BAB 22

6 1 0
                                    

Mirza melamunkan perbuatannya pada Andrik, ia merasa menyesal, meskipun apa yang telah terjadi ke padanya sangat menyayat hati.

Nomor-nomor tidak dikenal terus masuk dalam log panggilan handphone Mirza. Hal itu membuat lelaki sembilan belas tahun itu sedikit kesal, pasalnya, permainan yang sedang ia mainkan belum selesai, ditambah Asir yang meminta Mirza untuk fokus melanjutkan mabar Mobile Legend bersamanya.

"Kalau tidak kenal gausah dijawab!" perintah Asir seraya menyuapkan sesendok nasi goreng dengan sebelah tangan memegang handphone mengatur jalannya pertandingan game. "Nanti abis ini baru kamu bisa angkat," lanjutnya.

Mirza mengangguk, satu pertandingan bisa memakan waktu lima belas menit lamanya, game yang tengah famous itu menjadi ikon sampai diadakan pertandingan se-Asia.

Setelah game selesai, Mirza keluar dari permainan kemudian menunggu si penelpon agar kembali menghubunginya lagi.

Handphone Mirza bergetar, sontak Mirza mengangkat.

"Punya uang berapa kamu mau celakakan anak saya? Denger, ya! Sekali kau ketemu lagi dengan anak saya, jangan harap kamu bisa bernapas lagi esok hari!" ucap penelpon itu, suaranya nampak berat tetapi tetap tegas, dari suaranya Mirza mengira penelpon adalah seorang pria empat puluh tahunan.

Asir menatap Mirza, tanpa aba-aba ia merebut handphone Mirza.

"Heh pak, lu ngomong jaga, ya! Adik gua ditipu sama anak lo, ya! Beasiswa dia yang sembilan puluh persen diambil sama bocah bodoh itu! Enak sekali nyalahin adik gua, asu emang!" ucap Asir.

"Apa maksudnya?" tanya si penelpon penasaran.

Asir meminta Mirza secara detail menjelaskan kejadiannya, mulai dari chat Facebook sampai dengan paksaannya agar bisa merantau ke Surabaya. Selain itu, Mirza juga mengirim tangkapan layar berisi postingan Andrik mengenai ajakan agar merantau dan dia menjamin fasilitas hidup mewah yang bahkan terdapat banyak akun memenuhi kolom komentarnya.

"Saya tidak sedang membela diri! Pada kenyataannya seperti itu, pak! Saya sudah tidak mau berurusan dengan siapa pun lagi, jadi mohon untuk tidak menghubungi saya lagi! Di sini yang jadi korban saya, bukan anak bapak!" ucap Mirza santun.

"Emang dasarnya aja kamu keluarga kriminal, ya? Udah berapa banyak orang yang sudah ibu bapakmu habisi, hah?" tanya si penelpon dengan nada yang meninggi.

Mirza mematung, otaknya memutar memori pada kejadian rapat di sekolah. Hatinya bertanya pada apapun yang bisa menjawab pertanyaan mengapa harus keluarganya yang jadi sasaran?

Sekali lagi Mirza membendung air matanya, berusaha keras agar ia tidak rapuh, ia ingat perkataan Humaira, 'selagi kamu yakin bahwa kamu tidak salah, maka bertahanlah dalam kebenaran yang kamu pegang.'

Mirza menarik napas, memohon ampun pada Tuhan dan meminta izin untuk satu kali ini saja ia memarahi orang tua.

"Jangan bawa orang tua saya! Saya bukan anak manja yang apa-apa butuh dukungan orang tua! Saya bahkan kasihan sama anak bapak, punya orang tua tidak beradab seperti anda!" Mirza langsung mematikan telponnya, ia bergegas ke luar kamar dan naik ke lantai tiga.

Asir membiarkan Mirza untuk menenangkan diri, ia paham betul bagaimana sakitnya jauh dari keluarga, belum lagi Asir adalah yatim piatu yang hanya memiliki paman dan bibi di Bandung. Kecelakaan yang menewaskan orang tua dan adiknya membuat ia depresi dan menjadi pemabuk.

Semenjak kehadiran Mirza yang membawa nilai religi ke kehidupannya, Asir mulai berhenti minum minuman keras dan mengurangi kecanduannya terhadap rokok. Hal itu ia tunjukan ke pada Mirza sebagaimana cita-citanya ingin melindungi sang adik dari jahatnya dunia.

Setelah sampai di lantai tiga, Mirza menatap langit yang pekat, tidak ada bintang, hanya awan-awan yang hitam.

Mirza memutar musik, mendengarkan lagu-lagu pop yang sedang hits di Indonesia. Ia membaringkan tubuhnya di dinding miring yang merupakan bagian atap dari tangga lantai dua.

Ia meresapi lirik-lirik lagu yang ia dengarkan.

Aku tak sempurna
Tak perlu sempurna
Akan ku rayakan apa adanya

Mirza hanya bergumam mengikuti irama, sampai akhirnya hujan menetes di keningnya untuk pertama kali di Kota Surabaya.

Mirza membuka mata, mengamankan handphone-nya tetapi tetap menyalakan musik yang sedang ia putar.

Hujan pertama yang Mirza rasakan itu sangat dingin, lelaki itu berteriak senang, seolah ia sedang merayakan ketidak sempurnaannya bersama air hujan.

Tutur batinku tak akan salah
Silahkan pergi, ku tak rasa kalah!

Mirza melepas semua hal negatif pada pikirannya, mengalirkannya bersama hujan dan mengucapkan selamat tinggal pada setiap orang yang berusaha membuatnya hancur.

Dia mengusahakan ikhlas pada malam itu, ia damai, hujan yang memeluknya membuatnya luluh, semoga saja tetap begitu.

Sejak saat itu, hujan di Kota Surabaya adalah hal paling indah yang ia temui. Haus, panas, dan orang seperti Andrik ia anggap sebagai hal yang nantinya hilang dan akan tergantikan dengan apa yang seharusnya bersamanya.

Pikiran Mirza berubah, Kota Surabaya adalah kota yang tenang setenang bagaimana cara Mirza berpikir, dan kota itu akan damai jika dia bersama dengan orang yang baik, Mirza berharap ada banyak lagi orang baik di dunia.

"Mirza turun!" teriak Asir.

Mirza membawa handphone-nya dan bergegas menuruni anak tangga denga hati-hati. Badannya yang basah kuyup membuat lantai di sana menjadi basah. Untungnya, penghuni kost yang lain sudah tidak beraktifitas, sehingga Mirza bisa leluasa untuk pergi mandi ke lantai satu.

"Enak A, mandi air ujan," balas Mirza dengan senang hati.

"Sakit loh entar. Cepet, mbak Yaya udah nanyain kamu siap atau enggak buat kerja katanya."

"Oke, A. Aku mandi dulu, ya!"

Hujan yang tadinya berisik kini mulai mereda sedikit demi sedikit, seakan misinya untuk menenangkan Mirza telah ia selesaikan.

Mirza yang sudah selesai mandi dan telah menyelesaikan segala kegiatannya pun sudah mengantuk berat. Lelaki itu memasukan berkas-berkas lamaran ke dalam amplop coklat. Kemudian menyimpannya di atas nakas dan bersiap untuk tidur.

Baru beberapa detik terlelap, dia menyadari sesuatu, ia merasa kehilangan sesuatu dalam hidupnya.

Ia membuka handphone dan mengirim pesan pada Humaira yang sudah lama tidak lagi saling berkabar, sialnya adalah akun Facebook dan nomor Whatsapp-nya tidak aktif.

Mirza berusaha mencari kontak Humaira. Kabar yang lebih buruk, Mirza tidak mengenali teman Humaira yang lain, ia tidak punya bantuan agar bisa menemukan kontak sahabatnya itu.

Otaknya bekerja keras.

"Instagram!" gumam Mirza bermonolog.

Ia mulai mengunduh aplikasi itu dan mendaftarkan dirinya sebagai pengguna Instagram. Setelah semuanya berhasil, ia menekan tombol pencarian dan mulai mencari nama Humaira. Ia memeriksa satu per satu akun yang muncul dari kata kunci tersebut. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa Humaira adalah nama aslinya, sedangkan orang lain mengenalnya dengan nama pena Cahaya Hujan.

Mirza mencobanya sekali lagi. Saat itu, barulah muncul akun dengan foto profil yang biasa Humaira pakai.

Mirza mengirim banyak pesan, menceritakan betapa hari-harinya sangat buruk, ia berkali-kali patah, bahkan Mirza menceritakan jika dirinya hampir meninggal dunia.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang