu banget, tapi gimana pun aku musti jalanin apa yang udah terlanjur aku katakan ke ibu aku.'
Pesan Mirza terkirim ke Humaira, beberapa saat kemudian Humaira mulai mengetik balasan.
Humaira tahu semua hal yang Mirza alami selama bekerja di SMKS Bakti Negara sampai pada Mirza harus mengundurkan diri dan memutuskan untuk mondok.
Mirza merasa gadis itu paling bisa mendengarkan, ketimbang dirinya sendiri.
Selain menjadi saksi bisu perjalanan Mirza, Humaira juga kerap menjadi support system yang tidak menerima feedback seimbang dari Mirza.
'Bukankan perencana terbaik adalah Allah? Mungkin saja ada hal yang lebih baik setelah ini, tugas kita sebagai manusia hanya menjalani dan tetap bertaqwa. Ini aku bukan yang gimana-gimana, tapi aku bilang gini ke kamu karena kamu juga pernah bilang gini ke aku, aku terapin dan aku lebih ikhlas buat jalani hidup.'
Balasan Humaira sudah terbaca.
Mirza sedikit merenung, harusnya dia tumbuh menjadi lelaki dewasa yang konsisten dengan ucapannya dan memiliki tujuan yang jelas.
Waktu semakin larut dengan percakapan yang hampir 'tak karuan, semua tercurahkan mulai dari mimpi dan bagaimana Mirza ingin berdiri di atas dunia dengan sebuah kebebasan.
Langit malam yang hitam itu sedang menyembunyikan kerlip bintang dan sinar bulan. Sunyi ditemani desisan angin malam yang menyelimuti sebuah keraguan.
Humaira berpamitan untuk beristirahat.
Mata yang harusnya terlelap kini hanya menatap langit-langit dan juga merasakan angan.
Tubuhnya sudah lelah, pikirannya ke mana-mana. Sampai akhirnya tubuh itu benar-benar rehat didekap ketidak pastian.
Suara nyaring itu menggema dan terdengar berkali-kali. Suara bedug masjid yang kebetulan letaknya tiga meter di samping jendela kamar Mirza. Lelaki itu terbangun, melaksanakan kewajiban dan mulai melakukan rutinitasnya.
Terdapat satu hal yang berbeda pada kesehariannya, pagi ini ia tidak memakai pakaian mengajarnya, ia memakai pakaian biasa yang selalu ia kenakan sehari-hari.
Mirza berniat untuk pamit kepada Pak Fakhri, lagi pula hari itu bukan jadwal mengajar Mirza.
"Ke mana?" tanya ibu Mirza.
"Iza pamit mau ke Pak Fakhri dulu, mau berpamitan, Iza kan harus kasih tau juga soal rencana mondok Iza. Iza pamit sekarang ya, bu."
Mirza menyalami wanita paru baya itu.
Sepanjang perjalanan, isi kepalanya dipenuhi ekspektasi-ekspektasi yang begitu indah. Ia membayangkan jika nantinya ia akan menjadi ahli agama yang mungkin bisa membuat keluarga dan lingkungannya bangga.
Ia juga berharap menjadi lebih dibanggakan oleh guru ngajinya, karena sejauh ini ia sudah menunjukan segala kerja kerasnya kepada beliau, dan sekarang Mirza akan melangkah ke pesantren yang lebih besar lagi.
Suara khas kincir angin sudah mulai terdengar, artinya sebentar lagi Mirza sampai di SMAS As-Syakur dan menuju rumah Pak Fakhri.
Dari kejauhan Mirza melihat Adi sedang berjaga di SMAS As-Syakur, meskipun tidak ada siswa yang datang untuk sekolah, peraturannya salah satu petugas atau guru harus ada di sekolah sampai jam pulang.
"Bang Adi! Pak Fakhri di rumah?" teriak Mirza.
Selain pendiri di SMAS As-Syakur, Pak Fakhri juga seorang pengajar di sekolah dasar dan sekolah menengah, karena itulah ia memastikan kesibukan Pak Fakhri.
"Bapak di dalam!"
Mirza bergegas memasuki gerbang sekolah. Kemudian memasuki ruangan tata usaha yang biasa dijadikan tempat ngobrol guru-guru. Ia melontarkan salam dan mengulurkan tangan menyalami Pak Fakhri yang tengah merokok.
"Ada jadwal, Za?"
Mirza menggeleng kepala, sedikit tidak enak hati untuk mengutarakan apa yang sebenarnya ia tuju. "Sebelumnya saya berterima kasih karena Bapak sudah menerima saya di sini. Sekaligus saya mau minta maaf kalau semisal saya buat kesalahan atau mungkin tidak bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan. Saya ... mungkin akan mengundurkan diri dan berhenti mengajar, selanjutnya saya akan pesantren karena ternyata kuliah saya tidak bisa dilanjutkan karena masalah biaya."
Pak Fakhri mematikan rokoknya sembari mengibas-ibas kepulan asap rokok yang memenuhi ruangan.
"Pesantren?"
Mirza mengangguk.
"Kamu bisa gak bertahan beberapa bulan lagi? Satu semester mungkin, Bapak ada program beasiswa buat kamu, tapi syaratnya yang agak susah, saran saya kamu tetap ngajar di sini, mau kamu gak kuliah pun gak papa, soalnya di sini gak ada syarat yang ngajar harus kuliah. Nanti kalau sudah berkembang, kamu baru boleh pikirkan soal kuliah," tutur Pak Fakhri.
Mirza sedikit kaku, ia mulai labil lagi perkara menentukan masa depan. Padahal salahnya sendiri menggantung banyak mimpi dengan jalan yang beda jalur untuk mencapainya.
Impian menjadi ahli agama, menjadi seorang sarjana, dan masih banyak lagi. Kepalanya terlalu luas untuk halusinasi yang menjanjikan. Tapi sikap labilnya membuat mimpinya hanya sebatas impian, bukan hal yang harus diwujudkan, selagi ada kesempatan itulah jalan yang akan ia pilih.
"Terima kasih tawarannya, Pak. Tapi ini keinginan ibu saya ... sebenarnya setelah saya lulus, keluarga menginginkan saya fokus pesantren terutama ibu. Ibu saya 'tak lagi muda, kalau semisal gak bisa wujudin kemauannya ... saya takut," Mirza menjelaskan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Mulutnya mulai memberikan alasan-alasan yang sebelumnya tidak pernah terpikir oleh Mirza, namun, apa yang diucapkan adalah sebuah kejujuran.
Pak Fakhri membuka layar handphone-nya, ia mengetik pesan yang entah isinya apa dan dituju pada siapa.
Hampir tiga menit lamanya Pak Fakhri tidak menjawab, beliau hanya menatap Mirza intens dan sesekali menatap ke benda lain.
"Yakin pesantren? Gak bakal balik lagi ke Bakti Negara?" tanya Pak Fakhri seraya mengambil sebatang rokok dan mulai menyalakannya.
Mirza merasa merinding, hawa ruangan menjadi tidak karuan. Ia tidak mau berburuk sangka mengenai Pak Fakhri dan apa yang dikatakan orang lain tentang sisi gelap Pak Fakhri.
"Maksudnya, Pak?" tanya Mirza.
"Za! Kamu kan sering ngaji, harusnya tahu kalau makan uang haram itu gak berkah! Sebisanya kamu jangan pernah makan lagi dari uang yang diberi Bakti Negara."
Mirza 'tak kunjung mengerti maksud dari pernyataan Pak Fakhri, namun ia berusaha menyimpulkan dan hanya bisa mengiyakan saja tanpa ingin tahu maksud sebenarnya.
Sejak saat itu, Mirza melepas jabatan dan pekerjaan di SMAS As-Syakur tanpa ada kendala apapun, namun, ia masih merasa janggal mengenai maksud yang diucapkan Pak Fakhri.
"Za! Teman itu kadang menikam, hati-hati! Terbunuh atau membunuh, bukan soal nyawa, tapi soal kepercayaan."
Bukannya memahami, Mirza semakin merinding dibuatnya, tatapan Pak Fakhri menjadi misteri tidak seperti biasanya.
Mirza lekas berpamitan setelah apa yang ia niatkan sudah terlaksana. Meskipun masih banyak teka-teki, tapi ia mulai belajar tidak mempedulikan apa yang dikatakan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG UNTUK PULANG
General FictionSejak mengetahui rahasia yang disembunyikan tempat kerjanya a.k.a sekolahnya, Fathur Mirza atau yang kerap disapa Iza ini mulai dihantui mimpi buruk. Sejak saat itu, hatinya mulai but4 dan membuatnya semakin naif. Mimpi-mimpi yang ia bangun mulai r...