Prolog

97 9 3
                                    

Telepon genggam milik Iza terus menyala setiap tiga menit sekali, lelaki bernama lengkap Fathur Mirza ini memiliki kebiasaan untuk mematikan seluruh notifikasi di handphone-nya, tanpa nada dering bahkan getaran sekalipun dia tidak mengaktifkannya.

Iza adalah sosok yang diakui punya banyak bakat, namun, dirinya sendiri bingung dari sisi mana orang lain bisa mengatakan tentang seberbakat itu dirinya, karena yang dia tahu, apa yang dia lakukan adalah cara untuk mendapat perhatian dan pengakuan.

Terlahir dari keluarga berekonomi rendah membuat dia sulit untuk berkembang. Ia memiliki tujuh saudara yang di antaranya enam kakak dan satu adik laki-laki.

Iza baru saja melihat layar handphone-nya, tidak sedikitpun dari dirinya rasa panik dan penasaran.

"Pak Daris?"

Iza menaruh kembali handphone dan bergegas menyelesaikan pekerjaan, karena sebentar lagi mulai masuk waktu zuhur.

Hijau nan asri di salah satu perkampungan kota Garut. Hamparan padi dan sawi tumbuh menumbuhkan senyum para petani desa. Hari ini para petani mulai memanen, apalagi para pengebun sawi yang saat itu harga sayuran hijau dijual dengan harga sangat tinggi.

Berbeda dengan keluarga Iza, mereka memiliki sepetak kebun kecil milik sang Ibu. Ditanamnya sayuran hijau berupa bayam dan kangkung darat yang nantinya mereka jadikan lauk untuk makan.

Iza sangat memfavoritkan daging domba dan jamur goreng sebagai lauk makan. Meskipun hanya beberapa kali dalam hidupnya memakan makanan lezat seperti daging domba dan jamur goreng, ia tetap mensyukuri nikmat yang di berikan Tuhan atas apa yang keluarganya dapat untuk mengisi perut.

Adzan zuhur berkumandang, Iza dan ibunya bergegas pulang membawa segenggam bayam dan satu ikat kayu bakar, meninggalkan lahan kecil yang sudah mereka urus sejak pagi tadi.

Sesampainya di rumah, Iza mulai bergegas menyucikan diri untuk sembahyang, kemudian bersiap makan bersama keluarganya.

Tiga kakak perempuannya sudah menyiapkan makan siang, diiringi celotehan anak-anak mereka dan riuh pertengkaran menjadi ikon yang akan dirindukan apabila anak-anak itu pulang ke rumah nenek dari ayah mereka.

Iza kemudian duduk bersamaan dengan adik laki-laki dan ibunya.

Rumah kecil dengan dinding dari anyaman bambu yang menurutknya begitu nyaman, meskipun banyak genteng yang pecah dimakan usia, memasak dengan tungku dan sumber air dari sumur, mereka tetap hidup bersahaja dan bahagia.

Handphone Iza kembali menyala, telpon dari Pak Daris yang hampir tiga belas kali 'tak ia angkat membuatnya merasa sedikit bersalah.

Pasalnya, Pak Daris adalah kepala sekolah yang baru saja menjabat di sekolahnya. Iza sendiri adalah alumni angkatan ke dua yang baru saja lulus dan dikenal sebagai angkatan covid-19. Kepala sekolah pertama adalah Pak Agus, namun, entah kenapa beliau harus mengundurkan diri secara bertahap bersama enam guru lainnya.

Pak Daris juga bagian penting dari yayasan yang menaungi Sekolah Menengah Kejuruan Bakti Negara.

Yayasan itu didirikan dan dikembangkan oleh keluarga Waluyo.

Daris Putra Waluyo dan Arka Djati Waluyo adalah kakak beradik yang menempati bagian SMK Bakti Negara sebagai kepala sekolah dan pembina pramuka dan OSIS.

Iza masih ingat mengenai janji Pak Daris yang akan membantu biaya kuliah murid-muridnya, dengan syarat ia harus terpilih menjadi kepala sekolah terlebih dahulu.

Nama Pak Daris juga semakin dikenal di kalangan orang tua siswa, sosoknya yang dipenuhi janji membuatnya terangkat menjadi kepala sekolah di sana.

Iza bergegas menyelesaikan makan siang, kemudian bersiap berangkat ke sekolah.

Panas terik diiringi angin sepoi-sepoi, melewati persawahan, perkebunan dan juga peternakan ayam.

SMK Bakti Negara yang kebetulan berada di antara persawahan dan tidak jauh dari rumah Iza, hanya terpisah satu kampung kecil saja.

Sesampainya di sekolah dengan pakaian ala kadar, disambut oleh Pak Daris dan beberapa rekan alumni yang sudah ada di sana yang kemudian mereka bersiap untuk pulang dikarenakan mereka datang jauh lebih awal dari Iza.

"Mohon maaf , Pak. Tadi saya dari kebun, kebetulan baru selesai, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Iza dengan sopan.

Pak Daris meminta Iza menunggu di ruangan kepala sekolah. Selang beberapa menit Pak Daris datang membawa segelas kopi hitam dan disimpannya tepat di depan Iza.

"Gimana kabarmu, Za?"

"Alhamdulillah, Pak. Bapak sendiri?"

"Bapak baik. Gini, langsung to the point aja, ya. Iza mau gak mengabdi di SMK Bakti Negara? Pengaruh Iza bakalan dibutuhkan untuk anak-anak nanti, apalagi sebentar lagi masa pengenalan lingkungan sekolah angkatan ke enam, kami sangat akan membutuhkan Iza untuk membantu melaksanakan acara itu. Setelah MPLS selesai, kamu akan diangkat menjadi staf TU sekaligus asisten bendahara nantinya. Kamu juga berhak melanjutkan kuliah dan kami siap membiayai kuliahmu sepenuhnya asal di kampus yang kami pilihkan. In shaa allah untuk makan, jajan, voucher handphone, dan lainnya saya akan tanggung jawab, mungkin handphone kamu juga akan kami ganti. Kamu pengen jadi guru, kan? Setelah beberapa semester kamu akan otomatis jadi guru tetap di sini bahkan mungkin jadi bagian dari yayasan. Tawaran ini sudah diajukan ke Cici dan Yani, mereka menolak tawaran bapak karena mereka sudah menentukan kampus yang katanya di luar kota. Bapak tau Iza ini dari keluarga seperti apa, dan Bapak ingin sekali Iza menerima tawaran ini."

Iza sedikit merenung, ia tahu di hadapannya adalah sosok pro-kontra, namun dia juga sadar akan cita-cita yang selama ini ia gantung di atas langit-langit halunya.

Iza tidak bisa mengharapkan ayah kandung yang sudah lansia dan penglihatannya yang mulai hilang, meskipun ayah Iza pekerja keras tapi Iza sendiri tidak lagi mau merepotkan kedua orang tuanya.

Selama ini Iza dihidupi oleh penghasilan kebun milik ibunya dan pemasukan kecil dari kakak laki-lakinya yang bekerja luar kota Garut, Bandung.

Di sepanjang renungan Iza, tiba-tiba Pak Daris meletakan uang lima puluh ribu rupiah dan voucher kuota di hadapan Iza.

"Buat jajan, sama buat kuota biar kalau Bapak telepon kamu bisa angkat. Ini bukan sogokan, ini adalah bentuk kasih sayang yayasan kepada murid berprestasi seperti kamu. Ambil!"

Iza menatap orang dengan perawakan tinggi kurus berkaca mata itu menyeringai, kemudian menatap barang yang di berikan Pak Daris.

"Kamu mau apalagi agar bisa bekerja sama dengan saya, Iza?" tanya Pak Daris mulai menaikan nada bicaranya.

"Saya, mau, Pak. Tapi ...," Iza mulai merasa gugup tetapi ia juga merasa senang.

"Tapi?"

"Terima kasih atas tawarannya, saya akan menerima dengan senang hati, semoga kedepannya saya bisa membantu. Sebelumnya mohon maaf, mulai sejak kapan saya bergabung di sekolah, Pak?"

Pak Daris tersenyum, ia meminum air putih di hadapannya, kemudian menyuruh Iza meminum kopi miliknya.

"Kalem, nanti saya kabari, ambil saja dulu pemberian saya!"

Setelah Iza menyeruput sedikit kopi hitam itu, ia mengambil pemberian dari Pak Daris.

"Ya sudah, selamat datang dan selamat menjalin kerja sama di SMK Bakti Negara," ucap Pak Daris seraya mengulur tangan.

RUANG UNTUK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang