BAB 28

1 1 0
                                    

Pakaian milik Mirza sudah tertata dalam tasnya. Ia menatap Asir yang melamun dengan raut wajah yang kebingungan. Mirza tidak berani bertanya, mungkin saja Asir sedang merasa patah hati soal percintaan yang ia alami.

"Mirza. Meskipun nanti kamu tinggal di mess dan Aa pulang kampung. Tetep kabari Aa, ya! Dan jangan terlalu banyak main ke luar, sejujurnya Aa masih khawatir sama apa yang terjadi ke kamu beberapa minggu lalu," ucap Asir serius. "Nanti Aa yang nganter kamu bawa barang. Di tempat kerja nanti, jangan kebanyakan main game, ya!"

Mirza mengangguk seraya menghidangkan sepotong ayam goreng di antara mereka. Kehidupan di perantauan bersama Asir memang tidak mewah, terkadang mereka membagi dua sebungkus nasi, bahkan mereka kehabisan dana untuk mengisi air galon, ayam dan ikan adalah menu paling mewah menurut mereka. Mirza sangat bergantung pada Asir, bahkan sisa uangnya yang hanya beberapa puluh ribu lagi dilarang untuk digunakan.

"Aa gak bisa ngasih kamu bekal uang," ucap Asir di sela makan.

"Gak gitu, A! Aku yang seharusnya berterima kasih atas tumpangan yang Aa kasih ke aku, aku berharap Aa dapat ganti atas kebaikan Aa," balas Mirza yang sebenarnya merasakan kesedihan.

Setelah itu, percakapan sudah tidak terdengar lagi di antara mereka, Asir pergi ke luar untuk merokok dan ngopi, sedangkan Mirza hanya membaringkan tubuh dan terlelap dalam mimpinya.

Azan zuhur telah berkumandang, Asir bergegas membangunkan Mirza untuk menunaikan ibadah sholat.

Mirza sontak terkejut dan bergegas untuk mensucikan diri. Ia mandi dan mengambil air wudhu, kemudian melaksanakan ibadahnya dan melafalkan doa-doa ke pada Sang Pencipta.

"Ayo siap-siap!" perintah Asir.

Asir mengangkat barang-barang Mirza ke lantai bawah, menaikannya ke atas motor. Sedangkan Mirza sedang mengganti pakaiannya. Setelah semuanya siap, mereka bergegas untuk berangkat ke tempat kerja Mirza.

Perjalanan kali ini sangat hambar, tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Asir mengemudikan motornya dengan hati-hati, sedangkan Mirza memandangi kiri-kanan Kota Surabaya.

"Sampai," ucap Asir.

Mirza turun dari motor, ia membawa barang-barangnya dan mengulurkan tangan untuk mencium tangan sebagai bentuk penghormatan selayaknya adik ke pada kakaknya.

Imam yang saat itu melihat Mirza kerepotan, ia pun bergegas membantu membawa barang-barangnya.

Melihat itu, Asir berpamitan ke pada Mirza dan mengamanahkan Mirza ke pada Imam.

Imam menjinjing tas Mirza dan membawakannya ke mess yang bertepatan di lantai ke tiga di ruko itu.

"Di sini kamu nanti tidurnya cuma sama Pak Herman, ini kasurmu, itu yang paling pojok kasur Pak Herman! Karyawan cabang ini kebanyakan deket sama rumah, makanya pada pulang pergi gak mess, Pak Herman juga sebenernya sesekali saja nginep di mess," jelas Imam pada Mirza seraya membuka almari yang masih kosong. "Kamu siap-siap, shift dua tinggal beberapa jam lagi."

Mirza menatap jam di layar handphone-nya.

"Terima kasih sudah mengingatkan."

Di sisi lain, Asir memberhentikan motornya di tengah perjalanan pulang, ia menemui sepasang muda-mudi dan berbincang mengenai jual beli motor.

Asir menjual motor miliknya untuk bekal ke Bandung. Pekerjaan Asir di Surabaya memang tidak begitu menjanjikan, sehingga ia merasa kurang atas segala pencapaiannya.

Setelah sepakat dengan harga jualnya, muda-mudi itu membawa motor Asir, sedangkan Asir jalan kaki untuk sisa jalan pulangnya.

Asir menatap tiket kereta dengan keberangkatannya besok pagi, sedih dan senang bercampur aduk.

Terik panas Kota Surabaya kembali menghantui Mirza, letak kasur Mirza yang menempel di kaca jendela membuat terik matahari begitu menyengat menyentuh tubuhnya.

Mirza menatap dua buah kipas angin di sana, namun, ia tidak berani menyalakannya. Ia hanya menyejukkan badannya dengan mengibaskan sebuah buku.

Setengah jam menuju jam kerja Mirza, lelaki itu bergegas mandi dan bersiap untuk turun ke bawah.

Aroma parfum memenuhi seisi ruangan, Mirza menatap kaca besar yang tertempel di samping toilet. Ia menunduk, berharap semoga hari itu baik-baik saja.

Jam kerjanya telah dimulai, seperti biasa Mirza hanya mengikuti arahan para seniornya.

"Coba kamu ambil menu ini! Atau yang gampang deh, air teh dulu aja. Kamu bawa ini ke meja nomor sebelas, kamu tanya gini 'air tehnya satu ya, kak, mau ditaruh di mana?' nah, ayo!"

Mirza menarik napasnya halus, ia berdoa agar semuanya lancar. Tiba di meja sebelas, semua instruksi berjalan dengan sempurna, tutur bahasa Mirza dan gestur tubuhnya sangat sopan.

Beberapa senior memperhatikan Mirza, mereka mengacungkan jempol saat Mirza berhasil dengan instruksi yang diberikan.

Mirza kembali ke arah dapur dengan nampan yang masih ia genggam, saat perjalanannya menuju dapur, tiba-tiba Mirza terjatuh sampai nampan di tangannya terlempar ke kolong meja customer. Orang-orang melihat Mirza termasuk seniornya Mirza, sedangkan Mirza langsung menatap pemilik kaki yang membuatnya jatuh tersandung.

Badan Mirza seketika gemetar.

Pria yang tengah duduk itu mengacungkan sebilah pisau kecil dan menempelkannya di leher, pria itu tetap mengunyah makanannya, tetapi ekspresi datar dan posisi pisaunya seakan mengancam Mirza.

Pikiran Mirza flashback pada kejadian penganiayaan yang ia alami, itu adalah pria yang sama.

Pria itu menghampiri Mirza, menariknya berdiri.

"Hati-hati kalau jalan!" ucapnya tegas membuat orang-orang tidak lagi menjadikan Mirza sebagai pusat perhatian. "Ini belum seberapa," bisik pria itu.

Mirza bergegas meninggalkan pria itu, dengan ekspresi masih gugup ia duduk jongkok di dapur seraya melamuni kejadian yang ia alami barusan.

"Gak papa, namanya juga latihan, nanti juga terbiasa, kok!" ucap karyawan lain.

Mirza mengambil segelas air putih dan meneguknya cepat sampai ia tersedak. Mukanya memerah, ia masih tidak percaya atas kehadiran pria tadi, hal itu membuatnya enggan keluar dari area dapur hanya karena tidak ingin melihat pria itu.

Kesan yang buruk ia dapatkan di hari ke duanya bekerja. Di penghujung jam kerjanya, Mirza menenangkan diri atas pikiran-pikiran yang merusak harinya.

Ia memperhatikan tempat kerjanya yang hanya menyisakan beberapa pelanggan. Saat pelanggan itu menyelesaikan makanannya, akhirnya restoran ditutup.

Beberapa karyawan bergegas pulang, ada juga yang makan terlebih dahulu. Sedangkan Mirza naik ke lantai tiga untuk membersihkan diri dan beristirahat.

Langkah Mirza diikuti salah satu karyawan senior, perlengkapan para karyawan memang disimpan di lantai tiga, jadi tak heran kalau mereka akan naik turun ke lantai tiga.

Sesampainya di lantai tiga. Mirza dikagetkan dengan pertanyaan yang terlontar dari karyawan yang mengikutinya.

"Aku tadi lihat banget kejadiannya," ucap pria dua puluh tujuh tahun. Seorang karyawan asal Madura yang membangun keluarganya di Kota Surabaya, namanya Rahman. "Ada apa, Za, cerita! Aku perhatikan kok kamu bengong mulu?"

Mirza tersentak.

"Sebagai perantau yang udah bertahun-tahun aku ngerasa banget susahnya. Selain susah makan, tidur, nyari kerja, kadang yang bikin sakit hati itu kangen sama keluarga, kan?" tanyanya lagi.

Mirza langsung berderai air mata, ketakutannya semasa kerja tadi kini bercampur dengan kerinduannya ke pada sang ibu.

Mirza terisak pilu, ia tidak mampu menjelaskan apapun pada Rahman. Ia bergegas ke kamar mandi dan menumpahkan kesedihannya di sana.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang