BAB 30

2 1 0
                                    

Hari demi hari terus berganti, Mirza melewati semua hal dengan perasaan yang campur aduk, ia masih menyimpan kebohongan bahwa ia tidak menjalani pendidikan di perguruan tinggi, beribu alasan ia sampaikan ke pada keluarganya agar mereka tenang mendengar kabar Mirza.

Sudah hampir satu bulan lamanya Mirza bekerja di sana, yang tidak dirasa oleh Mirza adalah beberapa hari lagi Idul Adha akan segera hadir.

Biasanya, menjelang Idul Adha, Mirza dan santri-santri lainnya akan menginap di madrasah dan bergantian menjaga hewan qurban, namun, momen-momen itu tidak lagi ia rasakan kali ini. Mirza merasa iri saat melihat postingan teman-temannya.

Sesaat setelah beristirahat di antara penatnya bekerja, Mirza mendapat pesan dari salah satu admin grup membaca al-quran, malam yang hening itu mendadak tidak tenang setelah Mirza membaca pesan tersebut.

'Assalamualaikum, Mirza.'
'Kenapa akhir-akhir ini kamu bolos? Sudah hampir dua minggu lebih kamu gak hadir di kajian dan saya tidak lihat kamu kirim pesan suara untuk setor bacaan quran mu.'

Mirza menghela napas berat.

'Waalaikumussalam, Ustaz. Mohon maaf atas kesalahan yang saya lakukan, alhamdulillah saya sudah mendapatkan kerja dan kebetulan saya merantau di Surabaya. Maaf juga saya tidak kasih tahu Ustaz. Selama sebulan penuh saya kerja shift malam, Ustaz. Saya harap Ustaz bisa memaklumi.'

Pesan dari Mirza langsung dibaca, Mirza merupakan anggota grup kelas akhir yang sering dijadikan contoh para admin di sana, jadi tidak menutup kemungkinan kalau ketidak hadirannya dipertanyakan.

'Terus aja kejar dunia, sampai mati lupa sama akhirat!'

Pesan balasan dari ustaz muda itu sangat menohok, sampai Mirza berulang kali beristigfar atas apa yang diucapkan ustaz tersebut.

Mirza menutup percakapan dengan meminta maaf lagi, ia sedikit merenungkan apa yang dikatakan oleh orang tadi. Meskipun hatinya sedikit sakit membacanya, tapi di waktu yang bersamaan ia terenyuh.

Mirza kembali bekerja setelah waktu istirahatnya habis.

Menjadi seorang kasir adalah tantangan yang berat untuk Mirza, mulai dari ketelitian terhadap keuangan, sikap sabar dan ramah pada pelanggan, serta banyak hal lain lagi yang bahkan Mirza tidak pernah mengalami sebelumnya.

Pernah di suatu malam, Mirza mendapat komplain makanan yang terlalu asin, padahal Mirza adalah kasir, tetapi pelanggan terus menyalahkan Mirza. Ia mendapat banyak teguran atas kesalahan-kesalahan yang tidak pernah ia buat.

Terkadang Mirza sampai dibuat diam tidak berkutik saat dicaci maki pelanggan, meskipun bukan hal yang biasa ia terima, ia berusaha untuk tidak terlihat panik.

Hari yang monoton, tidak ada yang Mirza lakukan selain makan, tidur, dan bekerja. Sampai tiba di hari liburnya, ia bersiap untuk mencuci bajunya, membereskan lantai tiga dan istirahat total untuk melepaskan penatnya.

Di pagi hari, saat Mirza menyelesaikan cuciannya, ia bergegas untuk menjemur pakaiannya. Saat ia membuka pintu, terdengar suara kumandang takbir.

'Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar. Laa ilaha illallahu allahu akbar, allahu akbar, waa lillahilhamd.'

Mirza bergegas menjemur pakaian, kemudian ia melihat sumber suara yang ternyata berasal dari masjid belakang ruko tempatnya bekerja.

Mirza memperhatikan tempat itu, ia melihat dua ekor domba dan satu ekor sapi di halaman masjid yang cukup luas.

Hari yang paling Mirza tunggu, yang mana dalam satu tahun sekali ia dapat memakan makanan favoritnya, namun, kali ini ia berpikir kalau dia tidak akan bisa mencicipi daging domba lagi.

Handphone Mirza berdering, ia langsung mengangkat telepon yang masuk.

'Mirza. Di sana dapat daging qurban? Ibu di sini dapat banyak, daging domba kesukaan kamu, tapi ibu tidak mau makan, ibu keinget kamu, Nak. Biasanya kamu paling lahap kalau makan sama daging domba.'

Hal yang paling Mirza tidak suka adalah ketika mendengar ibunya berbicara sambil menangis, karena ia akan ikut berderai air mata jika mendengar atau melihat ibunya menangis.

'Mirza sudah makan di sini, sama daging qurban juga, dikasih orang. Ibu makan saja, Mirza di sini kenyang kok, bu. Doain Mirza supaya tercapai cita-cita Mirza,' balas Mirza.

'Aamiin allahumma aamiin,' timpa sang Ibu dengan suara yang hampir bergetar.

Percakapan mereka terputus, Mirza kembali menyimpan handphone di saku celananya. Ia kembali memperhatikan masjid itu seraya menyerukan kalimat takbir bersamaan dengan kumandang yang keluar dari spiker masjid.

"Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar," suara Mirza bergetar. "Laa ilaaha illallahu allahu akbar, allahu akbar, walillah hilhamd," air mata Mirza mulai tidak bisa ia bendung. Ia merasa menjadi mahluk paling lemah saat itu.

Setelah hampir satu jam lamanya, Mirza kembali bergegas ke dalam mess dan membaringkan tubuhnya untuk beristirahat. Namun, hal itu tidak membuatnya tenang.

Mirza berniat untuk mencari beasiswa lagi di media sosial. Setahunya, itu adalah tahun terakhir ia mendapatkan beasiswa, jadi seharusnya ia memanfaatkan kesempatan tersebut.

Informasi dan kontak yang tertera di media sosial mulai ia catat. Kemudian ia menghubungi kontak-kontak tersebut dan mulai mempertanyakan soal beasiswa yang diumumkan di media.

Beberapa kontak membalas pesan Mirza dengan cepat, sehingga informasi yang Mirza dapat lebih cepat dari kontak lainnya.

Mirza mendapat informasi bahwa penerimaan Mahasiswa baru akan diadakan beberapa bulan lagi, tapi Mirza bisa mendaftar dari mulai hari itu.

Di waktu yang bersamaan, Mirza mencari informasi lain dari kampus tersebut, yang ternyata kebanyakan kampus swasta yang baru dibangun beberapa tahun yang lalu.

Cita-citanya yang sudah bermuara itu tidak bisa ia sembunyikan lagi, keinginannya untuk menjadi sarjana kian memanas. Bagaimana pun, tujuan Mirza merantau adalah untuk melanjutkan pendidikan dan membuktikan bahwa anak yang lahir dari orang tua yang tidak berpendidikan bisa menjadi sarjana.

Setelah mendapat banyak informasi, Mirza melepas penatnya dengan tertidur. Meskipun perutnya mulai keroncongan, ia lebih memilih tidur dibanding makan.

"Za, Mirza!" ucap Imam seraya mengguncang tubuh Mirza. "Makan, ada ayam sama nasi."

Mirza membuka mata, ia terlihat sedikit linglung. Kemudian ia meregangkan otot tubuhnya dan mempertanyakan maksud kedatangan Imam.

"Ada apa, Mas Imam?" tanya Mirza memastikan.

"Ada ayam sama nasi, dari Mbak Mira. Hari ini Mbak Mira ulang tahun, dia ngasih makan buat semua karyawan, punya kamu ada di meja, ada dua, ya! Itu sama punya Mas Rahman. Mas Rahman hari ini gak masuk, jadi ayamnya buat kamu, buat makan malam nanti, dimakan, ya!"

Mirza mengangguk dan segera berdiri, ia mencuci muka dan berniat untuk makan bersama dengan Imam.

"Kalau ultah, musti bagi-bagi makanan?" tanya Mirza seraya membuka bungkus makanan. Dilihatnya satu potong daging ayam berukuran besar dengan saus sambal dan saus keju terpisah, Mirza melihat merk ayam tersebut yang ternyata dari merk ternama.

"Di sini semua yang ultah biasanya kayak gini. Bulan depan kita yang ultah, ya? Tapi kamu gak perlu mikirin mau kasih apa, anak-anak pasti udah ngerti, toh kamu baru sebulan kerja di sini, kan?" ucap Imam seraya menyantap makanannya.

Mirza mengangguk, meskipun hari itu ia tidak mencicipi daging domba. Tapi berkat kuasa Tuhan dan doa ibunya, ia tetap meraih kenikmatan dalam makanan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang